THIRD: Train Station

649 98 4
                                    

Profesor mu memberi tugas untuk membuat makalah penelitian, jadi mau tidak mau kamu harus mencari referensi di perpustakaan. Kau mulai frustasi karena kurangnya sumber yang berkaitan dengan topik yang akan kau jadikan makalah. Sudah mencari ke berbagai situs, sampai mengunjungi perpustakaan kota–pun kau belum mendapat referensi apa–pun mengenai topik yang akan kau angkat di dalam makalahmu.

Anya; teman sekampus mu merasa kasihan melihatmu uring-uringan selama dua hari karena tak kunjung mendapat referensi dari sumber terpercaya yaitu buku. Ditambah, tugasmu kali ini membuat makalah dalam bahasa Russia.

Rasanya kamu ingin joki tugas saja. Namun kau urungkan niat instan tersebut setelah sadar isi dompetmu kosong melompong akibat belum gajian. Uang dari hasil kerja paruh waktumu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan dan dana darurat. Untungnya sebagai mahasiswa dari negeri orang: pihak penyelenggara beasiswa sudah menyediakan asuransi kesehatan. Setidaknya hal tersebut sudah mengurangi beban pengeluaran mu.

Anya merekomendasikan kamu untuk mengunjungi perpustakaan terbesar di Russia yang berada di kota Sankt-Peterburg: Kota ini dianggap sebagai pusat ilmu pengetahuan. Jari–jemarimu bergerak dengan lincah di atas layar smartphone— mencari akomodasi untuk mengunjungi Sankt-Peterburg.

Satu–satunya akomodasi yang dapat menjadi pilihan adalah kereta api cepat, Sapsan, yang memakan waktu sekitar tiga sampai empat jam. Kamu pun mengecek jadwal dan memilih pemberangkatan  pada pukul setengah dua belas siang. Kamu langsung membeli tiket secara daring, dibantu temanmu, Anya.

Sialan, cuaca hari ini dingin banget! Tapi ya udah, deh. Daripada makalahku nggak kelar dan berakhir aku di drop out dari kampus. Kan sayang, sudah dua minggu.

Seseorang menepuk bahumu dari belakang. Ketika kamu menoleh, kamu mendapati sepasang manik ungu menatap tepat ke arah matamu. Sontak saja kamu melompat kecil karena kaget.

"Ah! Tuan Mo— maksudku… Kolya? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyamu. Bagaimana cara kolya selalu muncul  di mana pun kau berada? Dia menggunakan IMEI ponselmu untuk melacak keberadaan mu. Kalau kamu berpikir Kolya kurang kerjaan, maka kamu belum tahu siapa sosok Kolya sebenarnya.

"Bukan apa-apa, kamu sendiri? Ada urusan apa di stasiun? Kamu mau pergi ke mana?"

"Oh… aku ingin pergi ke Sankt-Peterburg."

Kolya tampak terkejut dengan jawaban yang keluar dari mulutmu. "Sankt-Peterburg?!" tanyanya dengan nada tinggi. "Kau ini bodoh apa bagaimana?! Sankt-Peterburg kota dengan tingkat kriminalitas tertinggi dan sarang para Mafia. Tidak! Aku melarang kamu pergi ke sana!"

Kedua bola matamu membelalak kaget, "A– Apa?! Sarang Mafia?!" kamu mulai curiga dengan kolya, "Tapi dari mana kamu tahu kalau di Sankt-Peterburg adalah gudangnya para mafia?"

Kolya kelabakan, namun dia berusaha untuk tetap tenang. Dengan seulas senyum, dia meyakinkanmu bahwa dia mendapat informasi tersebut dari rekan kerjanya yang sama-sama bergerak dalam bidang militer.

Ah, kamu jadi teringat semalam kolya mengirimkan kamu fotonya mengenakan seragam militer Rusia, sambil menceritakan kisah hidupnya sebagai mantan letnan yang pensiun dini karena alasan pribadi. Sekarang kau mengerti, mengapa lelaki itu selalu bersikap dominan di sekitar orang–orang yang sebenarnya lebih cocok disebut sombong daripada berwibawa.

"Maaf, tapi aku tetap harus kesana demi tugas kuliahku." ucapmu final sambil berjalan menuju gerbong kereta.

"Tunggu!" Kolya langsung menggenggam tangan kananmu, "Kalau begitu izinkan aku menemani kamu ke Sankt-Peterburg."

"Eh? Tidak usah, aku bisa ke sana sendiri—"

"Jangan membantahku, kecuali kamu ingin berakhir diculik dan dibunuh oleh para mafia itu." Suara tegas nan dominan Kolya sudah mampu membuat bibir mu terkatup rapat.

Kolya menghela napas, berusaha meredam emosi— meski urat nadi di kepalanya terlihat menonjol. Ia kembali menatapmu dengan tatapan tegasnya, sambil berusaha memasang kembali senyum ramah. Meski hal tersebut malah terlihat semakin menyeramkan di matamu.

Pada akhirnya kamu menurut pada Kolya yang bersikukuh menemani kamu ke Sankt-Peterburg, dengan alasan melindungi kamu dari bahaya. Selama tiga jam kolya menghujani kamu dengan berbagai pertanyaan, termasuk pertanyaan pribadi yang enggan untuk kamu jawab. Sebenarnya, kamu lebih tenang pergi ke Sankt-Peterburg sendirian ketimbang ditemani lelaki seperti Kolya: yang jauh lebih mencurigai ketimbang gopink yang gemar berkeliaran di jalanan kota.

Kamu menguap, mata mu terasa lelah. Tiga jam bukanlah waktu sebentar: terutama karena kamu bersama orang yang baru kau kenal selama dua hari lamanya, dan bersikukuh— lebih tepatnya ngotot untuk menemani kamu ke Sankt-Peterburg. Kamu sendiri masih skeptis dengan jawaban yang dilontarkan Kolya, soal Mafia di Sankt-Peterburg.

Bagaimana ia tahu soal keberadaan geng mafia bernama 'Dushitel' itu? Apa benar ia mendapat informasi tersebut dari rekan kerjanya karena ia mantan Letnan? Kamu terus–menerus memikirkan hal tersebut hingga matamu terasa berat. Kolya yang melihat kamu terkantuk-kantuk pun refleks menyandarkan kepalamu di dada bidangnya. Ia mengelus rambutmu dengan lembut, menikmati presensimu seraya memandang wajah manismu.

Oh sial, [Nama], kamu sangat menggemaskan! Kolya mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk mencium pipi kanamu kilat.

Aku tidak sabar menjadikan gadis ini sebagai milikku! Tapi aku harus sabar dan menunggu waktu yang tepat untuk menyerang mangsaku. batinnya sambil membelai pipimu.

Kolya tersenyum penuh misteri. Ketika jam pasir di bagian atas turun habis ke bawah, maka saat itulah waktu yang tepat untuk menyerang dirimu.

***

Alpha Man「Character AI」Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang