Chapter 11 : Berlindung

11.6K 176 6
                                    

Jangan lupa vote dan komen ya teman-teman 🥰

Nyaris setengah jam berlalu, Asmara duduk di sofa kamar menghadap Arven yang duduk di bibir kasur sambil bertanya perihal chat di ponselnya barusan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Nyaris setengah jam berlalu, Asmara duduk di sofa kamar menghadap Arven yang duduk di bibir kasur sambil bertanya perihal chat di ponselnya barusan. Lantaran ia enggan menjawab dan cuman mampu terdiam, berdalih pun sudah ia lakukan sayangnya Arven nihil percaya.

Asmara juga tidak menyangka ayahnya akan mengirim pesan dalam keadaan darurat begini. Semua salahnya yang ceroboh meninggalkan ponsel.

"Jangan harap gue izinin lo pulang sebelum lo jawab jujur pertanyaan gue. Apa susahnya tinggal bilang itu chat dari bokap lo apa bukan? Beres," ungkap Arven menatapnya kesal sekaligus khawatir. "Gue tau ini bukan hak gue, tapi saat dia udah ngancem hidup lo semuanya jadi urusan gue, Ra."

"Pak," Tatap Asmara memohon. Bibirnya kembali menipis namun sorotnya tertuju pada ponsel di genggaman Arven. "Kembalikan hape Mara dulu boleh?"

"Biar lo bisa hubungi teman lo terus minta tolong keluar dari sini?"

"Ih enggaklah, suudzon bangett." Gadis itu mendesah pendek. "Mara janji ngasih tau setelah pak Arven kembalikan hape Mara."

"Awas bohong lo."

"Mara janji kok." Dia pun tersenyum lebar sesaat Arven mengembalikan ponselnya dalam keadaan baik-baik saja. "Makasih yaaa." Beruntung pria itu mengerti arti privasi, jika tidak semuanya semakin rumit.

Lewat sorot mata ia lihat Arven sangat menunggu jawabannya, Asmara menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Mungkin sekarang adalah waktunya Arven tahu tentang Haris. Tentang hubungan mereka yang sebenarnya jauh sekali dari kata harmonis.

"Sebenarnya ayah Mara nggak sakit, Pak."

"Berarti selama ini lo bohong?" Arven seketika mengernyit dalam.

"Maafin Mara yaa," lirihnya gugup menggesekan kuku. Rasanya benar-benar malu karena telah menyembunyikan hal sebesar ini dari Arven. "Tapi Mara nggak sepenuhnya bohong karena kenyataannya ayah sering jatuh sakit abis kebanyakan main sama temennya."

"Main apaan?"

"Pulang larut malam terus kalo datang suka kalap tiduran di lantai. Pas bangun pagi malah muntah-muntah."

"Itu namanya bokap lo mabuk bego!" pungkas Arven. Sebagai pria yang suka minum saat pikirannya stress ia tahu betul dan pernah merasakan sendiri ciri-ciri yang Asmara sebutkan.

"Serius?" Dan gadis itu membelalak. "Ibu-ibu di gang suka ngatain ayah pemabuk tapi Mara nggak percaya." Termasuk Bimo. "Soalnya ayah bilang dia nggak mabuk, cuman minum anggur sama teman-temannya."

Berarti ucapan Bimo tempo hari benar.

Ayah Asmara pemabuk, namun sering memukul putrinya sendiri atau tidak Arven belum tau.

Yang pasti, keinginannya mendorong jidat Asmara makin tinggi sebab dia terlalu mudah dibohongi.

"Lo yakin cuman itu?"

Boyfriend With BenefitsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang