Aku tidak menyangka dalam dua hari Eiji mengajakku menonton anime bersama. Sekarang aku berada di ruang tengah rumahnya yang punya banyak furnitur retro. Eiji sedang pergi ke kamarnya untuk mengambil laptop. Kami memutuskan menonton Kuroko's Basketball yang sudah lama nangkring di list-ku tapi sampai sekarang belum sempat aku tonton.
“Jira, ya?” Aku mendongak saat mendengar suara indah itu. Seorang wanita cantik berdiri di sana dengan senyuman. Itu pasti mama Eiji. Ah, aku jadi tahu dari mana wajah rupawan Eiji diwariskan. Kecantikan mama Eiji seperti model-model majalah zaman dulu. Wanita itu mendekatiku, kemudian duduk di kursi seberang. “Sudah lama Eiji nggak bawa cewek ke rumah. Kamu anaknya Bu Geni, kan?”
Aku mengangguk. “Iya, Tan.”
“Kata Eiji kalian mau nonton film bareng. Akhirnya ada yang nemenin Eiji nonton biar dia nggak kelewatan. Tante pernah lihat Eiji nonton sambil senyum-senyum, kadang matanya sembab pas bangun tidur. Tante jadi agak khawatir,” ujar wanita cantik itu.
Tipikal wibu. Aku tidak heran lagi.
“Ma, jangan cerita aneh-aneh.” Suara Eiji mengudara. Akhirnya dia datang dengan laptop yang sudah berada di tangannya.
Mama Eiji terkekeh. “Jira kalau haus langsung ke dapur aja, ya. Kalau lapar minta Eiji buatin makanan. Tante mau beresin kerjaan dulu.” Wanita itu berpamitan. Aku mengatakan terima kasih sebelum wanita itu menghilang dari ruang tengah.
Aku mengikuti Eiji yang duduk di lantai beralaskan karpet. Sambil menunggu Eiji membuka web anime, aku mengedarkan pandangan. Sesuatu yang menjadi alasanku menerima ajakan Eiji tidak ada di sini. Laki-laki itu pasti menyembunyikannya.
“Nyan mana?”
“Gue taruh di kamar,” jawab Eiji.
Hish, padahal aku sudah membayangkan nonton anime sambil memangku Nyan.
“Kenapa sih gue nggak boleh pegang Nyan? Enggak cuma pegang, lihat doang pun nggak boleh.” Aku memprotes. Bibirku sudah gatal untuk menanyakan hal ini.
“Tatapan lo ke Nyan kayak tante-tante girang,” balas Eiji.
Sialan. Kenapa tante-tante girang? Apa wajahku memang semenyeramkan itu? Tidak mungkin. Dialah yang berlebihan. “Gue lihat Nyan biasa aja, kok.”
Eiji mengangguk paham, sarkas. “Biasa apanya. Itu seram. Itulah kenapa Nyan harus dijauhkan dari orang macam lo.”
Ah, oke. Si sialan ini ternyata orang yang menyebalkan. Sepertinya sah-sah saja kalau aku pukul kepalanya.
“Diem, udah mulai nih,” perkataan Eiji membuatku membatalkan mengangkat tangan. Akan aku pukul dia setelah animenya selesai.
Kami tenggelam dalam film animasi itu. Tidak banyak percakapan, hanya sesekali tertawa karena adegan lucu, atau decakan kagum dariku ketika melihat karakter-karakter yang gantengnya bikin gila. Eiji menontonnya dengan tenang. Apa dia tidak bisa memberi reaksi sedikit pun? Menyebalkan.
Aku menghela dan bersandar pada sofa setelah menonton dua belas episode. Sejauh ini aku lumayan puas.
“Mau lanjut episode tiga belas?”
Aku menganga mendengarnya. Apa Eiji tidak mabuk setelah menonton dua belas episode itu? Masih ada tiga belas episode lagi untuk season 1. Dan 2 season lagi dengan jumlah episode masing-masing dua puluh lima. Itu sangat banyak. “Kayaknya lo kuat nonton banyak episode, ya? Gue yakin selama liburan lo cuma nonton doang.”
“Kuat nonton banyak episode emang benar, tapi gue nggak senolep itu sampai tiap hari nonton anime terus.”
Aku memandang tidak percaya. “Iya? Terus lo ngapain aja?”
Eiji menggaruk pipinya, ragu. “Bersih-bersih rumah?”
Cih, apa-apaan itu. Kalau bersih-bersih rumah sih aku juga melakukannya tiap hari. Maksudku hobinya yang lain. Apa dia tidak melakukan hal lain? Akhir-akhir ini dia sering ikut jogging bersamaku, mungkin itu menjadi kegiatan barunya.
“Tapi nonton anime hari ini rasanya beda. Ternyata enggak buruk juga nonton bareng.”
Aku terdiam, tertegun karena kata-katanya. Tidak aku sangka dia akan berpendapat seperti itu. Kalau begitu kita sependapat.
Aku tersenyum kecil. “Ya, lo benar.”
≽^⩊^≼
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Approach Nyan✔
Teen FictionApa benar kalau mau deketin kucing harus deketin pemiliknya dulu? Tapi pemiliknya posesif banget. "Gue boleh pegang Nyan?" "Enggak boleh!"