chapter 13

39 4 0
                                    

Tiba-tiba Eiji datang sore ini. Dia berdiri di depan pagar dengan mata yang ragu menatapku. Tangannya terangkat, menunjukkan sesuatu yang dibawanya.

“Gue buat brownies,” katanya.

Aku berniat mengalihkan pandangan, tapi malah menemukan Gian dan Elin yang mengintip dari jendela ruang tamu. Dua bocah itu kepo sekali.

Aku mengizinkan Eiji masuk. Saat melewati ruang tamu, Gian dan Elin berlagak sibuk bermain ponsel.

“Beneran marahan ternyata,” bisik Elin kepada Gian.

Hei, aku mendengarnya.

Aku menghela napas, kembali berjalan ke ruang tengah, menghiraukan mereka.

Aku dan Eiji duduk bersebelahan di sofa. Kami masih enggan membuka pembicaraan. Beberapa saat kemudian Gian dan Elin ikut masuk ke ruang tengah. Aku mengikuti pergerakan mereka dengan sinis. Untung saja dua bocah itu tidak menganggu. Elin masuk ke kamarku, sementara Gian memasuki kamarnya.

“Ah, ini brownies-nya. Gue udah masukin kulkas biar lebih enak.” Akhirnya Eiji membuka suara. Dia memperlihatkan brownies yang dibuatnya dengan begitu cantik dan tampak menggiurkan.

“Ini tanda permintaan maaf?”

Eiji mengangguk. “Maaf, gue salah kemarin. Gue udah bilang sesuatu yang jahat ke lo.”

Aku menggelengkan kepala. “Enggak, gue juga salah. Gue nggak mau ngerti seberapa sayangnya lo ke Nyan.”

Kemudian ada hening lagi yang cukup lama. Biasanya keheningan bersama Eiji membuatku nyaman, tapi tidak dengan sekarang. Suasananya sangat canggung hingga membuatku gelisah. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan Eiji. Mata laki-laki menatap lurus ke depan.

“Lo nggak pakai mugnya?”

Aku tersentak, mengikuti arah pandangan Eiji ke bufet televisi. Astaga, aku lupa. Aku menyimpan mug pemberian Eiji di bufet televisi yang sangat terlihat jelas dari posisi ini. Bagaimana bisa aku mengatakan kalau aku merasa sayang memakai mug selucu itu?

“Itu … belum sempat gue pakai.”

“Lo suka kopi, kan? Kalau mau buat kopi pakai itu aja.”

Ahaha, apa harus?

“Lo pernah ketemu gue di Eristine Paws?” Tanyaku. Eiji berjanji akan menceritakannya setelah pulang liburan, kan? Sekarang aku akan menagihnya.

Eiji mengangguk. Dia menyerongkan badan, memposisikan tubuh menghadap ke arahku. “Itu nanti dulu. Gue mau cerita yang lain.”

Tiba-tiba aku merasa bersalah. Pasti sulit untuk bercerita dengan orang lain. Ini bukan cerita yang bagus, kan? Aku ikut mengubah posisi menjadi bersila di atas sofa, menghadap Eiji.

“Semua berawal dari bisnis makanan kucing mama yang makin sukses. Setelah bisnisnya sukses, mama membuka penitipan kucing, Eristine Paws. Itu tiga belas tahun yang lalu, mama makin sibuk dan jarang pulang ke rumah.” Eiji mengulum bibirnya, memberikan jeda pada ceritanya. “Papa makin nggak suka mama yang terlalu sibuk. Mereka jadi sering bertengkar gara-gara itu. Dan hari itu, kesabaran papa udah menipis, dia ngebunuh Neko di depan gue.”

Aku tercekat mendengar kalimat terakhir Eiji. Aku tidak pernah ingin tahu soal papa Eiji. Aku tidak pernah sekali pun berpikir papa Eiji akan ada dalam cerita ini.

“Neko itu saudara Nyan. Mama nemuin mereka di jalanan. Mereka yang bikin mama terus semangat buat ngembangin bisnisnya. Dan papa dengan bodohnya menyalahkan Neko sama Nyan, papa berpikir mereka yang bikin mama sibuk. Gue sempat bawa Nyan pergi dari rumah, tapi nggak dengan Neko. Dia mati. Setelah itu gue takut orang lain pegang Nyan, gue nggak bisa percaya sama orang lain.”

Aku mengerti. Saat itu umur Eiji kira-kira masih lima tahun. Melihat papanya yang membunuh Neko pasti menimbulkan trauma tersendiri untuk Eiji. Aku mengingat kembali saat pertama kali aku bertemu Eiji. Aku sudah menyumpah serapahinya karena terlalu posesif kepada Nyan. Akhirnya aku mengerti alasan dibalik semua itu.

Aku tidak perlu menanyakan lebih lanjut tentang papa Eiji, karena aku dengar dari ibu kalau papanya meninggal beberapa tahun yang lalu.

“Eristine Paws masih ada sampai sekarang. Dan gue ketemu lo di sana November lalu.” Eiji mendekatkan wajahnya, membuatku sontak memundurkan kepala. Sudut bibirnya tertarik, menciptakan debaran aneh di dadaku. “Gue lihat lo main sama salah satu kucing. Lo kelihatan bahagia banget. Jadi, gue beli mug kucing dan nitip ke salah satu karyawan, berharap lo ke sana lagi.”

Aku tercengang melihat Eiji yang tersenyum sampai terlihat giginya. Selama ini aku sudah terbiasa melihat wajah datar dan dahi berkerutnya.

“Lo cantik kalau senyum.”

Aku semakin tercengang. Argh, tolong, aku tidak terbiasa dengan ini.

≽^⩊^≼

Don't Approach Nyan✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang