chapter 10

36 3 0
                                    

“Lin.”

“Hah?”

“Kapan lo pulang?”

Elin langsung menolehkan kepalanya, memandangku dengan sinis. “Kenapa sih? Main ke tetangga lo sana. Biasanya dari pagi sampe siang main sama dia terus. Lo marahan sama dia?”

Aku tidak menjawab. Aku tiduran di sofa ruang tengah dengan wajah melas. Sementara itu Elin duduk di bawah, sedang melukis kukunya.

Eiji sudah berangkat subuh tadi. Dia sempat mengirim pesan untuk pamit. Katanya dia akan berangkat bersama temannya. Nyan dia titipkan ke temannya yang lain. Agak mengejutkan mendengarnya, mengingat Eiji tidak bisa percaya orang lain untuk menjaga Nyan. Tapi Eiji tidak punya pilihan lain, mamanya juga tidak bisa menjaga Nyan karena selalu sibuk.

Aku tidak menyangka akan sebosan ini jika tidak bersama Eiji. Bahkan aku tidak jogging pagi ini karena tidak bersemangat. Menonton anime pun menjadi membosankan.

Pintu kamar Gian berderit, bocah itu keluar dari sana dengan mata masih tertutup. Ya, dia baru bangun. Padahal sudah hampir siang.

“Gi, kakak lo kenapa sih?” Tanya Elin seraya menunjukku dengan dagunya.

“Hah?” Mata Gian terbuka sedikit, rautnya bertanya-tanya, terlihat bodoh. “Mana gue tahu. Marahan sama Bang Eiji mungkin.”

Aku mengerang dalam hati. Kenapa mereka berdua berpikir aku bertengkar dengan Eiji? Kami tidak punya alasan untuk saling bertengkar. Walaupun kadang sikapnya yang sulit dimengerti itu membuatku ingin menonjoknya.

“Dari pada galau, mending ikut gue ke penitipan Vey, Ra. Gue udah kangen berat sama dia.”

“Makanya, cepat pulang, sana,” balasku.

Elin berdecih. Dia menutup tutup kuteknya. Tiba-tiba tanganku ditarik, dipaksa bangkit dari sofa yang nyaman. “Ikut gue!”

Aku menghela napas. Dengan pasrah aku menuruti Elin daripada mulut berisiknya itu membuat telingaku meledak. Kami bersiap, Elin menyisir rambutnya, sedangkan aku memakai cardigan untuk menutupi kaus lengan pendek yang aku pakai.

Tempat penitipan kucing yang menjadi tempat tinggal sementara Vey tidak jauh dari rumah. Tempat itu ada di pinggir jalan besar. Aku dan Elin menaiki motor untuk ke sana. Sinar matahari begitu menyengat. Udara panas akhirnya hilang begitu kami memasuki ruangan penitipan kucing yang ber-AC.

Elin masih berbicara dengan salah seorang pegawai. Aku berkeliling untuk melihat-lihat ruang tunggu yang punya banyak hiasan kucing. Suasana terasa hangat dan menyenangkan. Ada beberapa ruangan dengan pintu kaca, sepertinya itu tempat di mana kucing-kucing yang dititipkan berada.

“Permisi.”

Aku menoleh, mendapati seorang wanita berkuncir kuda dengan seragam pegawai. Aku menaikkan alis, bertanya-tanya.

“Ah, ternyata benar. Mbak-nya pernah ke sini, kan? Waktu itu ada cowok kacamataan yang nitip sesuatu ke saya, katanya buat Mbak. Sebentar, saya ambilkan.” Wanita itu melangkah ke meja resepsionis, tangannya membuka laci meja, mengeluarkan sesuatu dari sana.

Hah? Siapa? Aku masih bingung. Wanita itu kembali, lalu memberikan mug bergambar kucing kepadaku. Aku menerimanya dengan ragu.

“Terima kasih,” kataku sambil menundukkan kepala. Pegawai itu tersenyum kecil sebelum meninggalkanku.

“Apa itu?” Suara Elin mengudara. Dia mendekatiku.

Aku menggeleng. “Katanya ada cowok kacamataan yang ngasih ini waktu gue datang ke sini,” jawabku sambil menunjukkan mug lucu itu ke Elin.

“Lo pernah ke sini?”

“Ya, kira-kira November lalu. Waktu itu gue pengen banget lihat kucing, jadi gue ke sini.”

Kami terdiam, menatap mug itu sambil berpikir keras.

“Tetangga lo! Mungkin dia, Ra.”

Aku mengernyit. Saat itu aku bahkan belum mengenal Eiji. Aku masih tidak tahu manusia seperti dia eksis di dunia ini.

Sambil terus berpikir, aku mengikuti Elin yang masuk ke salah satu ruangan. Gadis itu langsung menghambur pelukan kepada kucing orange pucatnya. Aku ikut mendekat, mengelus Vey dengan tatapan berbinar. Aku bersyukur sekali di dunia ini ada makhluk bernama kucing.

“Tunggu mama, ya, Vey. Kita bakal pulang pas tahun baru.”

Aku menoleh dengan tatapan tidak terima ke arah Elin. “Lama banget pulangnya.”

“Gue mau lihat kembang api di sini.”

“Emang di rumah lo nggak ada?”

Elin mengedikkan bahu. “Lebih rame di sini.”

Hih, merepotkan.

Ah, apa aku harus datang ke acara malam tahun baru di lapangan kampung? Tahun lalu aku tidak ikut ke sana walaupun Gian dan Elin memaksaku dengan cara apapun. Tapi tahun ini entah kenapa aku ingin menikmati malam tahun baru bersama mereka. Mungkin aku juga bisa mengajak Eiji.

Tapi sebelum itu aku harus mengetahui sesuatu. Tentang mug ini.

≽^⩊^≼

Don't Approach Nyan✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang