Waktu yang paling tepat untuk jogging adalah pagi hari. Sangat pagi. Harus, karena di jam segini warga kampung tidak terlalu banyak yang keluar. Mumpung sedang libur akhir semester, aku mencoba jogging keliling kampung tiap pagi. Ini yang pertama. Aku harap ini akan bertahan lama, enggak sehari doang.
Aku berbelok ke gang RT sebelah. Mataku memandang sekitar, kemudian tersenyum kecil ketika melihat tidak banyak orang di gang ini. Dengan begini aku bisa jogging dengan nyaman. Aku melangkah melewati rumah-rumah yang berjejeran dengan semangat. Sesekali menghirup oksigen yang terasa segar.
Ketika melewati rumah berwarna putih, ekor mataku menangkap sesuatu. Sontak aku menghentikan langkah dan sedetik kemudian berbinar. Kucing! Rambutnya lebat berwarna putih dan bermata biru.
Aku menutup mulut, menahan decakan gemas yang bisa keluar kapan saja. Ide jahat terlintas di otakku.
Aku melangkah mendekati rumah bercat putih itu, namun sebelum aku mencapai pagar, seorang laki-laki berkaus hitam dengan celana pendek keluar dari dalam. Dia menggendong kucing putihnya lalu segera menyadari keberadaanku. Laki-laki itu langsung melayangkan tatapan tajam di balik kacamatanya.
Aku terdiam di tempat, merasa posisiku akan dicurigai olehnya. Dengan kaku aku membalikkan badan, segera pergi dari sana. Bisa gawat kalau pemilik kucing itu berteriak, menuduhku sebagai pencuri kucing.
Aku tidak bisa menikmati jogging lagi. Pikiranku terus memikirkan kucing menggemaskan tadi, juga pemiliknya yang terlihat menyebalkan, seolah kucing itu pacarnya yang tidak boleh ditatap atau bahkan disentuh siapa pun. Apa salah jika aku mengagumi kucingnya? Menatap pun tidak boleh.
Sepuluh menit berlalu. Jogging pertamaku selesai. Begitu masuk ke dalam rumah, aku langsung menuju dapur, meraih gelas dan mengisinya dengan air. Jogging hari ini berjalan menyenangkan, bonus menemukan kucing lucu.
“Paling besok enggak jogging lagi,” bocah laki-laki yang sejak tadi main game di sofa akhirnya membuka suara. Aku sudah menyiapkan mental, bersiap menerima cibirannya. Sejak tadi aku tidak mempedulikan Gian karena masih sebal dengan ejekannya kemarin malam soal aku yang tidak mungkin jogging pagi. Cih, buktinya aku benar-benar jogging pagi ini.
Tidak, besok aku akan jogging lagi. Aku menemukan sesuatu yang membuatku semangat jogging. Kucing putih itu harus dilihat berkali-kali, tidak cukup sekali.
“Gi, lo tahu rumah putih di gang rumahnya Ami?” Tanyaku sambil menaruh kembali gelas ke atas meja makan.
“Rumah putih di gang situ banyak, Kak.”
Aku berdecak. “Pagarnya hitam, jendelanya gaya jadul, terus tamannya ijo banget.” Aku berusaha mengingat desain eksterior rumah pemilik kucing. Menurutku rumahnya paling mencolok di antara rumah-rumah lainnya. Terlebih taman di teras rumah itu membuat mata langsung segar.
“Oh, rumahnya Bang Eiji,” jawab Gian dengan mata yang masih fokus ke ponselnya. Namun karena aku tidak menyahut, dia melirikku. “Kucingnya Ami kayaknya lagi naksir sama kucingnya Bang Eiji. Dia sering mampir ke sana. Tapi kata Ami, Bang Eiji anti banget kalau kucingnya ketemu sama kucing lain.”
Separah itu? Posesif sekali.
“Oh, gitu.”
Mendengar balasanku yang singkat, Gian langsung menoleh dengan raut sewot. “Gue pikir lo akhirnya tertarik sama cowok nyata, Kak.”
“Enggak.”
Gian berdecih, paham betul kakaknya yang lebih suka cowok fikai.
Wajah laki-laki itu sangat tidak ramah. Sebisa mungkin aku menghindari orang seperti Eiji. Masalahnya, kenapa laki-laki itu punya kucing yang luar biasa imut? Itu sangat kontras dengan wajahnya.
≽^⩊^≼
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Approach Nyan✔
Ficção AdolescenteApa benar kalau mau deketin kucing harus deketin pemiliknya dulu? Tapi pemiliknya posesif banget. "Gue boleh pegang Nyan?" "Enggak boleh!"