SAMPAI menjelang siang, ponsel Ernest masih mati. Membuatnya semakin tersiksa dan putus asa dengan rasa marah yang siap meledak kapan saja. Gemi menebak, Ernest sengaja melakukan itu! Jelas Ernest mendengar tuntutan penjelasan darinya sebelum memutuskan sambungan.
Keingintahuan yang tinggi, menyeret langkahnya ke kantor Ernest.
“Maaf Bu Gemi, aku tidak bisa memberitahukan di mana Pak Ernest menginap.”
“Kenapa? Aku istrinya!” Darahnya langsung mendidih mendengar respon Linda-asisten Ernest yang sangat tidak masuk akal. Dia salah satu yang selalu menghujaninya dengan pandangan sinis.
“Pak Ernest sedang menangani kasus berat. Aku tidak bisa memberitahukan karena itu menyangkut keamanan pengacara.” Linda memperjelas alasannya.
“What the fuck is that? Aku ini siapa? Apa mungkin aku mengancam keamanan suamiku sendiri?” Suara tingginya memecah keheningan. Suara-suara langkah yang mulai mendekat, terdengar jelas.
“Pak Ernest sendiri yang melarang tanpa pengecualian siapa pun.”
“Kamu tahu kenapa aku sampai datang ke sini? Karena ponsel Ernest tidak bisa dihubungi!”
“Tapi barusan, sekitar setengah jam lalu, Pak Ernest menghubungi saya.”
“Dengan nomor apa?”
Bila ternyata dugaannya salah dan memang terjadi sesuatu pada ponsel Ernest, bukankah semestinya Ernest berusaha menghubunginya dengan cara apa pun untuk menjelaskan? Ini malah bisa menelepon ke kantor, sementara membiarkannya dalam tanda tanya besar.
“Nomor ponsel kantor.”
“Berapa nomornya?”
“Maaf, Bu Gemi. Pak Ernest juga merahasiakan itu kepada siapa pun.”
Lagi-lagi jawaban tidak masuk akal, seperti sengaja dibuat untuk menutupi sesuatu. Membuatnya tertawa keras di tengah rasa kecewa yang memuncak.
“Oke, baik! Tolong sampaikan pesan kepada Bapak Ernest Lakeswara, S.H., M.H. untuk menghubungi istrinya dalam waktu dua jam, terhitung mulai detik ini! Kalau tidak, aku keluar dari rumah.” Wajah di depannya tampak kaget.
“Gemi, ada apa?” Suara Widya membuatnya berpaling ke pintu.
“Aku hanya ingin tahu Ernest menginap di mana karena ponselnya mati. Tapi dia bilang, itu rahasia. Aku juga tidak boleh tahu nomor telepon kantor.”
“Linda! Kenapa bisa begitu?” Widya menghardik.
“Maaf, Bu. Itu memang Pak Ernest yang mau.”
“Persetan dengan aturan Ernest! Kalau tidak dalam keadaan darurat, mana mungkin istrinya sampai mau datang ke sini? Cepat berikan sekarang, atau aku akan membuatmu dipecat!”
Kalau Gemi yang dikenalnya sebagai sosok lembut dan patuh, bisa berubah sikap sedrastis itu, pasti ini bukan hanya masalah ponsel mati.
“Baik, Bu.”
“Sudah tidak perlu! Sampaikan saja pesanku. Terima kasih, Mbak.”
“Gemi …,” Widya segera menghalangi langkahnya yang hendak keluar.
“Maaf, Mbak. Aku sedang ingin sendiri.”
“Hati-hati di jalan,” teriaknya pasrah, sebelum sekali lagi, menatap Linda dengan penuh intimidasi.
***
ERNEST sedang mengemudi sambil mendengarkan Linda yang berbicara di telepon. Laporan berakhir dengan sebuah pesan dari Gemi yang membuatnya refleks menginjak rem.
KAMU SEDANG MEMBACA
GEMINTANG, I'M SORRY!
RomancePerpisahan dengan Ernest, tidak saja membawa duka mendalam, tapi juga memaksa cinta dan benci saling berlomba mendominasi hati. Tabir perselingkuhan yang terkuak dalam sebuah tragedi, menyadarkan Gemintang bahwa tak mengenal Ernest seutuhnya. Akanka...