Bab 1 - Percintaan Terakhir

159 18 1
                                    


GEMI terkulai lemas setelah sesi percintaan yang berlangsung lama. Meringkuk kedinginan dan tak berdaya untuk sekedar meraih selimut yang terlipat rapi di ujung tempat tidur.

Ernest keluar dari kamar mandi setelah membersihkan diri. Hanya melirik sekilas, sebelum langkahnya mengarah ke pintu menuju ruang kerja. Saat kembali satu jam kemudian, Gemi masih berada dalam posisi sama.

"Gemi, bangun!" Ernest menepuk-nepuk pipi yang terasa hangat, lalu meraba dahinya yang juga hangat.

Mata Gemi terbuka, menatap sayu. "Kepalaku pusing sekali." Kembali terpejam.

"Kamu harus membersihkan diri sebelum tidur." Gemi tidak bergeming. "Hei ...!" godanya gemas. Jarinya mempermainkan wajah dengan lesung pipi yang tak cukup sekali memandang.

"Hmmm ..., jangan ganggu aku!"

Melihat reaksinya, pasti tak akan bangun. Ernest bangkit menuju kamar mandi. Kembali dengan membawa handuk yang sudah dibasahi air hangat. Akan melakukan seperti yang sering kali Gemi lakukan untuknya, bila tidak sanggup bangkit setelah sesi bercinta.

Dengan gerakan lembut, mulai mengelap leher jenjang, payudara dan perut langsing Gemi, tempat ia mendaratkan ciuman dan jilatan bertubi-tubi untuk melampiaskan banyak rasa. Berpindah ke selangkangan dan bagian intim, dadanya berdebar lebih kencang dengan tangan canggung. Ini kali pertama ia melakukannya.

Hasrat tiba-tiba kembali bergelora, membuatnya menelan ludah berkali-kali dengan jakun naik turun. "Gemi ...," bisiknya pelan, sebelum mendaratkan ciuman di telinga. Tidak ada reaksi.

"Gemi," panggilnya lagi dengan mengelus pipi. Juga tidak ada reaksi, menghilangkan kesabaran sementara hasrat sudah tak tertahankan.

Ernest tak menyerah, mulai melancarkan ciuman agak kasar. Melumat dan menghisap bibir, sudah pasti akan membangunkan Gemi. Usahanya berhasil, Gemi segera terbatuk-batuk karena sesak napas.

"Apa lagi?" tanyanya dengan sedikit menghardik. Tatapan mesum Ernest, bagaikan jarum yang akan ditusukkan ke tubuhnya. Membuat semua bagian menjadi ngilu. "Aku capek!"

"Satu kali lagi." Wajah Ernest memelas.

"Kamu minum apa, sih ...? Kenapa bisa pengin terus?" Ingin saja ia menangis.

"Please ..., satu kali lagi. Besok sampai minggu depan, tidak ada yang akan mengganggumu. Hm?"

"Tadi kamu juga bilang seperti itu!"

Meski raut muka Gemi terlihat sangat menderita, tak berhasil menyentuh titik komprominya. "Please ...."

"Iya, iya! Selesaikan dengan cepat. Tidak perlu pakai for ...." Bibirnya langsung terkunci oleh ciuman. Bereaksi semampunya, berniat menjadi pihak pasif, tetapi begitu mendengar desahan erotis Ernest, hasratnya pun ikut bergelora juga.

"Tadi katanya capek?" Ernest sempat menggoda sebelum memasuki tubuh Gemi yang menegang sempurna. Tak ada balasan atas ledekannya, yang terdengar hanya namanya disebutkan berulang-ulang.

***

WULANDARI sudah menunggu cukup lama di meja makan. Pukul 09.00 pagi ketika melihat kemunculan Ernest sendirian, tanpa sang menantu. Tarikan napasnya semakin berat, bisa dipastikan bahwa Gemi, si Nyonya Besar, belum terbangun. Memunculkan rasa teraniaya yang semakin dalam.

"Istrimu masih tidur jam segini? Tidak merasa punya kewajiban melayani suami, sarapan?" tanyanya dengan wajah menunjukkan ketidaksenangan.

"Sudah lama Mama datang?" Ernest malah balik bertanya.

GEMINTANG, I'M SORRY!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang