Sherina masih tak menyangka jika janji yang Sadam ucapkan saat mereka berdua terkurung di gudang akibat ulah anak-anak buah Dedi, salah satu tersangka komplotan pencuri Sayu, seekor urang utan di Kalimantan beberapa waktu lalu langsung dibayar kontan oleh Sadam saat dia berkunjung ke Jakarta. Seminggu setelah hiruk pikuk sibuk tiada henti menjadi salah satu saksi kunci kasus Syailendra, Sherina dan Sadam akhirnya bisa 'melarikan diri'.
Pulau Kelor di wilayah Kepulauan Seribu menjadi destinasi pilihan Sadam mengajak Sherina berjalan-jalan melepas lelah dari segala ingar bingar kesibukan mereka. Sadam belum bisa mengajak Sherina ke tempat yang lebih jauh dan lebih istimewa, selain karena tuntutan mereka berdua masih harus hadir sebagai saksi kunci kasus Syailendra, pekerjaan Sherina benar-benar tidak bisa ditinggal barang sejenak. Sherina M Darmawan kini tak hanya menjadi jurnalis terbaik NEX TV, tapi juga bertambah menjadi 'artis dadakan' -- narasumber pemerhati perlindungan satwa liar khususnya orang utan. Sebenarnya Sadam juga terkena imbasnya, tapi laki-laki itu menolak. Dia lebih memilih di belakang layar saja. Hingga pekan depan, Sherina bersama Sadam yang kali ini tidak bisa menolak, telah dijadwalkan untuk menerima penghargaan dari Kemeterian Lingkungan Hidup atas dedikasi mereka dalam menjaga orang utan.
Di Pulau Kelor keduanya benar-benar menikmati liburan mereka. Berdua mereka menikmati keindahan pemandangan salah satu pulau di gugusan Kepulauan Seribu itu. Belajar sekaligus mengagumi kegagahan Benteng Martello yang sudah berdiri sejak tahun 1850.
Tak henti Sherina mendecakkan kagum pada setiap lanskap pemandangan yang tersaji di depan matanya. Begitu indah dan menenangkan. Lokasinya pun tak jauh dari pusat ibukota, satu hal yang baru Sherina sadari.
Sejatinya perjalanan Sherina dan Sadam di Pulau Kelor berjalan sebagaimana mestinya hingga sebuah kejadian tak terduga dilakukan oleh Sadam pada Sherina. Yang sontak saja langsung membuyarkan akal sehat perempuan yang hari itu mengenakan setelan kemeja biru muda tanpa lengan dan rok bermotif bunga-bunga. Semua momen indah berkeliling menikmati keindahan Pulau Kelor, mengagumi kegagahan Benteng Martello yang masih tegak berdiri seketika ambyar. Berganti ribuan pertanyaan akan maksud, tujuan, hingga motif Sadam melakukannya.
Saat ini keduanya tengah duduk bersisian di tepi pantai menghadap laut lepas diiringi suara deburan ombak yang tak begitu keras. Kaki keduanya basah sesekali tersapu ombak yang sampai ke bibir pantai.
Alih-alih menikmati suasana pantai yang menjadi favoritnya itu, Sherina justru terjebak dalam pikirannya sendiri. Masih terus memikirkan tindakan yang Sadam lakukan padanya tadi dengan tiba-tiba.
Jengah dengan pikirannya sendiri yang hanya akan terus berputar-putar tanpa bisa bertemu jawabannya, Sherina akhirnya memutuskan leih baik untuk menyakannya saja secara langsung pada Sadam. Mumpung lelaki itu masih ada di hadapannya. Belum menghilang kembali ditelan lebatnya hutan Kalimantan.
Namun di sisi lain hatinya, Sherina merasakan canggung sekaligus takut yang luar biasa. Hingga dia merasakan detakan jantungnya yang menghentak hingga ke tulang rusuknya.
"Dam.."
Akhirnya Sherina memanggil nama laki-laki di hadapannya itu pelan. Seakan ragu juga dengan reaksi yang akan dia terima jika pertanyaan yang sudah di ujung lidah ini tak sesuai dengan harapannya. Tapi jika tak segera ditanyakan, mungkin dia tak akan pernah mendapat jawabannya.
"Dam..." panggil Sherina sekali lagi. Kali ini dengan lebih mantap.
Laki-laki itu, Sadam Ardiwilaga, sahabat semasa kecil hingga remajanya yang kini telah kembali bersamanya lantas menoleh ke arahnya menatap dalam mata Sherina.
"Dam..."
"Sekali lagi kamu panggil-panggil nama aku gitu, dapat piring cantik kamu, Sher," seloroh Sadam yang dihadiahi pukulan pelan di lengannya oleh Sherina.
Gelak tawa Sadam lantas pecah. Bibirnya tak bisa berhenti tertarik membentuk senyuman. Sahabatnya itu memang cukup sensitif dengan guyonan-guyonan receh apalagi jika dia dalam mode serius. Tapi Sadam tetaplah Sadam. Dia tak akan pernah ragu untuk menggoda Sherina.
"Jadi, kenapa? Apa yang pengen kamu tanyain?" tanya Sadam sudah lebih serius setelah dia menyelesaikan tawa. Memperhatikan Sherina yang justru terdiam tak ada lagi pertanda akan melanjutkan pertanyaannya.
"Sher..." kali ini Sadam yang memanggil nama wanita di hadapannya. Mengguncang lengannya pelan.
Sherina pun tersadar bahwa ini memang waktunya. Dia pun menutup mata, menghela napas sebentar, mempersiapkan diri untuk mengajukan pertanyaan, menuntaskan rasa penasaran yang menggelayutinya.
"Dam..."
"Oke, yuk, kamu dapat piring cantik," ujar Sadam bangkit berdiri sambil menarik tangan Sherina yang tentu saja ditahan oleh perempuan cantik itu.
"Serius dong, Dam!" protes Sherina serius.
Mendengar Sherina yang begitu serius Sadam pun kembali duduk ke bangkunya. Memusatkan penuh perhatiannya pada Sherina.
Tapi ternyata lagi-lagi Sherina hanya bisa diam saat menyadari Sadam menatapnya dengan penuh perhatian. Lidahnya tiba-tiba kelu. Tak mampu menyuarakan apa yang sudah ada di ujung tanya.
Dalam hati, Sadam pun menghitung, sudah hampir empat puluh lima detik waktu berlalu dan Sherina tak juga kunjung melontarkan tanya. Namun sesungguhnya lelaki duapuluh sembilan tahun itu sudah tahu kemana dan apa yang akan ditanyakan oleh Sherina. Sedari awal. Dia sudah mengetahuinya. Dia hanya ingin mengulur waktu. Sampai dimana batas kesabaran dan keingintahuan Sherina.
Kenyataannya? Justru dia yang kalah. Sadam Ardiwilaga sudah tak bisa lagi menahan perasaannya.
Tepat di detik ke enampuluh, Sadam meraih dua tangan Sherina dan menggenggamnya erat. Tentu saja hal itu membuat Sherina terlonjak kaget dan sedikit salah tingkah. Reaksi yang diharapkan Sadam.
"Kalau kamu pengen nanyain apa maksud aku cium kening kamu di bawah pohon tadi, aku gak akan kasih jawabannya. Aku pengen kamu bisa simpulin sendiri jawabannya," jelas Sadam akhirnya membuka percakapan.
Sherina terlihat akan menyela namun dengan cepat Sadam memberikan isyarat diam. "Tapi kalau kamu masih belum bisa nemuin jawabannya, coba kamu tanya disini, ke lubuk hati kamu yang paling dalam," imbuh Sadam. Menekankan satu telunjuk tangannya pada dada Sherina.
Sherina mengerjap-ngerjapkan dua matanya. Mencoba memahami sekaligus memaknai apa yang baru saja Sadam katakan. Hingga akhirnya dia menyadari bahwa ternyata tak semudah itu dia bisa mendapatkan jawaban atas pertanyaan hatinya!
"Dam, aku gak ngerti," ucap Sherina lirih. Lebih baik jujur saja daripada mengulur waktu.
Di hadapannya Sadam mengulum senyum. Sebuah senyum manis yang andai saja itu pertama kali dilihat oleh Sherina, dia pasti akan langsung jatuh cinta tanpa syarat di detik itu juga. Tapi ini Sherina, dia sudah berpuluh-puluh bahkan mungkin beratus-ratus kali melihat senyum itu. Senyum yang selalu sukses memacu detak jantungnya dua hingga tiga kali lebih cepat dari biasanya. Senyum yang selalu mampu menjungkirbalikkan akal sehatnya.
"Sekarang, kalau pertanyaannya aku balik. "Sher, apa alasan kamu nyium aku di Bosscha duapuluh tahun yang lalu?" Kira-kira kamu bakal jawab apa?"
Telak!
Itu adalah pertanyaan yang paling tidak bisa dijawab oleh Sherina. Pertanyaan yang mungkin memang tak pernah ada jawabannya tekstualnya. Pertanyaan yang jawabannya mungkin harus ditemukan, dimaknai, dan dirasakan dengan hati.
Keduanya kemudian terdiam. Menyelami hati masing-masing, mencari jawaban atas pertanyaan yang sebenarnya sudah benar-benar jelas dan nyata.
Namun sempat mereka abaikan,
sempat mereka tak acuhkan,
sempat mereka coba singkirkan,
demi sebuah frasa persahabatan
"Kenapa kamu gak bilang jujur aja sih, Dam?" Sherina akhirnya menemukan suaranya. Ada rasa haru bercampur sedikit penyesaaan di dalamnya.
Kembali Sadam memandang wajah perempuan di hadapannya itu. Kali ini dia benar-benar mamandanginya dengan sepenuh hati. Tak ingin dan tak akan lagi dia menyia-nyiakan kesempatan. Cukup sepuluh tahun ini saja. Jangan ditambah-tambah lagi.
Sebulir air mata menetes di pipi putih Sherina yang dengan cekatan dihapus Sadam dengan ibu jarinya. Hatinya nyeri melihat Sherina menangis seperti itu. Di detik selanjutnya dengan tanpa permisi otak dan hatinya menginterupsi, melontarkan tanya sudah berapa banyak tangis yang sudah Sherina tumpahkan saat mengetahui pilihannya untuk sementara pergi dari kehidupannya? Saat masa-masa Sherina sendiri tanpa ada dirinya lagi?
Buru-buru Sadam mengenyahkan pikiran menyedihkan itu. Dia tidak ingin justru terjatuh dalam penyesalan. Saat ini yang dia inginkan adalah memulai hubungan yang baru dengan Sherina.
Dengan lembut Sadam kemudian menangkup kedua pipi Sherina dengan tangan besarnya. Berusaha menyalurkan perasaan yang sedalam-dalamnya agar Sherina mampu memahaminya tanpa harus dia mengatakannya.
"Sher, emangnya ini aku harus ngomong ya?" Sadam menelengkan kepala diikuti kerlingan usilnya. "Kita nih udah bukan anak SMP lho yang apa-apa harus dibilangin. Apa gak cukup apa sama yang aku lakuin tadi? Hm?" lanjut Sadam dengan suaranya yang semakin lirih dan dalam.
Kali ini mulut Sherina benar-benar terkunci. Sama sekali tak ada kata-kata yang bisa diucapkannya. Yang hanya bisa dipikirkannya adalah betapa cepat jantungnya berdetak. Betapa semakin dekatnya wajah Sadam di hadapannya. Deru pelan napasnya menggelitik pelan saraf-saraf di wajah Sherina.
Hingga pada akhirnya baik Sherina ataupun Sadam menyerahkan semua apa yang akan terjadi diantara mereka pada rasa yang sudah lama terpendam. Membiarkan insting masing-masing yang mengambil alih untuk menuangkan semuanya. Memberikan jawaban atas pertanyaan yang tak akan bisa dijawab dengan kata. Membawa mereka pada sebuah awal yang baru, dunia yang baru, dan juga hubungan yang baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika
ФанфикSlice of Life Sadam and Sherina. Bagaimana mereka berdua menghadapi dan menjalani berbagai macam "Ketika" dalam hidup yang mereka jalani.