Han Jean Atmaja, sejak kecil ia tidak pernah absen mendengar orang-orang mengatakan bahwa hidupnya sempurna, diberkati, dan mujur. Parasnya yang rupawan lebih disempurnakan oleh IQ di atas rata-rata yang merupakan warisan turun-temurun dari keluarga bermarga Atmaja. Bukan lagi rahasia jika hidup seorang Han Jean bak dongeng.
Namun Tuhan itu adil. Kehidupan adalah sarang ketidaksempurnaan.
"Anak ini tampan sekali."
"Wah! Pintar sekali, padahal umurnya baru menginjak tujuh tahun."
"Han Jean, kamu dikelilingi keberuntungan, Nak! Kamu hebat sekali!"
"Andai anakku seperti Han Jean. Orang tuamu pasti bangga sekali."
Apa gunanya semua pujian itu? Han Jean sering menanyakannya. Pujian harusnya membuat hati senang, akan tetapi hati Han Jean datar tak merasakan getaran apa pun. Dia justru dibebani dengan tuntutan untuk mengenali ekspresi yang semua orang tampilkan agar ia paham emosi orang itu.
Jika pujian tidak menggerakkan hatinya, haruskah Han Jean membuat orang-orang memaki dan membencinya?
Dengan mudah ia melakukannya.
Kala itu, di pagi hari yang cerah. Han Jean membuat sekolah gaduh karena ulahnya yang mencekik seekor anak kucing di hadapan teman-temannya hingga anak kucing itu tak bernyawa.
Teriakan, tangisan, hingga makian Han Jean terima. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi sama sekali. Bocah itu memperhatikan satu per satu teman sekelasnya, ekspresi baru ia pelajari namun tetap saja Han Jean tidak merasakan sesuatu yang membuat dirinya merasa hidup.
"Han Jean! Kamu monster! Apa kamu tidak kasihan sama anak kucing itu?!" teriak salah satu temannya.
Mendengarnya membuat Han Jean kecil mengalihkan pandangannya ke arah makhluk berbulu yang ia cekik. Lidah anak kucing itu keluar, dia sudah tidak bernyawa. Diperhatikannya anak kucing yang ia renggang nyawanya dengan saksama. "Kasihan?" tanya Han Jean kecil pada dirinya sendiri. "Enggak," lanjutnya masih dengan ekspresi datar.
Pandangan Han Jean kembali tertuju pada teman sekelasnya. Ia mendikte satu per satu ekspresi yang mereka tampilkan. Ketakutan, sedih, dan marah. Tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang berani menghampiri atau menyelamatkan anak kucing tak bernyawa dari genggaman tangan Han Jean. Han Jean dengan angkuh masih bediri di depan kelas melakukan aksi pertunjukan tanpa ada yang menghentikan.
"Kalian kasihan?" tanya Han Jean. "Gimana biar kita kasihan?"
Tidak ada yang menjawab, Han Jean kecil justru semakin mengeratkan genggamannya guna mencekik erat anak kucing tak bernyawa itu. "Sekarang atau nanti, bukannya kucing ini akan mati? Semua makhluk hidup akan mati, kan? Apa yang membuat kalian kasihan? Aku hanya mempersingkat nyawanya saja."
"Kamu penjahat Han Jean!" maki teman-temannya.
Guru datang hendak mengajar kelas Han Jean, namun beliau jatuh terduduk tepat setelah dua kali melangkah masuk karena langsung disuguhkan pemandangan tak wajar di depan kelas. Han Jean dan anak kucing mati yang tengah ia cekik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Han J ; Drive You Insane [End]
Romansabook #1 Han J Drive You Insane book #2 Han J Raison d'être [Final] Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi yang mengoleksi banyak topeng. B...