Bagian 10

2 1 0
                                    


*****

"Hah?!" Sengaja gue teriak-teriak di dekat telinganya. Takut dia gak kedengaran. Naik motor ngebut-ngebut emang susah ya buat ngobrol.

"Kamu emang dari mana? Kok bisa sampai di sini?" Dia ikut pasang suara menggelegar.

"Dari Tegal." Gue bohong lagi.

"Iso ngomong jowo, tho?"

"Hah?!"

"Iso ngomong jowo ora? Tegal iku kang rata-rata ne wong jowo."

"Lo ngomong apa, sih?"

Dia malah ketawa. Kayak orang yang girang banget. Gue sampai melting dengan suaranya.

"Kalau malam gak ada yang berani lewat jalan sini. Soalnya gelap. Banyak orang yang suka macam-macam."

"Sama kamu mah aku gak berani macam-macam. Beraninya satu macam. Aseeek."  Dari kaca spion gue bisa lihat dia lagi mesem. Ya Allah, senyumnya itu loh! Gak kuat hayati, Bang.

Sepanjang perjalanan pematang sawah yang memang gak ada lampunya gue dan dia bersenda-gurau. Mulai dari jokes garing sampai gombalan receh kita jadikan bahan obrolan. Ngobrol ngalor ngidul meski banyak "Hah" nya gara-gara gak kedengaran. Fadli orangnya humble banget sama orang baru kaya gue. Perlu gue akui meski terkesan humble dia benar-benar berusaha tetap menjaga batasan Antara pria dan wanita. Terbukti dari cara dia yang berulangkali mendehem kalau posisi gue terlalu dekat sama punggung dia. Dia juga gak menimpali gombalan yang mungkin terlalu mengandung perasaan kali, ya.  Meski begitu dia tetap menghargai yang namanya perbedaan. Dia gak pernah tuh nyeletuk orang harusnya begini, tingkah lakunya harus begitu. Gak sombong sewaktu di sapa sama yang gak pakai hijab. Bodynya boleh kayak Amar Zoni, tapi tingkah lakunya mirip Habib Alwi.

"Lo kan pinter bikin cerita. Buatin gue satu dong. Nanti gue traktir permen cup acup, deh." Lagi-lagi spion memberi tahu kalau cowok body atlet itu tersenyum.

"Pasti Budhe juga cerita kalau Saya pernah mondok di Ponpesnya Kiayi Adam."

"Lebih dari itu. Bu Marnah juga cerita kalau kamu pernah masuk ke koran gara-gara cerita yang kamu buat. Bu Marnah yang bilang sendiri kalau cerita kami bikin dia kewaleran." Gue ngakak pas ingat kejadian Bu Marnah ngomong 'kewaleran' tanpa wajah berdosa.

"Kamu lucu, ya kalau ngomongnya aku--kamu. Saya berasa ngobrol sama orang yang punya kepribadian ganda jadinya." Kali ini suara tawa dia kedengar jelas di telinga. Gue ikutan nyengir kuda.

"Aelah, Abang bisa aja." Reflek tangan gue nepuk pundaknya. Entah karena kaget atau apa tiba-tiba aja ni cowok langsung ngerem mendadak. Gue yang gak siap mau gak mau harus nempel badan sama dia.

"M-maaf." Suaranya jadi gemetar seolah baru lihat setan. Habis itu dia turun dari motor sembari jongkok.

"Kayaknya saya nabrak anak kucing, deh."

"Hah?!"

*****

Hari pertama tinggal di rumah Bu Marnah gue pergi pagi-pagi bareng Fadli ke pasar. Bantu Bu Marnah jualan sayur. Sebenarnya Bu Marnah sudah mewanti-wanti gue buat tetap di rumah aja, tapi yang namanya tamu pasti ada aja rasa gak enaknya. Toh di rumah juga gak ada hiburan apa-apa.

Kita sampai di sana sekitar jam setengah enam pagi. Itu pun sudah termasuk kesiangan. Sebab Bu Marnah sudah lebih dulu berangkat pukul empat pagi.

Gue dan Fadli bisa berangkat ke pasar bareng karena dia memang pure mau beli bahan-bahan untuk masak dan kebetulannya gue nanya ke dia arah menuju pasar lewat mana. Jadilah kita berangkat bareng tanpa di rencana. Sehabis antar gue ke tempat Bu Marnah dia langsung pamit mau belanja.  Orangnya sopan banget.

"Dia pernah daftar jadi anggota TNI beberapa tahun yang lalu, tapi berhenti setelah tahu ibunya meninggal," tutur Bu Marnah.

"Sayang banget ya, Bu."

Pantas body nya kekar begitu.

"Nduk Soraya mau pulang kapan?"
Mati, dah gue. Mana belum ada pikiran kesana lagi.

"Kalau saya kerja di sini boleh gak, Bu? Untuk sementara waktu sembari ngumpulin uang buat ongkos pulang." Gue pasang wajah sengit khas orang gak punya dosa. Eh, ternyata Bu Marnah malah bersyukur Alhamdulillah sembari ketawa.

Pas kita lagi adem-anyem sembari memilah sayuran tiba-tiba pencopet lari di depan gue sembari diikuti beberapa orang warga. Tiga diantaranya bawa parang. Insting gue mengatakan kalau di bakalan tertangkap. Tanpa pamit lebih dulu gue langsung lompat dan ikut kejar maling tadi. Sayangnya gue lupa kalau pakaian yang sekarang gue pakai menuntut gue untuk bertingkah laku layaknya perempuan. Persetan dengan tingkah laku! Gue angkat lebar itu sampai setinggi betis. Apapun yang terjadi orang itu harus gue tangani.

******

Dia menyeburkan diri ke kali yang di bawahnya ada gorong-gorong. Sontok gue langsung ikut nyebur nyusulin itu maling. Sementara warga yang lain masih berpikir dua kali untuk buat meloncat. Kesempatan itu gue pakai buat negosiasi.

"Mending Lo serahin deh tasnya ketimbang mampus di hajar warga." Gue menemukan dia lagi sembunyi di balik batu gede. "Ketahuan model Lo gini cuma ada dua pilihan. Pertama, Lo ke gap bapak-bapak terus di hajar sampe mati atau Lo serahin tas itu ke Gue dan gue jamin Lo bakal tetap di giring polisi tapi kagak bakal di hakimi."

Dia bergeming seolah memikirkan sesuatu. Gue berusaha mendekat supaya dia merasa gue orang yang bisa di percaya, tapi ternyata dugaaan gue salah. Dia mengeluarkan pisau dari balik punggungnya dan tanpa gue sadari pisau itu sudah menancap di bahu kiri. Sebagaian warga yang tahu hal itu langsung mengejar pencopet yang mulai naik ke daratan. Sebagiannya lagi menghampiri gue yang masih berusaha memahami apa yang baru aja terjadi.

Ini gue beneran di tusuk?

Soraya Denata Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang