Bagian 11

2 1 0
                                    

******

Klakson mobil berulang kali berbunyi. Gue di temani sopir dan Fadli pergi ke rumah sakit terdekat. Gue gak ngerti kenapa dia bisa ada di sana sewaktu kejadian itu terjadi. Gue juga gak ngerti pas dia bilang ke warga kalau gue ini tetangganya, yang gue ngerti bahu gue ngilu gak ketulungan.

Kita sampai di rumah sakit lima belas menit kemudian. Baju gue bersimbah darah. Bau hanyir jelas banget di menghiduan. Pisau bekas tusukan tadi juga masih bersarang di bahu. Jangan tanya rasanya. Karena gue yakin Lo  gak bakal mau ngebayangin betapa ngilunya tulang sewaktu bahu gak sengaja di gerakkin. Dan jangan lupakan rasa sakitnya persis kayak menyayat tangan sendiri sedikit demi sedikit pakai cutter.

Perawat buru-buru datang sembari bawa apalah itu namanya. Kasur rumah sakit mungkin? Gue diminta berbaring terus di dorong-dorong gak tahu kemana. Rasanya gak enak bisa lihat muka-muka mereka dari bawah. Gue juga bisa lihat mimik wajah khawatirnya Fadli juga jenggot tipisnya yang nyaris gak kelihatan kalau kita saling tatap. Untuk yang satu ini Gue menang banyak.
Gue di bawa ke ruang bedah. Sebab banyak banyak mesin-mesin yang persis kayak di film-film barat kalau lagi ada adegan bedahnya. Brangkar gue diletakkan tepat di bawah lampu. Sebelum semuanya berubah menjadi gelap gue masih ingat wajah Fadli yang benar-benar pucat, dokter juga perawat mengelilingi gue, bau obat-obatan juga suara tangis ibu-ibu yang gue yakin banget itu Bu Marnah. Setelah itu perawat menyuntikkan sesuatu di tangan. Kesadaran gue hilang.

*****

Jam menunjukkan pukul sepuluh tiga puluh. Bu Marnah sedang sholat Dhuha. Hati gue tenang lihatnya. Mungkin karena efek obat mata gue serasa sepet banget buat dibuka. Badan juga serasa berat buat di gerakin. Baru juga numpang udah ngerepotin orang.

"Budhe, Soraya nya sudah sadar." Gue yang gak sadar ada Fadli di sini jadi kaget. Pengen nengok tapi bahunya masih ngilu.

Dia langsung berdiri sembari mindahin kursi yang tadinya dekat tembok ke samping ranjang. "Kata Dokter jahitamnu belum kering. Gak boleh banyak gerak dulu."

"Ya Allah, Nduk. Kamu itu ngapain ngejar-ngejar orang kayak gitu? Untungnya cuma setengah pisau yang masuk. Lho, kalau semuanya gimana? Tanganmu bisa hilang nanti." Bu Marnah geleng-geleng kepala. Gue cuma bisa mesem dengarnya.

Ada pisau menancap di bahu gue aja masih di bilang untung. Masya Allah banget ya warga 'ples enam dua'.
"Total lima belas jahitan luar dalam. Ada niatan tambah luka lagi?"

"Hush! Jangan ngomong sembarangan!"

"Ada. Mau tambah luka di hati kalau Mas Fadlinya gak mau jadi calon suami." Mukanya yang tadi mesem berubah jadi merah. Dia salting sampai-sampai pergi keluar tanpa pamit lebih dulu. Bu Marnah yang juga ada di sana cuma bisa geleng-geleng kepala.

"Nduk, nduk."

*****

"Ada salam dari Nak Fadli. Besok malam katanya kamu mau ikut majlis Akbar gak? Kasihan katanya. Dua Minggu di rumah terus."

Ya, gak kerasa udah dua Minggu sejak insiden di pasar waktu itu. Kekhawatiran gue sedikit muncul takut sikap Bu Marnah berubah, tapi Alhamdulillahnya sampai saat ini beliau masih sudi dan ikhlas ngurusin gue beserta luka bekas tikaman.

"Daerah mana, Buk?" kata gue sembari berusaha menyapu. Hitung-hitung sedikit 'tahu diri'

"Dekat ponpesnya Nak Fadli dulu. Tho, ibu juga mau ikut. Kamu juga harus ikut ya, Nduk. Nanti kita jalan kaki bareng-bareng ke sana."

"Boleh-boleh." Gue gak pernah tahu sebelumnya kalau tempat yang di maksud itu Ponpesnya Kiayi Adam.

"Acaranya kapan, Bu?"

Soraya Denata Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang