Bagian 2

4 1 0
                                    

****

"Jadi maksudnya, Adek pingin Soden tinggal disini untuk sementara waktu, begitu?"

"Seenggaknya sampai dia punya bekal yang memadai dan gak akan mengulangi perbuatannya lagi, Bi."

Abi Ahmad terdiam cukup lama. "Sudah cerita sama Ummi?"
Farhah menggeleng. Takut gak di izinin.

"Loh, kenapa? Bukannya ridho orangtua ridho Allah juga? Orangtua Farhah bukan cuma Abi, tho? Ceritakan saja semuanya dengan jujur." Abi Ahmad menaruh telapak tangan kanannya di dada. "Dari sini," sambungnya.

Farhah ragu. Cukup lama ia memilin ujung khimarnya sebelum akhirnya berucap lirih, "InsyaAllah, Bi."

****

Di tempat lain Soden tengah asik rebahan santuy di Saung tempat mereka berjalan di jembatan tadi. Cuaca siang ini memang tak terlalu panas ditambah semilir angin juga gemericik suara air membuat matanya kian berat. Ia menguap sebelum akhirnya benar-benar terlelap dalam mimpi.

****

"Siapa namanya?"

"Soden, Mi." Mendengar itu alisnya mengkerut.

Ummi Syiha, begitu para santri memanggilnya. Beliau termasuk orang yang berpikiran kritis. Ia harus benar-benar tahu sesuatunya dengan benar.

"Dek, menginginkan seseorang menjadi pribadi yang lebih baik itu baik. Tapi kita juga harus tetap berhati-hati, berjaga-jaga kalau sesuatu yang buruk terjadi. Lagipula merawat seseorang seperti Soden itu tanggung jawabnya berat, Dek. Gak segampang kamu masukkan dia ke pondok lalu seminggu dua minggu sudah ada perubahan. Enggak begitu caranya. Adek sudah tahu langkah kedepannya bagaimana? Sudah ada perencanaan yang matang?"
Farhah yang sedari tadi duduk ndlosor, memeluk betis Umminya itu menggeleng. Bungsu satu ini memang kerap manja.

Ummi Syiha menghela napas berat. Farhah sadar betul masing-masing dari anggota keluarganya memiliki tanggung jawab yang besar nan berat. Terlebih lagi Soden masuk ke dalam asrama putri yang otomatis menjadi tanggung jawab Ummi Syiha.
Belum lagi berbicara Ummi Syiha dan Farhah dibuat terkejut dengan kedatangan santri putri yang nampak tergesa-gesa. Melaporkan ada yang bertengkar di asrama. Ummi Syiha segera melempar pandangan ke arah anaknya. Seolah tahu apa yang tengah terjadi di asrama.

Ummi Syiha memimpin jalan di ikuti Farhah juga santri putri yang tadi melapor. Mereka pergi menuju ruang sidang. Tempat yang paling tertutup diantara sekian banyak ruangan di asrama. Hanya petugas yang berwenang saja yang boleh masuk.
Dari kejauhan nampak para santri tengah berkumpul memadati ruangan dari luar. Ada yang berusaha mengintip lewat jendela ada pula yang berusaha mencuri dengar dari pintu yang tertutup rapat.

Melihat Ummi Syiha juga Ning Farhah yang semakin mendekat kompak semua santri menyingkir, merunduk, memberi jalan. Santri putri yang melapor tadi segera membukakan pintu. Nampak Ayi sedang berhadapan dengan Soden yang lagi-lagi tangannya di ikat di kursi.

"Ada apa, Mba?" tanya Farhah sementara Ummi Syiha mengamati.

"Punten, Ning. Mba Soden tadi tidur-tiduran di saung simakan dengan pakaian seperti itu. Saya sudah memperingatkan, tapi ndak dia dengar. Malah menantang berkelahi, jadi Saya amankan kemari," tutur Ayi.

"Bener apa yang dikatakan Mba Ayi?" Ummi Syiha mendekati Soden yang menatapnya dengan tatapan menantang.

Soden terdiam. Terbesit gentar dihatinya tatkala melihat sorot mata tajam Ummi Syiha. Bukan hanya itu, suara Ummi Syiha pun penuh penekanan. Ia seolah melihat sosok yang selama ini ia lupakan.

"Diamnya kamu sama saja membenarkan apa yang Asiah katakan." Ummi Syiha sedikit merunduk. Melepaskan tali yang mengikat tangan Soden dengan hati-hati.

"Semua anak yang masuk ke tempat ini, mau baik atau buruk. Dia sudah Ummi anggap anak sendiri. Jadi, kelakuanmu pun sudah termasuk tanggung jawab Ummi."

Soraya Denata Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang