Bagian 8

3 1 0
                                    


*****


"Den, aku mau keluar sebentar. Nitip Tiur, ya."

"Nanti kalau dia bangun gimana?"
"Jangan banyak tanya. Kasih air hangat jangan lupa. Assalamualaikum."

"Dih kutil kuda. Gue belum selesai ngomong udah ditinggal."

Gue bingung mau ngapain. Alhasil, yang gue lakukan cuma melamun sembari nunggu Tiur bangun.

"Ya Allah, bosen banget. Tiur cepet bangun, sih. Nanti kita beli es krim. Makanya buruan bangun," kata gue  sembari mencetin hidungnya. Jahil sih, tapi lucu.

Eh, gak lama dia beneran bangun. Gue auto panik buru-buru ngambil air hangat buat dia minum. Soalnya bibirnya gemetaran parah gitu. Kayak orang yang menggigil kedinginan. Kadar kepanikan gue bertambah sewaktu mata dia tiba-tiba nangis meski gak ada suaranya.

"M-minum, ya?" kata gue sembari menyusun bantal agak tinggi biar bisa dia dijadikan sandaran. Dia mengangguk lemah.

Gue sodorin air putih hangat sesuai instruksi Ayi sembari memandang dia, khawatir. Jaga-jaga kalau mau sesuatu, tapi yang terjadi dia malah kembali diam dengan tatapan kosong. Seolah pikirannya lagi melayang ke tempat yang jauh.

"Mba Ayi mana?" Suaranya kecil banget.

"Tadi keluar. Kalau Lo mau sesuatu. Lo bisa bilang ke gue." Reaksi dia cuma menggeleng dan itu pun pelan banget.

"Tiur mau tidur." Mendengar itu buru-buru gue atur posisi tubuhnya seperti semula. Habis itu lenyap lagi. Susana kembali hening.

Gue mulai bosan dengan keseharian di sini. Terlalu monoton dan nyaris gak ada tantangan. Saking bosennya gue mampir ke asrama Aisyah. Asramanya si Sofita. Modus nyariin Ayi. Asramanya lumayan besar. Ada enam kamar secara keseluruhan. Rasa bosan masih belum hilang.

********


"Kamu ngapain di sini?"
mati dah gue!

"Loh, Lo orang yang waktu itu sempaknya jatoh kan?" Sambil berdehem gue melipat tangan di dada. Pura-pura berani padahal deg-degan parah.

"Iya, yang sering kamu intipin juga sewaktu saya di sawah."

"Ohh, jadi itu Lo! Yang namanya Reza kan?"

Duh Gusti. Muka gue udah panas dingin.

"Kenalin. Gue Soden. Tamu dari jauh. Hehe. Karena kita udah kenalan gue cabut dulu, yak. Emak Babeh gue takut nyariin."

Gue pamit undur diri sambil melangkah pergi tapi sialnya dia langsung motong langkah, terus berdiri tepat di hadapan gue.

"Ada ya, tamu dari jauh yang sampai berani manjat-manjat tembok pembatas terus sekarang malah nyelinap masuk ke asrama santri putra. Pakai baju santri lagi. Buat malu saja."

Gue diam membatu. Kata-katanya barusan beneran nyakitin.

"Mau ngaku atau saya giring ke tengah lapangan?"

"J-jangan dong, Bang. Kita kan ce-es. Sesama teman kudu saling membantu, lah."

"Saya gak pernah merasa punya teman modelan kamu."

"Y-yaudah. Kalau gitu mulai sekarang kita temenan. Plis, lah jangan kasih tahu siapa-siapa. Nanti aye beliin es krim Magnum, deh."

"Ngaku Ndak!"

Gue tersentak. takut sekaligus gak sangka kalau kepribadiannya asli ni cowok gak sesuai mukanya.

"Siapa, Za?"

Mampus dah gue. tanpa pikir panjang gue langsung ngumpet di belakang pundaknya tuh cowok. Alhasil dia langsung mati kutu. Bahunya kelihatan tegang banget.

"Sopo iku, Za?" Itu orang di depan malah jalan ke arah kita sambil pasang wajah curiga.

"Gue takut," lirih gue yang bikin dia menoleh.

"Abang," Panggil gue cukup keras. Dia sampai kaget.

"Koe duwe adik wadhon, Za? Kok ana neng kene?"

"Anu..."

"Saya ndak tahu kalau ini asrama santri putra."

"Oalah. Sekarang kan sudah tahu, nanti adik balik lagi ke depannya. Selain laki-laki ndak boleh ada yang yang masuk sini."

Gue pura-pure mengangguk. Membiarkan cowok yang tadi pergi.
"M-maaf, Gue cabut dulu. Traktiran es krimnya kapan-kapan, ya. Assalamualaikum!"

Tanpa mau memperpanjang masalah gue langsung ngibrit ke arah tembok pembatas. Meninggalkan Reksa yang masih bengong dengan kejadian tadi.
Saking takut nya gue sampai teledor. Gak hati-hati pas mau meloncat ke bawah. Rok gue keserimpet kawat besi dan berakhir dengan cidera kaki. Saking parahnya kaki gue sampai ngilu banget buat digerakkin. Beruntunglah mba Reski datang ke arah gue. Meski dengan raut wjaah yang kurang enak dipandang.

"Mba, tolong dong. Kaki gue ngilu, nih. Kayaknya ada yang patah, deh."
Sekilas dia menatap ke arah tembok pembatas. Gak biasanya dia melipat tangan di dada. Pas gue lihat wajahnya ada tatap mata gak suka di sana.

"Kamu habis dari mana?" Pertanyaan singkat yang nyaris bikin jantung gue copot karena nada bicaranya.

Soraya Denata Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang