Bagian 9

2 1 0
                                    

Ternyata gini ya rasanya gak punya siapa-siapa. Hidup luntang-lantung gak jelas. Gak ada tempat berkeluh-kesah. Gak ada pelecut yang bisa bikin gue semangat menjalani hari-hari sialan ini. Meski gue mati sekalipun gue gak yakin bakal ada yang nyariin.

"Abi pinta kamu ikut sholat berjamaah." Kepalanya menyembul dari balik pintu.

"Gue lagi M. Males." Dia cuma ber"ohhh" panjang sembari menutup pintu. Seminggu gue tinggal di rumah ini, gak ada sedikitpun gue rasa hangatnya sebuah keluarga. Toh, lama-lama mereka bakal jengah juga.
Kadang gue heran. Hidup ini sebenarnya untuk apa? Untuk siapa gue hidup? Mau jadi apa ke depannya? Dan banyak pertanyaan lain yang semakin membuat gue bingung. Seolah semua yang gue jalani sekarang bakal sia-sia belaka.
"Soraya dimana?" Bisik suara cowok terdengar sampai ke dalam. Dia nyari gue?

"Di dalam, Mas."

Tunggu, tunggu! Ini maksudnya apaan? Gak lama kemudian knop pintu di putar. Gue langsung pasang badan khawatir di apa-apain.

"Kamu mau makan?"

"Enggak."

"Mau keluar?"

"Enggak."

"Terus maunya apa?"

"Lo keluar dari sini." Gue lihat senyumnya berubah kecut. Farhah kembali menutup pintu. Kali ini pelan-pelan.

Andai gue gak ketahuan manjat dinding pembatas; mungkin santri putri gak bakal geger yang bikin Ning Farhah tahu. Lebih dari itu gue juga khawatir beritanya tersebar sampai ke asrama santri putra. Gue takut Reza kena masalah gara-gara gue yang bikin masalah.

Kenapa sih hidup gue harus sesialan ini?

Sembari merenung gue pandangi kaca jendela yang menampilkan pemandangan sunyi jalan pedesaan. Di seberangnya berhektar-hektar sawah terbentang. Sebagian kecilnya milik Abi. Gue gak nyangka harus memanggil beliau dengan sebutan begitu.

Kadang, riuhnya suara santri terdengar sampai kemari. Ada yang ketawa-ketawa, nazaman sambil menabuh gendang, nyanyi-nyanyi, ngomong keras-keras dan segala bunyi-bunyian yang menang cuma ada dilingkungan pesantren.
Kamar milik Farhah tepat di sebelah kamar gue. Jendela di sini cukup besar sampai cahaya matahari pagi bisa menerangi seluruh kamar dan Guebisa duduk tepat di pinggirnya. Tempat yang cukup bagus untuk di syukuri. Sayangnya gue gak betah dan gue gak bisa tinggal di sini lebih lama lagi.

Malam Jum'at, habis maghrib santri putra ada kegiatan Yasinan berjamaah terus berlanjut sampai adzan isya. Habis isya mereka bakal marhaban berjamaah. Satu-satunya hal yang paling gue suka dari tempat ini. Abi pergi keluar bareng Mas Afnan. Ummi Syihah ada di bawah. Beliau jarang banget ke atas. Di bawah pun gak pernah jauh-jauh dari tempat sholat keluarga. Ning Farhah juga lagi keluar. Entah ada kepentingan apa.

Pandangan gue lurus ke bawah. Kalau lompat dari ketinggian kurang lebih dua meter ringannya kaki gue bisa terkilir parah, mungkin juga patah. Pakai tali lebih gak mungkin lagi. Bisa ketahuan sama Ummi nanti. Lewat jalur depan pasti dikunci. Akhirnya terlintas ide sewaktu gue melihat ke arah samping.

Maaf, Soraya buat Ummi juga Abi kecewa.

******

Adzan isya berkumandang dan gue gak tahu mesti kemana. Gak ada satu pun sanak famili atau orang lain yang gue kenal di sini. Dan hal yang paling bego gue lakukan saat ini adalah kabur tanpa bawa uang sepeserpun. Karena emang gue gak punya uang.
Gue pandangi bangunan musholla yang berdiri tepat di depan gue. Ada ibu-ibu yang menggandeng tangan anaknya sembari masuk ke dalam. Ada juga anak yang kegirangan bisa duduk di pundak ayahnya. Gitu kali ya rasanya kalau gue dulu sampai di gendong-gendong bokap.

Soraya Denata Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang