| Patahan Ketiga |

26 6 5
                                    

.

Aku balik lagi!! 

Happy reading :*



 | PATAHAN KETIGA |

Dulu, ketika masih duduk di bangku TK, Nareshta Harsa pernah bertanya pada Mamak tentang tiadanya sosok ayah di rumah mereka. Saat itu, dia terlalu penasaran hingga mengabaikan wajah dan mata Mamak yang mulai memerah karena menahan tangis di depannya.

Pertanyaan bermula sebab suatu hari, sekolahnya mengadakan perayaan hari ayah. Semua murid diharuskan membawa ayahnya. Dan karena dia tidak punya ayah, Mamak berdandan seperti laki-laki untuk menemaninya ke sekolah. Awalnya semua baik-baik saja. Dia juga tidak mempermasalahkan ketiadaan sosok ayah di hidupnya, tapi sehari setelah acara itu, teman-temannya mulai bertanya sembari mengoloknya karena ayahnya tidak pernah datang ke sekolahnya. Dan karenanya, Nareshta menangis untuk pertama kalinya karena dia tidak punya ayah.

"Naresh punya ayah, kok." Pelan, Mamak menjawab sambil mengusap pipinya yang berlinang air mata.

"Terus di mana Ayah? Kenapa nggak pernah di rumah?"

"Ayah Naresh lagi kerja. Jauh banget kerjanya."

"Kapan pulangnya?"

"Nanti, kalau udah saatnya, pasti Ayah pulang."

"Saatnya itu kapan?"

Pertanyaan itu tidak pernah dijawab oleh Mamak sampai sekarang. Mamak hanya memeluknya erat kemudian memberinya selembar foto pria yang matanya serupa dengan miliknya dengan tulisan Agung Suwondo Rahardjo di baliknya.

"Mas Naresh."

Nareshta mengerjap. Lamunannya buyar. Dengan senyum sungkan, dia menerima uang hasil penjualan susu kedelai kemarin dari ibu kantin. Setelah berterima kasih, dia berlalu.

Di luar gerbang, dia melihat banyak anak-anak yang baru turun dari motor dan mobil orang tuanya. Kebanyakan dari mereka diantar oleh ayahnya yang sepertinya sekaligus berangkat bekerja. Pemandangan yang hangat sekaligus menyakitkan karena dia tidak pernah sekalipun merasakannya.

Namun, alih-alih menangis, Nareshta justru tersenyum. Dia suka anak-anak. Apalagi yang berwajah ceria dan penuh senyuman. Dulu, dia ingin punya adik, tapi kata temannya adiknya tidak akan lahir kalau dia tidak punya ayah. Dan setelah pertanyaannya tidak pernah dijawab oleh Mamak, dia tidak pernah menanyakan dan menuntut apa pun lagi.

***

"Baru sampai?" sapanya pada Rinjani, teman sekelasnya, yang langsung duduk di sampingnya. Nafasnya terengah-engah, dahinya sedikit basah oleh bulir keringat. Gadis itu dua tahun lebih muda darinya, tapi karena mengambil akselerasi selama sekolah menengah, sekarang gadis itu bisa setingkat dengannya.

Rinjani mengangguk kemudian menenggak sebotol air mineral yang baru dikeluarkannya dari tas.

"Aku kerinan . Habis nonton drakor sampai jam subuh."

"Kebiasaan."

"Aku mau tidur lagi. Nanti kalau dosennya datang, bangunin, ya," pinta gadis berambut hitam sebahu itu sambil menyandarkan kepalanya pada kedua tangannya yang terlipat di atas meja.

"Terlambat, Rin. Pak Ahmad udah masuk, tuh."

Seketika, Rinjani mengangkat kepalanya. Dia mendesah kesal ketika melihat Pak Ahmad benar-benar datang. Nareshta hanya menertawakannya dalam hati.

"Nanti jalan, yuk," bisik gadis itu di tengah-tengah kegiatan menyimak presentasi di depan.

"Ke mana?" tanyanya juga dengan berbisik.

"Ke mana pun, asal sama kamu, aku seneng."

Nareshta tertawa geli. Sebenarnya, dia tidak menyangka kalau hubungan mereka masih bisa seakrab ini setelah dia menolak pernyataan cinta gadis itu untuk yang kesekian kalinya sejak semester pertama. Dia merasa nyaman setiap kali berada di dekat Rinjani, tapi untuk pacaran rasanya masih sulit. Perasaannya tidak lebih dari rasa sayang pada seorang teman. Rinjani itu manis. Rambut hitam sebahunya tampak pas dengan wajahnya yang kecil. Senyumnya manis. Tawanya menyenangkan. Dan matanya, Nareshta tidak pernah merasa senyaman itu ketika menatap mata seseorang.

"Naresh."

Nareshta menoleh tanpa suara. Menatap lekat pada gadis bermata sewarna madu itu. Mata yang selalu menyihirnya untuk tak mengalihkan tatapannya kepada siapapun.

"Hatimu udah kebuka buatku atau belum?" Dan Nareshta membiarkan kebisuan menjawabnya.

***

Ketika memasuki kantin fakultas teknik di jam istirahat makan siang, Nareshta bertemu lagi dengan Leya, gadis yang berhasil mencuri perhatiannya sejak gadis itu datang untuk menagih uang kos pagi itu. Senyumnya yang manis dan suaranya yang menyenangkan tanpa sadar berhasil membuat jantungnya bekerja dua kali lipat. Leya sedang mengantre untuk membayar makanannya ketika dia menyapa gadis itu.

"Hai, Leya."

"Eh, Nareshta." Leya tampak terkejut, tapi sedetik kemudian keterkejutan itu berganti dengan senyum lebar. Di tempat yang mayoritas diisi oleh laki-laki itu, Leya tampak begitu cantik baginya. "Kamu anak teknik juga?"

"Bukan. Kebetulan lagi ada urusan sama orang sini, tadi. Kamu sendiri?"

Percayalah, meski Nareshta bisa menjawabnya, debar jantungnya bertalu. Disembunyikannya tangannya yang dingin dalam saku hoodie.

"Aku mau makan siang sama Rendra. Gabung sama kita, yuk," ajak gadis itu sambil menunjuk sebuah meja yang sudah diisi oleh Rendra dan dua temannya. "Kalau kamu mau. Belum makan, kan?"

"Belum." Tanpa berpikir dua kali, dia mengiyakannya. Tentu saja, kesempatan tidak datang dua kali.

"Lama banget. Gue kira antre, ternyata dapet mangsa baru," ucap Rendra sambil menerima sebotol air mineral dari Leya. Gadis itu menggeplaknya kemudian. Di sebelah Leya, Marka terus saja menertawakan video yang disetel gadis yang duduk di depannya. Marka menyapanya lalu tertawa lagi.

"Apaan, deh, Ren. Nggak mungkin Leya bisa berpaling dari Sagara," sahut seorang gadis yang ternyata Yashinta. Bidadarinya fakultas teknik. Sepertinya, semua orang di kampus ini mengenal Yashinta Maheswari meski hanya sekedar nama. Selain terkenal dengan kecantikan, kecerdasan, dan mulut pedasnya, gadis itu juga dikenal karena dirinya adalah saudara kembar dari Yovie Mahameru, wakil ketua BEM periode sekarang. Seakan belum cukup, kenyataan bahwa Yashinta adalah putri dari Mahameru Yahya, pemilik puluhan bengkel besar yang tersebar di Malang, Mahameru hospital, juga Mahameru mall di beberapa kota dan Mira Yolanda, penyanyi papan atas Indonesia sekaligus pemilik merk kosmetik yang paling digandrungi anak muda sekarang membuat siapa pun sulit menutup mata darinya.

"Naresh, mau ikut kita jalan nggak?" tanya Leya setelah mereka mulai makan. Gadis itu makan dari sebuah kotak bekal berwarna ungu yang sama persis dengan yang ada di depan Rendra.

"Ke mana?"

"Ke kebun teh Wonosari, Lawang. Refreshing sebelum UTS. Mau?" Kali ini Rendra yang bertanya.

"Emangnya nggak papa kalau aku ikut?"

"Nggak papa, dong. Kamu, kan, temennya Rendra." Rendra mengangguk setuju dengan ucapan Leya.

"Mau, deh. Eh- tapi tergantung waktunya."

"Weekend, kok. Rame-rame."

"Oke, deh."

"Kita ngajak Jeje juga, kan?" celetuk Leya.

"Iya, lah. Emang lo mau keliatan jomblo?" ledek Rendra. Sepertinya lelaki itu suka sekali menggoda Leya.

"Masio ngajak Sagara, Leya juga tetep aja jomblo. Kan, de'e nggak pernah direken karo Sagara." Ucapan Yashinta membuat Leya mencebik. Lucu sekali hingga Nareshta ingin menyimpannya untuknya sendiri.

"Tenang Leya, nanti aku temenin biar nggak keliatan jomblo," guraunya santai yang berhasil membuat Leya kembali tersenyum.

***

----

Senin, 18 Desember 2023


Yang Patah TumbuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang