•
•
•
Bagi Cakrawala Rendra, Arunika Wendy adalah hal paling berharga yang dia miliki di dunia ini. Kakaknya itu adalah satu-satunya keluarga yang disisakan Tuhan untuknya setelah sebuah kecelakaan merenggut kedua orang tuanya—yang bahkan belum terlalu dia hafal bagaimana rupanya.
"Menurut kamu, Ren, kenapa Wendy nggak mau nerima Abang?" tanya Chandra dengan wajah murung.
Lelaki 27 tahun yang notabene adalah dosennya sekaligus bucin nomor satu kakaknya itu menyambangi kosannya malam ini hanya untuk curhat karena lamaran tidak resminya kembali ditolak oleh kakaknya. Padahal, lelaki itu sudah jauh-jauh terbang ke Jakarta di sela-sela kesibukannya.
Rendra lelah sebenarnya. Tugas makalah pranata kota sungguh menyita waktu dan pikirannya. Belum lagi, Bright ramai sekali sejak sore tadi. Dia ingin cepat mandi dan tidur, tapi dia tidak bisa mengabaikan kehadiran Bang Chandra. Lelaki itu sudah terlalu baik padanya dan kakaknya.
Dulu, ketika kegelapan memeluk hari-harinya dan Kak Wendy jatuh terpuruk karena tiba-tiba kehilangan sandaran hidup, Bang Chandra datang. Sahabat kakaknya itu menawarkan bahunya untuk mereka bersandar. Memberi mereka kekuatan.|
"Mungkin Abang kurang serius kali. Kan, seringnya Abang cuma godain Kakak."
"Kurang serius gimana, Ren. Nih, Abang udah bawa cincin. Udah dandan ganteng, wangi pula."
Bang Chandra dan sifat narsisnya. Untung saja lelaki itu benarbenar ganteng seperti yang selalu dikatakannya. Dosen-dosen perempuan dan para mahasiswinya saja sering menjerit ketika melihatnya.
"Bang, aku juga nggak tau kenapa Kakak begitu. Aku udah sering ngomong ke Kakak buat nerima Abang, tapi tetep aja, semua keputusan ada di tangan Kakak. Aku nggak bisa maksa Kakak buat nurutin kemauanku."
"Ren, kamu percaya, kan, kalau Abang bisa bikin kakakmu bahagia?"
Rendra mengangguk mantap. Dia tidak punya alasan untuk meragukan lelaki itu. Dan kalau dia harus memilih seseorang untuk mendampingi kakaknya seumur hidup, maka Bang Chandra lah orangnya. Bukan yang lain. Kecuali jika kakaknya punya pilihan sendiri.
"Bang, percaya sama aku. Kakak itu cinta sama Abang. Dia cuma butuh waktu. Aku harap, Abang mau bertahan."
Ketika dengan cepat Bang Chandra mengangguk, Rendra merasa lega. Malam semakin pekat. Bintang di langit berkedip cepat. Hanya suara kendaraan yang melintas dan hela nafas mereka yang kemudian terdengar. Setelah Bang Chandra pulang, dia beranjak masuk. Dia tidak punya alasan lagi untuk tetap berada di luar.
"Udah pulang?" tanya Sagara begitu dia melewati kamar lelaki itu yang pintunya dibiarkan terbuka. Sagara duduk di ranjangnya sambil memainkan game di ponselnya. Dibanding penghuni lainnya, Sagara adalah yang paling suka bermain game.
"Baru aja. Gue mau mandi dulu." Dia berlalu setelahnya.
***
Subuh sudah berlalu. Di luar, langit sudah terang. Jalanan sudah ramai. Dan Rendra sudah duduk di meja makan berbentuk lingkaran untuk sarapan bersama Sagara. Jangan tanyakan di mana Nareshta. Lelaki itu sudah berangkat sejak langit masih gelap tadi.
"Jang," panggilnya pada Bujangga yang baru keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk melingkar di pinggang. Kebiasaan.
"Opo'o?"
Rendra bangkit kemudian membuang bungkus nasinya.
"Lo lagi cari pekerjaan tambahan, kan?"
Bujangga mengangguk cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Patah Tumbuh
FanfictionAurora Layaleya mencintai Jerunee Sagara sedikit lebih banyak dari dia mencintai susu kedelai rasa strawberry. Dan menjadi kekasih atau paling tidak teman Sagara adalah keinginannya. Namun, sikap Sagara yang sedingin namanya membuat Layaleya sedikit...