| Patahan Kelima|

13 5 4
                                    


Happy reading.





"Menurut kamu, kenapa aku selalu diem setiap kali kamu nyapa aku?" lirih, Leya bertanya pada Bujangga.

Suaranya membaur dengan hujan yang turun di luar bengkel. Rambut cokelat panjangnya sedikit basah oleh tempias hujan.

Leya sedang dalam perjalanan pulang dari Bright ketika hujan turun tanpa aba-aba. Begitu tiba-tiba. Dia tidak punya pilihan lain selain berteduh di bangunan terdekat, bengkel papanya Yashinta. Bengkel tempat Bujangga bekerja sejak lelaki itu duduk di bangku SMA. Sejak mereka masih bersama.

Bujangga terdiam sejenak sebelum menjawab dengan suara yang tak kalah lirih.

"Kamu pasti benci aku, Ra."

Alih-alih membenci Bujangga seperti yang lelaki itu katakan, Leya sungguh lebih membenci keadaan ini. Duduk berdua bersama Bujangga sambil menatap hujan dan panggilan lelaki itu padanya yang tak pernah berubah. Aurora.

"Kamu salah, Ga. Aku nggak pernah benci sama kamu. Sedikit pun."

Bujangga menatap tidak percaya pada gadis di sampingnya.

"Dibandingkan benci, aku justru bingung, Ga. Aku bingung kenapa tiba-tiba kamu ngajak aku putus padahal sebelumnya kita baik-baik aja. Apa aku salah? Apa kamu bosen? Apa ada cewek lain? Aku selalu tanya ke kamu, tapi kamu nggak pernah mau jawab. Kamu bersikap seolah-olah kita nggak pernah kenal. Kamu blokir nomor aku–"

Leya mendongakkan kepalanya. Berusaha menahan cairan yang menggenang di matanya. Menahan sesak di hatinya. Di sampingnya, Bujangga mengepalkan tangan. Hatinya tak kalah sesak.

"Ra ... Aku minta maaf."

"It's okay, Ga. Aku nggak akan pernah tanya lagi apa alasan kamu mutusin aku. Toh, semuanya udah terjadi. Kita nggak mungkin bisa bareng lagi."

Bujangga tercekat. "Bener-bener nggak ada kesempatan lagi, Ra?"

"Menurut kamu? Bukannya kita nggak perlu mengulangi sesuatu yang nggak berakhir baik?"

Leya menatapnya sambil tersenyum. Senyum yang begitu manis. Senyum yang begitu dia rindukan.

"Kalau kamu mau, kita bisa temenan, Ga. Kayak pertama kita kenal dulu."

"Aku mau."

Bujangga menghela nafas panjang. Mungkin, memang inilah yang terbaik untuk mereka. Berteman sebagaimana mereka memulainya dulu. Harusnya dia merasa cukup, tapi entah mengapa hatinya justru merasa sakit. Meski begitu, dia bersyukur karena langit menurunkan hujan sore itu. Karenanya, Leya mau membuka suara padanya setelah membisu kaku sekian lamanya.

***

Kosan masih kosong ketika Bujangga pulang pada pukul tujuh malam. Rendra dan Sagara masih di Bright dan Nareshta, lelaki itu juga tidak terlihat. Padahal biasanya Nareshta yang selalu ada di rumah lebih awal.

Setelah mandi secepat mungkin karena cuaca terasa lebih dingin setelah hujan, dia ke dapur untuk membuat Indomie kuah, satu-satunya makanan miliknya yang tersisa. Dia harus berhemat karena tidak ada lagi yang menjamin hidupnya kecuali dirinya sendiri. Baru hendak menyalakan kompor, terdengar suara pintu kos terbuka disusul dengan ucapan salam. Itu Nareshta.

"Ape nggawe opo?" tanya lelaki pemilik senyum hangat itu ketika memasuki dapur.

"Mi. Mau dibikinin juga?"

"Enggak wes. Matur nuwun. Iki ono sawi karo endog, nggo tambahan ben wareg." Nareshta mengeluarkan seikat sawi dan dua butir telur dari kulkas kemudian menaruhnya di dekatnya.

"Nggak popo a?"

Bukannya menjawab, Nareshta justru tertawa kemudian menenggak sebotol susu kedelai dingin.

"Pake aja. Kalau mau masak lagi, pake punyaku aja nggak papa. Aku mau mandi dulu, ya."

Setelahnya, Nareshta menghilang di balik pintu kamarnya. Nareshta memang sebaik itu. Bicaranya menyenangkan, senyumnya menenangkan, dan perilakunya selalu membuat siapa pun merasa nyaman.

Sejak kedatangannya di kosan sebulan yang lalu, Nareshta selalu punya kebiasaan menyisakan beberapa botol susu kedelai untuk dirinya, Sagara, dan Rendra. Selalu.

Dering ponselnya terdengar dari kamar ketika dia baru saja menandaskan Indomie kuahnya. Setelah mencuci mangkuknya, dia bergegas ke kamar. Itu telepon dari Nirmala, adiknya.

"Assalamu'laikum. Sehat, Nir?"

"Wa'alaikum salam. Sehat mungkin," jawab Nirmala dari seberang sana.

"Kok, mungkin? Kamu sakit?"

"Enggak, Mas. Capek aja. Mama sama Papa bertengkar lagi gara-gara Papa bawa selingkuhannya ke rumah. Biasanya juga gitu, tapi baru kali ini ketahuan Mama. Entah udah berapa banyak piring yang pecah."

Ucapan Nirmala sungguh membuatnya khawatir sekaligus geram. Mama dan Papa tidak pernah berubah.

"Kamar udah kamu kunci, kan?"

"Udah. Aku lagi di balkon ini. Tadi mau berangkat les, tapi udah nggak mood."

Bujangga sedikit lega. Setidaknya Nirmala aman. Bukannya apa, tapi Mama dan Papa seringkali melampiaskan kemarahan mereka pada Nirmala yang baru beranjak remaja.

Dulu, ketika dia masih di rumah, dia lah yang selalu dijadikan samsak Papa. Semua makian, tamparan, dan pukulan selalu didapatnya. Hingga seringkali ketika sekolah, wajah dan tubuhnya dihiasi memar.

"Jangan keluar dulu, ya. Kalau kamu laper, kamu bisa order dari situ kayak biasanya. Uangnya masih ada, kan?"

Pernah ketika Mama dan Papa bertengkar hebat, Nirmala kelaparan karena tidak berani keluar kamar untuk sekedar mengambil makanan. Untungnya, Nirmala meneleponnya hingga dia bisa memesankan makanan secara online dan mengirimkannya pada gadis kecil itu. Karena tahu kalau Nirmala akan bingung dengan bagaimana cara mengambilnya, dia menyuruh adiknya itu untuk menjulurkan tali atau kain yang panjang dari balkon kamarnya agar si pengantar bisa mengikat makanannya dan Nirmala tinggal menariknya ke atas.

"Masih banyak. Aku jarang pake uang dari Mas. Sebagian aku tabung buat jaga-jaga kalau mau kabur dari neraka ini."

"Maaf, ya, Nir. Karena Mas pergi, kamu harus nanggung semua ini."

"Nggak papa, Mas. Aku udah kebal. Aku cuma suka mikir aja, kalau emang udah nggak cocok, kenapa, ya, mereka nggak cerai aja? Toh, kita juga udah hancur. Nggak ada alasan lain buat mereka bareng lagi."

Bujangga tidak tahu harus menjawab bagaimana, karena sejujurnya, dia juga sering menanyakan itu pada dirinya sendiri. Tapi sampai kini, dia tidak tahu jawabannya.

Telepon itu berakhir setelah Nirmala mengatakan kalau dirinya mengantuk. Dari jendela kamarnya yang terbuka, Bujangga bisa melihat beberapa penghuni kos yang baru pulang. Dia menutup jendelanya kemudian beranjak tidur. Dia berharap, ketika nanti dia terbangun, semua akan baik-baik saja. Mama, Papa, dan Nirmala. Semoga mereka baik-baik saja.


***

__________
Rabu, 02 Oktober 2024

Aku update lagi. Sedikit-sedikit. Semoga suka, ya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 02 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Yang Patah TumbuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang