3

22 7 0
                                    

Lima tahun yang lalu aku adalah anak pindahan di kompleks Griya Harapan Lestari. Rumah nya masih terlalu kecil dibanding sekarang, masih belum ada pagar dan halaman tanah merah, fairial ?

Rumahnya sudah berdiri kokoh didepan sana mirip rotterdam, jauh sebelum aku pindah. Mungkin ketika jaman prasejarah dia pindahnya.

Suatu ketika di usiaku yang menginjak tujuh tahun. Ibu mengajakku pergi berbelanja ke pasar.

Kebetulan hari itu adalah H-1 sebelum lebaran, hari banyaknya orang memilih lokasi ini sebagai tempat tujuan.

Tiba tiba tanganku terlepas dari tangan ibu. Sesaknya lalu lalang membuat ibu tak sadar sudah kehilangan jejak anaknya. Aku bingung . Tiap kali melihat ibuku tidak ada aku menangis.

"Ibu."

"Ibu kemana, ibu.''

Aku duduk tertelungkup diatas tanah merah. Ketakutan. Aku tak tahu kemana jalan pulang. Ini pertama kalinya aku diajak keluar rumah.
Aku terus menangis dengan wajah yang separuh tenggelam dalam dekapan tangan.

Aku tak tahu harus berbuat apa sekarang. Sampai kalanya ramai orang semakin bertambah, aku tetap pada posisiku yang memalang jalan mereka.

" Duuh anak siapa sih ni "

" Dek jangan dijalan "

Mereka hanya terusik, tapi tidak membantuku. Aku tetap menelungkup seperti itu. Tangisanku makin membesar, tak ada satupun orang yang memperdulikanku. Selain mendesah dan pergi. Mereka sibuk dengan tujuannya.

Tapi tiba tiba saja ada seorang anak laki-laki yang memakai topi kebesaran menghampiriku, ia membawa sekantung belanjaan.

"Kamu kenapa ? '' Ia agak membungkukkan badan.
Anak laki-laki itu meneliti ujung kepala sampai ujung kakiku, sepertinya ia sedang memastikan, dan kukira ia terlihat seperti mengenalku.

"Ibu, ibu kemana '' Isakku

Anak laki-laki ini langsung menggamit tanganku dan membawaku pergi

"Ikut aku."

Hal yang tidak sama sekali kumengerti. Ia membawaku keluar dari keasingan didalam sana. Menjemputku yang masih membutuhkan penunjuk arah.

Aku hanya menangis, dan terus menangis. Sepanjang itu ia kerap menghiburku dengan senyuman, mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.

Hingga akhirnya aku merasa nyaman. Seolah percaya bahwa ialah sosok yang diciptakan tuhan untuk mengantarkanku pulang.

Dulu aku memang tak begitu mengenalnya dan skenario Allah yang masih berlalu rahasia, tapi seiring berputar nya waktu.

Aku mulai memahami siapa sosok itu, semua sikap yang kulalui dekat, ternyata ia selalu berada didepanku.
Lama berselang, aku makin mengenalnya.

Bahkan aku sering mengaitkan dia dengan kompas. Aneh ya? Aku bingung, sejak kapan aku mulai menganggapnya sebegitu penting .

Aku ingat waktu itu dia juga pernah memberiku kompas. Katanya sih agar aku tidak nyasar lagi.

Memangnya aku digunung? Tapi aku tak pernah memakainya lagi.

Alasannya aku mengatakan itu rusak. Padahal sebenarnya aku menyimpannya tanpa sepengetahuan dia.

Bagiku, fairial memang menyebalkan tapi entah mengapa aku selalu mengandalkan dia. Aku tak tahu jika dunia harus berputar tanpa ada dia disisiku. Aku selalu bergantung padanya setiap waktu.

Pemilik seragam putih biru ini tiba tiba menepikan sepedanya didekat perempatan jalan. Aku bingung ketika dihadapkan dengan jalan raya yang menyilang dihadapan mataku. Rasanya aku sudah agak lupa jalanan kesana.

TANGISAN LANGIT BIRU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang