"Jadi ... siapa cowok itu, Faldhita Raditya? Kenapa reaksi lo sampai sebegininya kalau cowok itu cuma orang asing, yang lo enggak kenal dan kebetulan jalan bareng dengan Maria?"
Abey menatap lekat wajah setengah pucat sahabatnya. Berharap mendapatkan jawaban sesuai keinginannya walau kecil kemungkinan. Seperti dugaannya, Fal memilih bungkam dan menatap lurus ke layar televisi di depan sana. Abey menghela napas. "Oke, kalau lo belum mau cerita. Tapi, gue yakin cowok itu ada hubungannya dengan kejadian masa lalu walaupun gue yakin cowok itu bukan si bangsat enggak tahu diri."
Fal menoleh. Menatap ke arah Abey. Menghela napas. "Dia Arya Angkasa," jawab Fal dengan singkat sebelum kembali mengalihkan pandangan ke arah televisi.
Abey terdiam. Ingin merespon jawaban Fal namun bibirnya terkunci rapat. Hanya kelebat bayangan masa lalu, yang melintasi pikirannya.
Vido menaikkan kedua alisnya saat melihat Abey menghela napas lalu tertunduk. Vido memilih diam selama Abey membujuk Fal untuk bicara.
Abey mengangkat wajah. Beranjak dari tempat duduknya dan berjongkok di hadapan Fal. Bertumpu pada kedua kakinya. Meraih kedua tangan Fal dan menggenggam sepasang telapak tangan nan halus itu. Menunduk hingga dahinya bersentuhan dengan tangan Fal dalam genggamannya. "Maaf. Maafin gue Fal. Maaf. Walau gue tahu semua enggak akan selesai dengan kata maaf. Walau gue tahu, semua luka dan trauma lo enggak akan hilang hanya dengan permohonan maaf gue." Terdengar isakan di akhir kalimatnya.
Vido melebarkan kedua matanya. Berusaha memahami situasi tanpa ada yang sudi menjelaskan duduk permasalahan kepadanya. Vido menghela napas. "Arya Angkasa itu siapa?"
Sepasang sahabat itu menoleh. Fal menghela napas dan menarik kedua tangannya dari genggaman Abey. Sedangkan Abey, mengusap air mata, yang membasahi kedua pipinya.
Vido menatap keduanya, bergantian. "Enggak ada yang mau jelasin ke gue siapa itu Arya Angkasa?"
Fal menghela napas. Mendorong sedikit tubuh Abey dan bangkit dari duduknya. Beranjak pergi meninggalkan sepasang kekasih itu. Fal menoleh sebelum menaiki tangga menuju kamarnya, "Abey lebih pantas menjelaskan siapa itu Arya Angkasa, apa hubungannya dengan gue, karena semua ini berawal dari seorang Ardan Benyamin." Fal meneruskan langkahnya.
Vido menatap lekat Abey. "Gue butuh penjelasan. Kayaknya, masih banyak hal yang lo sembunyikan dari gue, Ardan Benyamin."
Abey berdiri dan melangkah. Duduk tepat di sebelah Vido. Kedua tangannya terulur dan memeluk pemuda kesayangannya itu dengan erat. Kembali terisak karena rasa bersalah, yang ternyata masih bersemayam dalam hati.
...
Maria mendengus. Menatap layar gawai dengan tatapan sendu. Jemari mungilnya berkali-kali mengetikkan sebuah pesan namun kembali dihapusnya. Menghela napas sejenak. Bibirnya melengkung ke bawah.
"Kamu kenapa?"
Maria menoleh. Menatap seorang pemuda, yang baru saja memasuki toko. Menggelengkan kepala. "Enggak apa-apa," jawabnya singkat.
Pemuda itu tersenyum, menunjukkan sebuah lesung pipi, yang cukup dalam di pipi sebelah kirinya. Mengacak pelan poni Maria. "Kalau enggak kenapa-kenapa kok cemberut? Ada tugas yang enggak bisa kamu kerjakan?"
Maria kembali menggelengkan kepalanya. Menimbang sejenak. "Kamu ingat teman kampusku, yang kita ketemu di mall kemarin?" Pemuda di hadapannya mengangguk sebagai jawaban. "Dia marah kayaknya sama aku. Dia tadi bilang kalau untuk sementara waktu jangan ganggu dia dulu. Aku harus nurutin maunya, tapi aku kepikiran, dia kenapa? Apa dia ada masalah? Apa dia marah sama aku? Kalau marah, apa salahku?"
Pemuda di hadapan Maria menghela napas. "Penyebabnya bukan kamu tapi aku," ujarnya dalam bisikan, yang hanya terdengar oleh diri sendiri.
"Kamu ngomong apa tadi, Sa?" Maria mengerutkan dahi. Merasa jika tadi Arya Angkasa atau biasa disapa Arsa, sahabatnya sejak SMA itu bergumam namun tak jelas terdengar.
Arsa menggelengkan kepala. "Mungkin dia butuh waktu sendiri."
Maria mengangguk. Ingin berucap tapi denting lonceng di pintu, mengurungkan niatnya.
...
Fal duduk di tepi tempat tidur. Menatap sudut hitam. Menghela napas. Berusaha mengatur emosinya. "Kayaknya gue enggak akan pernah bisa menghapus sudut hitam dari kamar ini. Selalu saja ada hal yang membuat gue jatuh, saat gue berusaha untuk bangkit. Selalu ada yang mendorong gue untuk terus berjalan ke dalam luka saat gue berusaha berhenti."
Pandangan Fal beralih ke nakas di samping tempat tidur. Sedikit beringsut untuk membuka laci. Meraih selembar foto. Kembali ke posisi semula dan menatap lekat foto dalam genggaman. Tersenyum kecut.
Ditatapnya tiga sosok berseragam putih abu, yang duduk berjajar dan saling merangkul bahu. Seorang gadis dan dua pemuda, yang tersenyum lebar.
"Andai lo enggak nekat ikutin maunya Abey, mungkin kita bertiga masih menikmati tawa bersama. Mungkin lo enggak harus terpaksa pergi. Mungkin gue enggak akan terluka. Mungkin Kevin enggak akan senekat itu. Mungkin kita semua tetap bahagia."
Sebulir air mata, yang sejak tadi menggenang di kelopak mata Fal, luruh. Menyusuri pipi dan berpusat pada ujung dagu. Menetes mengenai sosok gadis dalam foto. Sosok yang dulu masih bisa tertawa riang tanpa beban.
"Gue kangen kita yang dulu. Kenapa lo harus kenal Maria? Gue takut, Arsa. Gue masih takut kalau Kevin nekat. Cukup gue yang terluka. Gue enggak mau tambah rasa trauma gue dengan kehilangan lo."
...
"Jadi belum mau cerita?"
Vido mengurai pelukan setelah membiarkan Abey menangis selama satu jam. Ada rasa sakit dalam hatinya, saat mendengar betapa pilunya suara tangis Sang Kekasih. Tak ada yang bisa dilakukannya selain mengusap lembut surai milik Abey, saat pemuda itu menyerukan penyesalan berkali-kali.
Abey mengusap kedua matanya, namun air mata tetap mengalir. Pemuda gagah itu terlihat begitu lemah. "Semua salahku. Andai dulu aku enggak nekat dan bodoh, semua enggak akan sekacau ini. Fal tetap baik-baik saja dan Arsa enggak harus pergi dari hidup kami berdua. Aku mengacaukan hidup dua orang sekaligus, Vid. Dua orang yang aku sayangi. Dua orang yang selalu ada sejak aku kecil."
Vido kembali mengusap surai legam milik Abey. "Aku tahu ini kedengarannya klise, tapi hidup dalam penyesalan enggak akan mengubah apapun. Yang harus kamu lakukan adalah mengubah penyesalan menjadi takdir baru yang lebih baik. Kamu punya aku, yang siap bantu kamu. Aku yakin, Kak Fal dan Arsa juga ingin kalian balik kayak dulu. Aku juga enggak mau kalau Kak Fal sampai kehilangan Maria, setelah sekian lama Kak Fal enggak berani buka diri."
Abey mengangkat wajah. Menatap lekat Vido. Tersenyum dan mengangguk. Mengusap pipi kanan kekasihnya itu dengan lembut. "Memang enggak salah aku pilih kamu jadi pacarku. Enggak salah juga dulu aku ngotot ngejar-ngejar kamu. Lusa kita nikah yuk. Aku mau kamu jadi istriku. Aku takut kamu ditikung orang, apalagi banyak cewek yang deketin kamu. Besok aku ke rumah kamu, ya. Ngelamar kamu."
Vido menghela napas. Tangan kanannya, yang masih berfungsi untuk mengelus surai milik Abey, berubah menjadi menjambak surai legam itu, membuat kepala Abey, sedikit miring. "Benar-benar lo ya, Ardan Benyamin. Ada saja kelakuannya, yang bikin rusak suasana. Enggak habis pikir gue, kok Kak Fal mau temenan seumur hidup sama lo, Ardan Benyamin!!!"
Abey mengerang kesakitan. Jambakan Vido tak main-main, menunjukkan jika Sang Kekasih benar-benar kesal. Tangan kirinya terulur untuk melepaskan jambakan Vido. "Lepas, Yang. Hobi banget sih nyiksa suami. KDRT nih."
Vido kian mengeraskan jambakannya, membuat Abey mengerang kesakitan. Terlihat sangat geram. "Bodo amat!!! Lama-lama gue gugat cerai juga lo!!!"
...
Fal menghela napas saat mendengar erangan kesakitan Abey. Tak ada niatan sedikitpun untuk melerai. Fal yakin, Abey tengah dihukum atas kelakuan anehnya. Si perusak suasana itu memang pantas dihukum.
...
KAMU SEDANG MEMBACA
Faldhita (GxG Story)
Romance"Seharusnya hidupku berjalan senormal yang lain, tapi mereka membuatku memilih jalan yang berbeda." Faldhita Raditya