Selesai makan soto Bu Bekti, Kalila tidak langsung pulang. Dia pergi ke mall kembali, kali ini tujuannya mencari hadiah yang akan dibawa ke pesta lajang Tami nanti malam. Acara yang dadakan, membuat perempuan itu kelimpungan. Kalila bingung ingin memberikan apa. Namun setelah searching di internet, akhirnya perempuan itu memutuskan untuk memberikan peralatan rumah tangga. Namun begitu sampai di toko, Kalila kembali bingung menentukan barang apa yang akan dipilih. Alhasil, dia hanya berjalan mondar-mandir tidak jelas.
"Si Tatami perlu apa, ya?" tanya Kalila pada diri sendiri. Dia melihat sekeliling, orang-orang terlihat sibuk melihat-lihat barang yang akan dibeli, sedangkan perempuan itu malah belum menemukan barang yang pas.
Kalila pun berjalan menuju deretan mesin cuci. Kebetulan sekali, di area tersebut terdapat seorang laki-laki yang mengenakan kemeja beserta celana bahan. Pakaiannya terlihat berbeda dari karyawan lain yang mengenakan kaus seragam toko. Itu pasti SPG yang lagi training, pikir Kalila. Perempuan itu pun mencolek lengan laki-laki tersebut sambil bertanya, "Mas, mesin cuci yang best seller di sini merek apa, ya? Kalau enggak, minta rekomendasi, deh, hadiah yang cocok buat pesta lajang apa? Teman gue ceweknya."
Yang ditanya menoleh ke arah Kalila. Dia mengerutkan kening, karena merasa familier dengan wajah perempuan di hadapannya. Ingatan laki-laki itu kembali pada kejadian beberapa hari lalu, tepatnya saat dirinya berada di ranjang motel dalam keadaan terbungkus selimut dan terikat. Tiba-tiba ide jahil terlintas di dalam kepalanya. Dia menunjuk salah satu mesin cuci, berlagak sebagai pegawai toko. "This new product. Mau beli?"
"Harganya berapa?"
"Cheap. Cuma sembilan juta."
Kalila melotot mendengar nominal yang disebutkan laki-laki itu. Membuang uang sembilan juta untuk Tami, tentu saja hal itu tidak akan pernah dia lakukan. "Jangan mesin cuci, deh, Mas. Ada rekomendasi barang bagus nggak, tapi yang harganya murah?"
Belum sempat menjawab, seorang laki-laki yang memakai seragam toko menghampiri keduanya. "Pak, nggak sekalian sama mesin cuci? Itu pacarnya kelihatan suka banget sama mesin cuci yang itu."
"Pacar?" Kalila mengerutkan kening sambil menunjuk laki-laki yang berdiri di sampingnya. "Dia?"
Karyawan toko mengangguk. "Iya. Tadi Bapak ini sudah beli kursi pijat, tapi katanya mau lihat-lihat lagi barang yang lain buat—"
"James, kamu di sini!" potong Amelia yang kebingungan mencari sahabatnya. Begitu selesai melakukan pembayaran, perempuan itu heran karena James sudah tidak ada di sampingnya. "Aku cariin dari tadi."
Kalila melongo, apalagi setelah melihat laki-laki yang dipanggil James tersebut merangkul perempuan yang baru saja datang. "Eh, bukannya dia anak baru, ya, Mas? Lagi training."
Sontak saja sang pegawai menggeleng, "Bukan, Mbak. Bapak ini customer kami."
Amelia sendiri malah terbahak, karena James dianggap sebagai karyawan training di toko tersebut. "Keliaran bukannya dapet pacar, malah dikira SPG."
Senjata makan tuan. Tadinya James ingin menjahili perempuan yang sudah membuatnya terlambat ke kantor, tapi yang terjadi dia malah ditertawakan. Tak kehabisan akal, laki-laki itu pun berkata, "Aku beli mesin cuci yang itu. Tapi yang bayar dia," sambil menunjuk Kalila. Setelah mengatakan kalimat demikian, James pun meninggalkan toko tersebut sambil menggandeng Amelia.
"Jangan dengerin orang itu, Mas. Gue aja nggak kenal sama dia, masa disuruh bayar buat beli mesin cuci ini."
"Kalau Mbak memang mau, nggak apa-apa, beli aja. Kebetulan Foldimate ini nggak hanya buat cuci baju, tapi baju bisa langsung kering dan disetrika. Tingginya juga cuma 32 inci dengan lebar 28 inci. Beratnya sekitar 29,5 kg. Sifatnya portabel, bisa—"
"Harganya berapa?" sambar Kalila tidak mau mendengar lebih banyak soal Foldimate yang dipromosikan laki-laki tersebut. Dia juga bertanya kembali soal harga, karena tidak percaya dengan laki-laki tadi yang ternyata bukan pegawai toko.
"Lima belas juta, Mbak. Pembayaran bisa cash, transfer bank, ataupun QRIS. Nanti kami akan antarkan ke tempat. Kalau masih di sekitaran—"
"Duh, nggak dulu, deh, Mas. Makasih infonya soal Foldimate." Kalila buru-buru kabur. Mendengar angka sembilan juta yang disebutkan James saja dia kaget, apalagi ini lima belas juta. "Masa harus jual ginjal dulu demi kado buat si Tatami."
Akhirnya Kalila pun memasuki toko lain. Dia membeli pisau set beserta teflon untuk diberikan pada Tami. Kedua benda itu lebih ringkas dan bisa dibawa sendiri, jadi tidak memerlukan jasa antar agar sampai di tempat acara.
***
Pukul 19.00, Kalila sibuk memilih baju yang akan dikenakan malam ini. Sebisa mungkin perempuan itu tampil stuning supaya tidak dicibir yang punya acara. Setiap bertemu, ada saja yang dikomentari Tami; entah itu soal kehidupan pribadi, cara berpakaian, ataupun cara berdandan Kalila. Tami seolah sengaja mencari masalah, padahal Kalila sendiri tidak pernah mencari gara-gara.
"Heran, si Tatami, kok, kayak ngemusuhi gue banget," ucap Kalila sambil menarik mini dress berwarna peach. Dia menjatuhkan pilihan pada warna tersebut, karena kebetulan sekali di dalam undangan tidak disebutkan dress code. Sejujurnya Kalila jarang sekali memakai baju berwarna soft, dia lebih senang dengan warna-warna gelap seperti army, hitam, marun, dan cokelat. Namun demi terlihat berbeda di depan Tami, perempuan itu memutuskan untuk memakai dress tersebut.
Kini Kalila berdiri di depan cermin, mematut diri, kemudian melanjutkan merias wajah sekadarnya saja. Dia mengusahakan agar tidak terlihat berdandan paling heboh, karena jika hal itu terjadi Tami pasti ngambek. Pokoknya, Kalila tidak boleh terlihat lebih mencolok dibanding Tami. Tidak membutuhkan waktu lama, acara bersiap-siap selesai. Perempuan itu pun memakai high heels setinggi tujuh sentimeter dan menenteng paper bag berisi pisau dan teflon.
Saat tengah mengunci pintu rumah, taksi online yang dipesan terparkir di depan rumah. Kalila mempercepat langkah keluar dari halaman, lalu menutup pintu pagar. Dia tersenyum, karena melihat sang sopir—dari jendela kaca pengemudi—yang masih muda.
"Mbak Kalila, ya?" tanya sopir tersebut ramah.
Kalila mengangguk, lalu memasuki kursi bagian belakang. "Betul. Sesuai aplikasi, ya, Mas."
Tidak menunggu lama, mobil pun melaju. Kalila jadi tidak sabar melihat reaksi Tami begitu menerima kado dari dirinya. Perempuan itu sendiri tidak tahu barang apa yang akan Lea dan yang lainnya siapkan untuk Tami. Sepanjang perjalanan, Kalila menyandarkan kepala pada kursi. Dia merasa mengantuk, karena dari kemarin belum sempat memejamkan mata.
Kalila ingin tidur, tapi hal itu harus diurungkan karena sang sopir mengatakan bahwa mereka sudah sampai di tempat tujuan. Padahal, rasanya Kalila baru saja menaiki taksi tersebut. Saking nyamannya, waktu seolah berjalan dua kali lipat lebih cepat daripada keadaan normal. Sebelum keluar dari taksi, Kalila mengambil ponsel dari dalam tas. Tujuannya ingin melihat jam, sekaligus memastikan riasannya masih tetap rapi.
Ponsel sudah ada dalam genggaman. Kunci layar pun sudah terbuka. Kalila mengerutkan kening melihat kontak bernama Tatami mengirimkan pesan. Dia heran, karena beberapa menit lagi acara akan dilaksanakan di halaman belakang rumah Tami, tapi perempuan itu masih sempat-sempatnya mengirimi pesan. Alih-alih keluar dari taksi, Kalila malah memilih membuka pesan tersebut.
[Kal, sorry, ya, gue salah kirim.
Gue kira tadi nomor lo itu nomor sahabat gue, Kania.
Lagian, hubungan kita nggak sedeket itu juga sampe
gue harus ngundang lo ke acara pesta lajang gue.Deg!
Membaca pesan yang dikirimkan Tami, rasanya Kalila ingin sekali mengamuk. Perempuan itu bahkan rela menunda rencananya untuk beristirahat demi berkeliling mall, mencari hadiah untuk perempuan itu. Dia juga rela menyempatkan waktu untuk datang ke tempat acara. Namun, yang terjadi malah seperti ini. Kalila kesal bukan main.
"Mas, antar saya ke tempat lain, bisa?" tanya Kalila sambil meremas ponsel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pina Colada
Ficción GeneralWARNING 21+ ONLY! Waktu adalah obat terbaik untuk menyembuhkan luka, begitulah yang sering orang lain katakan. Namun, faktanya tidak sejalan dengan kenyataan. Lima tahun sudah berlalu, makin keras James berusaha melupakan sosok Safa, makin besar pul...