Taksi menepi di depan gedung bertuliskan C'est La Vie. Kalila mengucapkan terima kasih, sebelum keluar dari mobil. Perempuan itu merasa heran, karena tidak ada bodyguard yang berjaga di depan pintu. Keadaan pun sepi, tidak seramai biasa. Ketika sampai di depan pintu barulah dia tahu mengapa tempat hiburan malam tersebut sepi pengunjung. Sebuah pengumuman ditempelkan di depan pintu, pengumuman itu memberitahukan bahwa sedang ada pemeliharaan gedung."Sial banget gue hari ini," celoteh Kalila. Perempuan itu berjalan menuju undakan tangga yang terletak beberapa meter sebelum pintu, kemudian mendudukkan diri di sana. Dia menutup wajah dengan kedua tangan, merasa frustrasi. Taksi yang dinaikinya tadi pun sudah pergi.
Jadilah yang Kalila lakukan kini adalah meratapi diri. Dia bertanya-tanya pada diri sendiri, kesalahan apa yang sudah dilakukan pada masa lalu, hingga harus menjalani takdir seperti ini. Tami seolah sengaja mengirimi pemberitahuan di menit-menit terakhir sebelum acara dimulai. Sepertinya perempuan itu memang berniat mempermalukan dan membuat kesal Kalila. Coba saja dia sudah turun dari taksi dan mendatangi rumah Tami, sudah pasti Kalila akan mendapatkan pandangan kasihan dari seluruh tamu yang datang.
Yang membuat Kalila sakit hati adalah kalimat Tami yang tertulis, 'Lagian, hubungan kita nggak sedeket itu juga sampe gue harus ngundang lo ke acara pesta lajang gue'.
"Kalila?"
Suara tersebut membuat lamunan Kalila buyar. Perempuan itu menurunkan kedua tangan dari wajah, lalu menoleh ke belakang. Beberapa langkah di depan pintu, Logan berdiri. Kehadiran laki-laki itu seperti air di tengah kekeringan. Kalila buru-buru berdiri. "Logan, C'est La Vie tutup, ya?"
Logan melihat penampilan Kalila tidak seperti terakhir kali mereka berjumpa. Perempuan itu kini terlihat lebih manis dengan drees peach yang membungkus tubuh langsingnya. Tatapan Logan turun menuju paper bag berukuran lumayan besar di tangan Kalila. Sudah jelas sebenarnya tujuan Kalila bukanlah C'est La Vie. "Iya, lagi ada renovasi. Ganti plafon sama interior."
Kalila hanya menanggapi dengan anggukan.
"Masuk, yuk." Logan pun berjalan mendahului Kalila. Laki-laki itu berjalan menuju salah satu sisi C'est La Vie, menaiki lift, kemudian mengajak Kalila menuju balkon yang hanya bisa diakses oleh orang tertentu saja.
Embusan angin menerpa tubuh Kalila. Dari tempat tersebut dia bisa melihat kerlap-kerlip lampu yang berasal dari gedung-gedung di sekitar C'est La Vie. Perempuan itu tidak mengira ada tempat seperti ini di C'est La Vie. Kondisi balkon berbanding terbalik dengan keadaan di bawah, di sini hanya terdapat beberapa ban bekas yang disulap menjadi tempat duduk.
"Kenapa?" tanya Logan menghampiri Kalila yang sudah berdiri di depan pagar pembatas. "Ada masalah?"
Kalila memberikan paper bag yang sedari tadi digenggamnya pada Logan. Dia sudah tidak dapat lagi membendung rasa kesal. "Iya. Kemarin gue nggak tidur, karena harus packing sample parfum buat dibagiin pas launching hari ini. Sejujurnya hal ini terjadi, karena staf yang tugas buat packing malah disuruh buat kerjain hal lain."
Logan menyimak dengan saksama. Dia menumpahkan seluruh perhatiannya pada Kalila. Raut wajah perempuan itu terlihat nelangsa, tidak ceria seperti terakhir kali mereka berjumpa.
"Terus, habis launching, kan, niatnya gue mau pulang, istirahat. Tapi ada rekan kerja gue ngirim chat, Tami namanya. Si Tatami ngundang gue buat dateng ke pesta lajangnya. Otomatis gue nggak jadi balik, malah pergi buat cari hadiah buat dia. Tadi gue udah nyampe di depan rumahnya, terus dia malah ngirim chat yang isinya begini, 'Kal, sorry, ya, gue salah kirim. Gue kira tadi nomor lo itu nomor sahabat gue, Kania. Lagian, hubungan kita nggak sedeket itu juga sampe
gue harus ngundang lo ke acara pesta lajang gue'. Astaga, gue jadinya emosi. Coba lo pikir, demi dia gue bela-belain cari hadiah, nunda tidur, dandan, terus ... ujungnya malah kayak begini. Gue juga manusia, punya perasaan!"Kalila berteriak. Tangis perempuan itu pecah. Kesal, marah, sedih bercampur menjadi satu. Saat diputuskan pacar, tidak sekali pun Kalila menangis. Namun entah mengapa, saat dipermainkan seperti ini dia merasa campur aduk. "Sorry, gue sudah telanjur kesel."
Logan mengangguk. "It's okay. Cerita aja. Meski gue nggak bisa bantu, seenggaknya dengan cerita lo bisa ngerasa lebih lega."
Kalila terpana mendengar kalimat yang diucapkan Logan. Kalimat sederhana, tapi entah kenapa membuat perasaannya agak sejuk. "Thanks, ya, lo mau dengerin ocehan gue. Btw, gue ke sini mau nagih janji."
"Janji?" Logan menaikkan alis. Rasanya dia tidak pernah berjanji pada Kalila.
"Iya." Kalila mengusap air matanya dengan punggung tangan. "Lo, kan, janji mau ngasih nomor HP, kalau gue anterin teman lo pulang."
"Gue nggak pernah janji, loh, Kal."
Kalila membuang napas kasar. Jika diingat-ingat kembali, Logan memang tidak pernah berjanji akan memberikan nomor ponselnya pada perempuan itu. Mungkin, Kalila terlalu mudah mengambil kesimpulan sendiri. "Ya udah, kalau gitu kita pacaran aja. Kalau udah pacaran, boleh, kan, gue minta nomor HP lo?"
Logan mundur beberapa langkah. "Sorry, Kal-"
"Gue paham," sambar Kalila sebelum mendengarkan penolakan lebih jelas dari Logan. Perempuan itu memejamkan mata, hingga beberapa tetes kembali turun. Ini bukan Kalila yang seperti biasa. Di sisi lain, dia tidak mungkin menyalahkan Logan. Karena dalam hal ini memang dirinyalah yang terlalu gegabah dan terburu-buru.
Terjadi keheningan di antara mereka. Kalila larut dengan kesedihan, sedangkan Logan mulai merasa bersalah. Kalila menangis tanpa suara, tapi dia bingung harus melakukan apa. Logan tidak ingin Kalila berpikir bahwa dirinya menaruh rasa dan memberi kesempatan pada perempuan itu, tapi di lain sisi rasa kemanusiaan mendorong untuk menenangkan Kalila.
Tanpa keduanya ketahui, sedari tadi James menyimak percakapan di antara keduanya. Mulai dari Tami yang mempermainkan Kalila, hingga penolakan Logan. Dia yang sedari tadi hanya diam, kini berjalan menghampiri Logan. "Aku cari kamu. Ternyata di sini."
"Lo dateng," jawab Logan sambil menaruh paper bag di atas lantai. Dia merasa beruntung, karena James datang di saat yang tepat. "Kal, kenalin, ini James. Orang yang udah lo anter pulang waktu itu. James, dia Kalila. Cewek yang bawa lo balik. Kalian ngobrol dulu aja, ya. Gue ambilin dulu minuman."
Sebelum diiakan, Logan sudah berjalan menjauhi balkon. Kini hanya ada Kalila dan James di sana. James berjalan menghampiri Kalila. Laki-laki itu mengambil sapu tangan dari saku celana, kemudian menyeka air mata di pipi Kalila tanpa diminta. "Ditolak Logan?"
Kalila mengambil sapu tangan yang James gunakan untuk menyeka air matanya. Selama beberapa detik, kulit keduanya saling bergesekan. Perempuan itu mendongak, dengan mata dilapisi bening air. "Iya, gue ditolak. Lo yang di mall tadi, kan?"
Mata mereka beradu. James merasa kasihan melihat penampilan Kalila. Di sadar, sikap perempuan di hadapannya kini tidak seperti saat mereka berada di motel ataupun di mall tadi siang. "Cowok bukan cuma Logan aja. Dia nggak mau ngasih nomor HP, aku bisa kasih bukan cuma nomor HP, but whatever you want."
"Gombal!" Kalila sejenak terdiam, mencoba mencerna kalimat yang James katakan. "Nomor HP. Kok, lo tahu Logan nggak mau ngasih nomor Hp-nya? Lo nguping, ya, dari tadi?"
James mengangkat bahu. Senyumnya terbit mendengar ocehan Kalila. "Bukan aku yang nguping, tapi kamu berbicara terlalu keras."
"Itu, sih, sama saja!"
"Jelas beda."
"Sama!"
"Kalian lagi bahas apa? Seru banget." Logan kembali datang. Dia memberikan sekaleng soda pada James, kemudian segelas jenis lain pada Kalila. "Kal, pina colada."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pina Colada
Ficción GeneralWARNING 21+ ONLY! Waktu adalah obat terbaik untuk menyembuhkan luka, begitulah yang sering orang lain katakan. Namun, faktanya tidak sejalan dengan kenyataan. Lima tahun sudah berlalu, makin keras James berusaha melupakan sosok Safa, makin besar pul...