WARNING 21+ ONLY!
Waktu adalah obat terbaik untuk menyembuhkan luka, begitulah yang sering orang lain katakan. Namun, faktanya tidak sejalan dengan kenyataan. Lima tahun sudah berlalu, makin keras James berusaha melupakan sosok Safa, makin besar pul...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Beberapa hari berlalu, James masih bisa merasakan hangatnya tangan Kalila yang berada dalam genggamannya, juga bagaimana rasa bibir perempuan itu. Dia pun tersenyum sambil meraba bibir, kemudian memejamkan mata dan menggelengkan kepala. Rasanya, James ingin mengulang kembali kejadian tersebut.
"Ada yang salah?" Amelia yang melihat gelagat aneh James segera meletakkan telapak tangan di kening sang sahabat. "Nggak demam, tapi kenapa kamu senyum-senyum sendiri?"
James menyingkirkan telapak tangan Amelia dari keningnya. Dia berdeham dan segera melenyapkan senyum dari bibir, bersikap seolah tidak ada apa-apa. "Im okay. Ada apa ke sini?"
Amelia menunjuk buket bunga yang tergeletak di atas sofa. "Bunga pesananmu untuk Grace."
James bergegas menengok jam. Saking larutnya dengan kejadian beberapa hari yang lalu, dia sampai lupa bahwa sekarang harus menghadiri acara pameran lukisan Grace. Pameran tersebut akan diadakan selama tiga hari, tapi James mengupayakan datang di hari pertama sebagai bentuk dukungan pada perempuan itu. "Astaga! Kenapa kamu baru memberitahuku?"
Amelia menghela napas panjang. Jika dia mengatakan sudah mengetuk pintu berulang kali, lalu berusaha menyadarkan James dari lamunan tapi tidak mendapatkan respons, tentunya tidak akan diindahkan oleh sang sahabat. Alhasil, dia hanya menyahut, "Kamu terlalu sibuk melamun. Bahkan tidak sadar sedari tadi aku berusaha menyadarkanmu."
"Aku pergi dulu." James tidak membuat panjang urusan tersebut, karena khawatir terlambat. Laki-laki itu segera mengambil buket bunga yang tergeletak di atas sofa. "Terima kasih bunganya."
***
Pameran tunggal lukisan Grace diadakan di Balai Budaya. Acara ini tidak hanya dihadiri oleh masyarakat umum saja, tapi juga publik figur, para kurator, serta beberapa seniman. Ketika sampai, acara pembukaan telah usai. Kini Grace sedang diwawancarai oleh beberapa media. Dari tempatnya berdiri, James tersenyum sambil melambaikan tangan. Dia tetap bertahan di sana, menunggu proses wawancara usai.
"James!" Setelah mengakhiri wawancara, Grace menghampiri James. Dia senang, karena laki-laki itu datang di hari pertama pameran tunggalnya diadakan. Ya, meski sejujurnya Grace sangat berharap James datang tepat saat acara pembukaan berlangsung beberapa jam lalu. "Kamu datang?"
"Ya, sesuai janji." James mengulurkan buket bunga, yang langsung diterima oleh Grace. "Selamat, ya. Akhirnya bisa bikin pameran tunggal juga."
Grace tersipu menerima buket bunga pemberian James. Perempuan itu merespons dengan mencium pipi kiri dan kanan James. Meski perasaannya deg-degan tidak keruan, dia berusaha bersikap sesantai mungkin. "Terima kasih."
James cukup kaget dengan reaksi Grace, tapi dia tidak ambil pusing. "Aku mau lihat-lihat dulu."
"Aku temani." Sebelum diiyakan, Grace sudah terlebih dahulu mengamit lengan James, membawa laki-laki tersebut mengelilingi Balai Budaya. "Hari ini aku memamerkan 41 lukisan."
"Oh, ya?" James melihat-lihat lukisan demi lukisan yang terpajang di dinding, sedangkan Grace tidak berhenti menjelaskan satu demi satu latar belakang lukisan-lukisan tersebut tercipta. Di antara 41 satu lukisan yang berada di sana, mata James terpaku pada sebuah lukisan yang ukuran kanvasnya paling besar. Lukisan tersebut di letakan terpisah dengan lukisan-lukisan lain.
"Ini masterpiece. Aku membuatnya secara khusus, berharap kamu bisa melihatnya," papar Grace dengan pipi dirambati rona merah. Dalam karya tersebut, dia melukis James yang tengah duduk di kursi kebesarannya. "Aku tidak membutuhkan waktu lama untuk membuatnya."
James menatap lukisan tersebut dengan saksama. Dia tidak menyangka, Grace akan membuat lukisan tersebut, dan apa tadi katanya masterpiece? Bagaimana mungkin lukisan dirinya dianggap sebagai masterpiece?
"Aku membuatnya setelah memberikan oleh-oleh dari kantormu tempo hari," aku Grace memecah keheningan. Perempuan mulai merasa takut menghadapi reaksi James, karena laki-laki itu tidak menyahut ataupun berkomentar. "James—"
"Lukisanmu bagus, tapi ... kamu harus memikirkan ulang saat menjadikannya sebagai masterpiece," pungkas James sambil membuang tatapan. Laki-laki itu melepaskan tangan Grace yang melingkari lengannya, kemudian berjalan ke tempat lain.
"James!" Grace menyusul langkah lebar James. Dia tidak peduli dengan tatapan orang-orang yang penasaran melihat mereka. Perempuan itu menarik lengan James, memaksa laki-laki itu menghadap dirinya. "Maaf kalau kamu nggak suka dengan lukisan itu. Aku ... aku membuatnya karena kamu merupakan salah satu orang yang spesial dalam hidupku."
James menatap sekeliling, orang-orang masih memandang mereka dengan tatapan ingin tahu. Saat itu pulalah, matanya berserobok dengan sepasang netra Kalila. Dalam hati James mengumpat, mempertanyakan bagaimana cara perempuan itu bisa berada di sini. Di satu sisi, dia tidak ingin mempermalukan Grace, tapi di sisi lain ... laki-laki itu ingin menghampiri Kalila dan menjelaskan semuanya.
"James." Suara Grace kembali terdengar, kali ini rengekan perempuan itu sukses membuat James memfokuskan diri pada sosok. Dengan suara pelan dia berkata, "Tolong jangan mempermalukanku di hadapan semua orang."
Merasa tidak tega, James membuang napas kasar. Laki-laki itu memilih mengabaikan Kalila dan kembali mengelilingi Balai Budaya bersama Grace. James merasa berhutang, karena tempo hari Grace datang hanya untuk memberikan oleh-oleh.
Begitu mereka memasuki ruangan yang cukup sepi, Grace bertanya, "Aku masih penasaran, kenapa kamu membatalkan pertunangan kita secara sepihak?"
Untuk kedua kali, James melepaskan tangan Grace yang melingkari lengannya. Dia memperhatikan penampilan perempuan itu yang agak berbeda. Grace biasanya memakai rok di bawah lutut, tapi kini perempuan itu mengenakan dress yang panjangnya hanya setengah paha. James menangkap, beberapa kali perempuan itu menarik-narik bagian bawah bajunya. "Grace, itu masa lalu. Omong-omong, kamu tidak perlu memakai baju seperti itu bila merasa tidak nyaman."
Grace senang dengan perhatian James, apalagi ketika sadar bahwa laki-laki itu memperhatikan penampilannya. "Aku berpenampilan seperti ini, karena ... kamu."
"Nggak perlu jadi orang lain, aku lebih suka kamu jadi Grace yang aku kenal sebelumnya," aku James sambil melepaskan jas yang dikenakannya, kemudian memberikan benda tersebut pada Grace. James terbiasa melakukan hal tersebut, tapi lain dengan Grace. Dia berpikir, laki-laki itu masih memiliki perasaan pada dirinya.
"Terima kasih," jawab Grace sambil mengenakan jas tersebut.
"Aku harus kembali ke kantor. Semoga pamerannya berjalan lancar, ya."
Grace menanggapi dengan anggukan.
James pun melambaikan tangan, sebelum pergi dari hadapan mantan tunangannya. Kali ini sepasang netranya menyisir seluruh penjuru Balai Budaya, mencari sosok Kalila yang tadi sempat tertangkap indra.