11

1.2K 70 0
                                    

11

P.O.V FLOWERITA

"Bern, aku ada urusan sebentar. Kamu tidak keberatan, kan menunggu aku di lobi?" tanyaku pada Bern ketika kami berada di ruang loker agensi.

Bern yang sedang mengganti sepatu mendongakkan kepalanya.

"Sama sekali tidak, Kak. Apa kakak mau kubelikan soda?"

"Aku tidak suka soda... Sebenarnya," jawabku sambil menutup pintu loker.

Bern mengangkat kedua alisnya. Pipinya yang empuk mengembung seperti kue mochi karena heran. "Sebenarnya, aku juga tidak bisa minum kopi." Lalu dia tersenyum malu. Mungkin teringat kejadian waktu itu, ketika aku menawarinya minum. Kalau aku jadi dia, aku pasti akan terpaksa menerima dan minum juga meski aku tak suka.

"Lalu, apa yang kamu suka, Bern?" tanyaku basa-basi.

Bern memerah wajahnya. Nampak enggan mengakui. "Susu rasa buah."

"Ah, sudah kuduga. Baiklah, lain kali aku akan membelikanmu susu."

"Tapi milk tea juga enak. Aku suka minuman yang creamy dan manis."

Aku membalas senyumnya. Kemudian keluar dari ruang loker. Ada hal yang harus kulakukan lebih dulu.

"Sampai ketemu di luar, Bern."

Dari loker menuju lorong utama, aku membelokkan langkah ke arah tangga dan naik ke lantai atas menuju ruang CEO. Sudah beberapa hari aku tidak bertemu dengan Elean. Sejak insiden pemotretan dan kedatangan 'klien penting' bernama Lisa.

Selama ini aku sudah berusaha menghubungi Elean lewat pesan dan telepon. Tapi, balasan yang ia berikan sama sekali tidak sesuai dengan apa yang kuharapkan. Ia selalu beralasan sibuk, pertemuan penting, rapat pemegang saham dan lain-lain.

Sejak awal pacaran dengannya, aku tahu kalau dia wanita sibuk. Elean sangat ambisius, nyaris terobsesi dengan pekerjaannya. Dan, entah apa yang kini membuatnya semakin sibuk sampai tak bisa datang menemuiku sama sekali.

Jadwal baru dari pemotretan yang tertunda sudah turun seminggu lalu. Dan pemotretan susulan sudah berjalan dengan baik. Namun, Elean tidak muncul di sana sama sekali. Aku tidak punya pilihan lain kecuali mengembangkan rasa penasaranku. Ada apa dengan pacarku itu?

Sedang, aku dan Elean sudah memiliki kesepakatan tak tertulis, kalau aku tidak boleh mencari ke apartemennya. Elean merahasiakan tempat tinggalnya dari orang lain. Aku tahu alamatnya. Namun, aku menghargai keputusannya. Jadi, pergi ke ruang CEO adalah satu-satunya pendekatan yang bisa kulakukan untuk membuat perasaanku lebih tenang.

Pintu ruang CEO terbuka sedikit ketika aku sampai di sana. Sekretaris Elean tidak nampak batang hidungnya. Aku mendekat dan tak bisa menahan diri untuk menguping ketika melihat Elean duduk di kursinya dan wanita lain berdiri di sebelahnya sambil menyandarkan diri di meja.

Lisa.

Wanita itu, dengan jari-jarinya yang lentik mengelus rambut pacarku! Eleanku! Aku geram, tapi memilih untuk menunggu. Barangkali ada adegan yang akan lebih menyakitiku setelah ini.

"Aku tidak punya masalah dengan strategimu yang itu, Elean. Aku tidak perduli. Kamu bisa melakukan apa pun yang kamu mau. Aku percaya padamu," kata Lisa lembut sambil terus bermain-main dengan rambut Elean yang tergerai.

Elean tersenyum. Ia menatap wanita di depannya dengan lembut. Kemudian, ia berdiri. Ia mengambil sebuah map di mejanya dan menyodorkan benda itu pada Lisa.

Lisa membalik badan. Dengan gerakan yang lentur ia memeluk Elean dari belakang. Elean menyerahkan sebatang bolpoin sambil sesekali menggerakkan kepalanya karena rasa geli ketika nafas Lisa menghembus di tengkuknya.

Sekarang sudah jelas. Aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu. Lalu masuk ke dalam ruangan seolah aku tidak pernah melihat kejanggalan apa pun sebelumnya.

"Selamat sore, maaf mengganggu," sapaku sambil tersenyum. Aku ingin sekali menendang dua wanita di depanku. Tapi aku belum mau kehilangan pekerjaanku sekarang.

Dan tidak seperti yang kuduga kalau Elean akan panik, ia tetap berada di posisinya.

"Selamat sore, Flowerita. Ada yang bisa kubantu?"

"Uhm..." Aku menelan kemarahanku dan berusaha mencari alasan. "Aku datang untuk minta maaf karena pemotretan kemarin."

Elean baru beranjak. Ia duduk di kursinya. Sementara Lisa nampak sok sibuk dengan dokumen di hadapannya.

"Apa pemotretan susulan berjalan baik kemarin?" tanya Elean padaku.

Aku mengangguk. "Ya. Semua berjalan dengan baik. Kukira Bu Elean akan datang."

"Aku sibuk sekali. Maaf aku tak sempat menengok ke studio."

Tentu saja. Kalian sangat sibuk, pikirku. Tapi, bagaimana bisa Elean mempertontonkan ekspresi tanpa rasa bersalah sama sekali padaku? Apa dia sengaja? Apa dia tidak menyukaiku lagi? Apa ini caranya mengakhiri hubungan kami? Kami baik-baik saja sebelum wanita bernama Lisa itu datang.

"Baiklah, kalau begitu... Saya pamit sekarang." Aku menunduk pada mereka.

"Bagaimana dengan video promo web series? Kudengar ada syuting hari ini." Lisa membuka mulutnya. Aku menggigit lidahku agar tidak sampai meludahinya.

"Semua berjalan baik, Bu Lisa. Aku dan Bernadetta bisa bekerja sama dengan yang lain."

Lisa tersenyum. "Bagus kalau demikian. Elean sudah cerita soal strategi marketing untuk kalian. Kuharap semua berjalan dengan baik. Apa kamu menyukai lawan aktingmu itu?"

"Dia gadis yang cerdas."

"Bernadetta anak rekan bisnisku. Aku yang memaksanya ikut audisi di agensi ini. Dia sekolah di luar. Dia masih muda dan cantik. Orang tuanya sibuk, tapi mereka mendidik anak mereka dengan baik. Gadis itu punya sopan santun yang sepadan dengan orang lokal di sini. Dia mengerti adat di sini. Dan dengan semua bakat yang dia punya, Bernardetta akan menarik penggemar internasional. Kamu akan membuat semuanya berjalan lancar, kan?" Lisa merasa bangga. Dan aku merasa sudah kecolongan. Ini memang rencananya dari awal. Memisahkan aku dan Elean.

Aku menjawabnya dengan senyum. Lalu pamit dari sana.

Di anak tangga kelima, aku sudah tidak kuat menahan perasaanku. Aku terduduk, dadaku sesak dan aku tak tahu harus apa. Sesekali aku menahan nafas agar air mataku tidak keburu jatuh. Aku akan mengantar Bern pulang. Dia sedang menungguku di lobi sekarang, dan aku tidak mungkin tiba-tiba membatalkan janji kami. Aku harus bersikap dewasa dan membuat strategi sialan ini berhasil. Ini bukan hanya demi Elean. Ini demi karirku.

Aku berusaha menepis semua perasaan minder saat membandingkan diriku dengan wanita itu. Lisa wanita yang sempurna. Ia memiliki karir dan uang. Ia tidak buruk rupa, ia bertubuh dewasa dan menarik. Kulitnya halus seperti porselen, dan bahkan umur seolah tak mampu menambah kerutan di sudut matanya.

Sementara, siapa aku? Aku hanya seorang artis baru dari keluarga yang sederhana. Karirku masih seumur balita. Aku tidak punya orang tua yang kaya dan aku masih terlalu muda. Meski aku ingin mengumumkan pada semua orang siapa aku dan Elean sebenarnya, aku tidak bisa melakukannya. Kalau aku membocorkan rahasiaku dan Elean, orang akan menganggapku memanjat karir darinya. Aku serba salah.

Di tengah-tengah itu semua, Bernadetta meneleponku. Tuhan mengirimnya untuk menyelamatkanku dari rasa sedih, meski sementara.

"Halo?"

"Kak Flo? Apa masih lama? Kalau kakak sibuk, kita bisa menunda rencana kita."

Kasihan Bernadetta. 2 wanita di atas sedang memanfaatkannya. Dan aku sudah membiarkannya menunggu sendirian di lobi.

Aku mendeham sebelum menjawab, "Tidak. Tidak. Urusanku sudah selesai Bern... Aku sedang di basement ambil mobil, sebentar lagi aku akan ke lobi. Hari ini kita akan nonton film sambil ngemil."


9. Level Up! GXG (FREENBECKY POV) (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang