14

1.2K 73 3
                                    

14

P.O.V Bernadetta

"Bern?"

Ricko dengan telapak tangannya yang lebar bertengger di atas ubun-ubunku. Pelan namun tidak bisa terbantahkan—ia memutar kepalaku agar menoleh padanya.

"What the h*ll? Apa yang kamu lakukan di sini?"

Aku menatap kakak lelakiku sambil memutar bola mata. Aku tidak ingin diinterogasi sekarang. Aku ngos-ngosan. Bernafas saja aku sulit.

Wajar Ricko bertanya-tanya. Mengapa aku ada di gym kick boxing-nya sepagi ini? Kalau aku tahu dia akan latihan pagi hari ini, aku tidak akan datang ke sini. Aku akan memilih tempat lain. Bukannya Ricko sedang di luar kota?

Aku mengusap dahiku yang berkeringat dan mengibaskan tubuh agar Ricko melepaskan tangannya dari kepalaku. Aku mundur dan balik badan dengan harapan dia tidak banyak bicara lagi. Tapi, dia malah jadi khawatir. Dia mengekor. Dia berusaha membuatku buka mulut.

"Jawab dulu, then I will leave you alone," sergahnya. "Apa syuting bikin kamu stres? Apa ada masalah?"

"Tidak, Ricko. All is well."

"Then?" Ia mengangkat alis seolah jawabanku tidak valid secara tata bahasa dan intonasi. "Kamu tidak suka datang ke sini tanpa instruktur."

Aku melepaskan sarung tanganku. Minum air dua teguk dan menghembuskan nafas panjang.

"Aku harus menjaga bentuk tubuhku."

"..."

Ricko diam sebentar sebelum tertawa keras. Sangat keras sampai semua orang di dalam ruangan menoleh pada kami. Aku merasa malu dengan tingkahnya. Aku melemparnya dengan sarung tangan agar ia tahu diri dan menjaga sopan santunnya. Gym ini bukan milik kami.

"I just met Flowerita," katanya tiba-tiba.

"Where?" Aku langsung tertarik dengan pembahasannya.

"Tadi. Baru saja. Aku tanya, apa mau ikut latihan di sini."

Aku segera berdiri. Aku memindai seluruh ruang gym kami. "Dan dia bilang apa? Dia akan latihan di sini?"

"Dia bilang dia tidak mau bertemu kamu."

"Masa? Waktu itu dia bilang kalau aku tidak melakukan kesalahan. Dia tidak membalas pesanku sama sekali. Sudah 3 hari." Aku panik. Aku masih sibuk menyisir seluruh sudut gym. Sampai-sampai aku tidak memerhatikan wajah kakakku yang sudah semerah tomat karena menahan tawa.

"What?" tanyaku ketus.

Ricko menata nafasnya. "I lied."

"Go to h*ll, Ricko."

"Hey, don't say that!" Ricko menyentil dahiku. Aku mengaduh. Lalu aku minta maaf.

"Now, tell me. Ada apa?"

Aku merengut dan menyandar di bahu kakakku. "Pasti Kak Flo benci padaku sekarang."

"Kenapa? Apa syuting kalian bermasalah?"

"Aku menolak adegan ciuman untuk video promo. Sutradara sempat marah. Dan kukira aku akan dipecat," keluhku.

"Kenapa kamu menolaknya?"

"Karena aku tidak siap."

Ricko berdeham. "Lalu Flowerita marah padamu juga?"

"Tidak. Dia bersikap pengertian. Dia berdiskusi dengan sutradara, dan akhirnya adegan itu dirubah."

"Jadi, sebenarnya tidak ada masalah?"

Aku mengangkat wajahku. Memandang Ricko yang memudar senyumnya karena khawatir padaku. "Ada. 3 hari lalu, sepulang syuting dia mengantarku pulang. Kak Flo dan aku nonton film bersama. Seperti saranmu. Kami berdiskusi soal adegan itu. Lalu kami mencobanya."

9. Level Up! GXG (FREENBECKY POV) (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang