Bangun Lagi

37 16 3
                                    

Bunyi monitor pembaca detak jantung itu hampa tak menyala. Kabelnya pun bahkan tak terpasang pada si "lubang dua" di dinding yang menandakan bahwa pasien ruangan ini tidaklah segawat itu. Begitu pun, selain pasien, sudah ada dua orang yang menunggu Agga untuk bangun. Untuk salah satu dari mereka, ia menunggu Agga untuk kedua kalinya hari ini.

Fokus pada pejaman matanya, kita memasuki apa yang sedang tergambar di benak pejaman mata Agga. Perjalanan spiritual yang kita kenal dengan sebutan mimpi. Bayangan itu hadir menjelma layaknya proyektor yang terasa amat nyata. Diawali dengan Agga yang duduk di bangku sekolahnya, mengenakan seragam SMA. Reni teman sebangkunya tampak gelisah.

"Oi, kenapa?" ia menyikut temannya. Dilihatnya rambutnya acak-acakan karena baru digaruk beberapa kali. Kini ia tampak seperti kucing yang dikelumut kutu bulu.

"Hmm..." Reni tak menjawab. Tampaknya ia masih mementingkan kutu bulunya.

Melihat Reni yang makin gelisah, pandanganya tiba-tiba tertuju pada jam di atas papan tulis di depan kelas. Sebuah jam bundar yang tampak seperti meleleh, persis seperti plastik dibakar.

"Ren..." kini Agga yang gelisah. Lalu, ia menoleh kembali pada Reni.

"Bukan aku yang gelisah, tapi kamu." Wajahnya tampak segar dan tiba-tiba saja terlihat rapi seperti Reni biasanya. Rambutnya tak lagi berantakan, tampak seperti kutu bulu telah menghilang.

Melihat temannya itu berubah drastis, ntah kenapa ia merasa hal aneh baru menyelimuti seluruh tubuhnya. Muncul hawa dingin yang tak enak hingga uluh hatinya terasa nyeri. Ia mual. Kemudian, tanpa sengaja ia melihat ke kaca jendela. Tampaklah bayangan dirinya yang sedang duduk. Rambutnya acak-acakan. Jelas tak mengenakkan untuk dilihat.

Untuk sesaat ia berpikir bahwa ia melihat kegelisahan Reni, namun nyatanya wujud kegelisan adalah dirinya. Depresi yang sudah terlanjur melekat sebagai mimpi buruk pada bantal bunga tidurnya. Bunga yang terlihat aneh dan terasa tidak masuk akal namun, bagaimanapun keganjilannya tetaplah diterima kala mimpi menghampiri korbannya. Ilusi yang kadang terasa semanis tebu walau harus menjilat tutup botol saus ekstra pedas.

...

"Huuhh..." Napas itu tersenggal diikuti dengan mata membelalak. Ia melihat orang di sebelahnya, ibunya. Tanpa basa-basi ia segera memeluk Silam dengan erat yang terasa lebih kencang daripada pelukannya sebelum pergi sekolah hari-hari sebelumnya.

Di benaknya, ia mengucap syukur laur biasa bahwa yang tadi terjadi adalah mimpi buruk. Ia mengehal napas sepanjang rantai kapal. Melepas beban seberat jangkar. Jika boleh mengadakan syukuran ia akan melakukannya. Mimpi yang terasa begitu menyeramkan.

Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka. Lalu, langkah kaki itu melaju dengan pasti. Kaki jenjang atletis yang dibalut oleh jins berwarna biru pudar. Kaki yang menjadi pondasi untuk tubuh yang terlihat bugar. Perpaduan penting yang membuat pipi kaum hawa akan merona hanya dengan melihat senyumnya. Seperti es krim tiga contong, pria itu juga ditampol dengan wajah rupawan yang cukup menjadi modal untuk dibawa kondangan. Tidak malu-maluin.

Namun, bukan pipi merona yang muncul kala melihat kehadiran pria itu. Teriakan menggema di ruangan ini. Teriakan mengejutkan dari Agga yang kini tersadar bahwa mimpi itu belum berakhir.

Mimpi itu masih lanjut, anjerrr!!! Ia kembali teriak dalam hati. Teriak yang lebih keras berharap dapat menembus ke singgasana di langit ke tujuh. Tuhan!!! Tolong aku!

Dilihatnya wajah terkejut ibunya, lebih-lebih wajah lelaki yang baru datang tadi. Respon keduanya tak jauh berbeda dari mimik Agga. Kini mereka bertiga saling terkejut, membuat ruangan ini seperti wahana rumah hantu.

"Kenapa sih kamu, Ga?" Silam yang baru mengucap karena kaget seketika bertanya. Anaknya ini benar-benar bertingkah aneh hari ini. Mungkin sakitnya parah, pikirnya.

Lalu, pria tadi mendekat dan menyentuh lembut tangan Agga, "Masih sakit, Ga?"

Sontak, tangan itu menepis. Rasa aneh dan tak nyaman menyerbak saat kulitnya disentuh oleh orang asing itu. Asing yang ntah kenapa merasa begitu dekat dengannya, kamuflase apik yang tampak nyata sebagai pihak yang mengerti. Perlahan, ia melirik. Dilihatnya wajah asing itu, siapa sebenanrya pria ini?

Pertanyaan yang semenjak langkah pria ini pertama kali memasuki ruangan berguling di benaknya.

Agga diam sejenak. Ia memperhatikan ruangan sekitar. Tarikan napas beberapa kali yang baru ia lakukan agaknya memberikan efek positif padanya. Ia kini sedikit tenang dan berusaha mengerti keadaan yang sedang terjadi. Dilihatnya wajah ibunya, orang yang sama seperti yang selama ini ia kenal namun tampak lebih tua dengan beberapa keriput di ujung mata dan kedua pipinya. Lalu pria itu, ia tak punya ide tentang siapa orang itu, ia jelas tak mengenalnya.

Lalu, dilihatnya keseluruhan ruangan ini. Tampak biasa, meskipun jelas ia tak pernah berada di ruangan ini. Ia yakini ini adalah ruangan sebuah rumah sakit yang ia tebak tempat ia dirawat karena insiden di mobil tadi.

Kalau ini adalah kenyataan, berarti insiden di mobil tadi juga nyata? Aku harap ini mimpi buruk... Agga meringis dalam hati.

"Agga... kenapa? Kok diem aja sih?" Silam kembali bertanya. Anaknya ini tampak makin aneh.

"Nggak!!!," Agga segera menarik selimut, menutup sekujur tubuhnya dengan sempurna. Dengan keadaan yang tak terkendali seperti sekrang, ia memilih untuk kembali tidur. Ia tak memiliki solusi, pikirannya masih kacau dengan degup jantung yang begitu kencang detaknya. Ia berharap tidurnya pulas, dan di hati kecilnya ia menginginkan ini semua adalah mimpi.

KOMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang