Suara tapak sepatunya terdengar begitu jelas seperti adegan klasik dalam sebuah film. Biasanya, adegan ini akan menampakkan kedua kaki yang dialas tumit tinggi dan berjalan pasti di lorong berlantai keramik. Kemudian, setelah beberapa detik menyorot kaki yang berjalan itu, kamera akan mengarah ke atas secara perlahan, slow reveal istilahnya.
Sama seperti hal itu, tampaklah pangkal dari kedua kakinya yang menjenjang heels setinggi lima senti tadi, menampakkan tegaknya betis yang dibalut celana bahan licin berwarna dongker.
Slow reveal tadi dihajar habis oleh cut off ke wajah pemilik langkah tadi, Agga yang sangat terlihat tidak nyaman dengan semua hal yang melekat di tubuhnya saat ini; sepatu, setelan, riasan, dan perasaan yang acakadut.
"Nggak kusangka aku akan jadi guru di usia dewasa... sialan."
"Semoga karmaku udah terlewat sebelum hari ini." Ia bicara pada dirinya sendiri di lorong menuju ruang guru gedung ini. Agaknya monolog tadi bisa jadi pencair suasana yang ntah siapa ambil andil hingga terasa sangat tidak enak.
Agga teringat percakapan dengan mamanya dua hari lalu. Setelah ia melihat-lihat galeri ponsel dan media sosialnya, ia mengetahui bahwa ternyata ia sekarang adalah seorang wanita dewasa. Dan orang dewasa harusnya memang punya pekerjaan, sialnya ini adalah hal yang jelas tak ia duga.
Sebelumnya memang ia tak punya cita-cita yang jelas, hobinya pun tidak begitu ketara sehingga tak ada gambaran profesi apa yang mungkin akan dilakoninya setelah dewasa. Kini, semuanya terjawab, tampaknya jurusan pendidikan jadi pilihannya. Ia yakin itu dipilih bukan karena ia menyukainya, namun karena ikut teman atau karena tak ada jurusan lain yang memungkinkan untuknya diterima di PTN. Ya, Agga yakin sekali hal itu.
Pada tiap langkah kaki yang menjalar renungan barusan, kini ia sampai tepat di sebuah ruangan yang berlabelkan "Ruang Guru". Hasil dari dirinya yang memberanikan diri bertanya pada seorang siswa di gapura sekolah ini tadi. Ia yakin siswa tadi jelas kebingungan kenapa seorang guru lama di sini menanyakan lokasi ruang guru padanya.
Jreng.....
Satu langkahnya yang baru masuk ke ruangan ini disambut oleh jumput-jumput manusia dewasa dengan setelan beragam. Agga memaki dalam hati, ia harus jadi aktris di relung kemelut yang belum usai.
Tiba-tiba seorang wanita berusia kira-kira tiga puluhan melalak setengah berteriak, "Agga...!!! Udah sehat kau, Boru?"
"Hehe... udah lumayan, nih." Agga kikuk menjawab pertanyaan basa-basi barusan. Satu yang paling ia bingungkan dan membuat keringat dingin mengucur di ujung rambut wajahnya, siapa nama orang-orang ini.
Mengikut perempuan tadi, mereka yang berada di ruangan pun ikut menyapa. Berbasa-basi seperlunya dan kembali beraktivitas seperti saat dirinya belum memasuki ruangan ini. Pada detik yang terasa amat panjang ini, Agga malah bingung harus duduk di mana.
Inilah karma yang tadi ia bicarakan, karma dalam bentuk lain, pikirnya.
...
"Miss. Apa bener, Miss, kecelakaan?"
Sandra yang sangat mencolok karena badan bongsornya itu tau-tau bertanya ketika Agga sedang mengabsen.
Agga tersenyum. Situasi ini mengingatkanya akan dirinya sebelum terlempar ke waktu anta berantah ini. "Coba ceritakan ke saya, di masa sekarang, apasih yang paling penting sesuai zamannya?"
Sekelumit benda-benda umum mencuat bagai kembang api di tahun baru, ponsel menjadi benda paling populer yang mereka pilih. Beberapa siswa lelaki seperti Aldo dan Yusuf menjawab olahraga. Namun, adakah hal lain yang mungkin tak disadarai manusia zaman ini mengenai penting dan tidak penting? Untuk itu, Reno menjawab dengan terbata-bata.
KAMU SEDANG MEMBACA
KOMA
FantasyReagga yang tiba-tiba kehilangan memori beberapa tahun hidupnya. Kenangannya terhenti di masa SMA dan kembali lagi saat usia 24.