...
Di kelas, tangannya tremor melihat buku paket di genggamannya. Kini ia hanya bisa menatap papan tulis di hadapannya sambil berpikir apa lagi yang harus ia tulis dan jelaskan di papan ini. Sungguh pekerjaan ini sangat mengerikan baginya.
Di benaknya, ia kembali memelas lemas, menghadap papan tulis yang sudah tertulis beberapa tulisan yang bahkan ia tak tau kenapa ia memilih kosakata itu untuk ditulis.
"Catat yang saya tulis, ya."
Suaranya sudah sangat ia usahakan menjadi lebih berwibawa dan tak terlihat khawatirnya. Andaikan ia punya kantung Doraemon, ia akan mempercepat waktu agar bel pulang segera melenggang bingar hari ini.
Setelah para siswanya membaca dua halaman sesuai dengan instruksinya, seorang siswinya tiba-tiba mengangkat tangan, "Miss Re, saya mau bertanya."
Seketika, bulu kuduk Agga merinding. Inilah bukti nyata bahwa bukan hanya hantu yang bisa membuat bulu kuduk merinding.
Saat inilah saat yang paling ditakutkan oleh Agga. Kejadian yang sudah diantisipasi olehnya seperti sebuah bencana yang dapat membuat hidupnya terancam.
Agga mengiyakan permintaan siswinya itu dengan gugup, terpaksa.
Raisa yang posisi kursinya di paling depan memulai pertanyaannya setelah ancang-ancang tadi selesai, "Pada cerpen, apakah penggunaan majas-majas ini dapat membuat kualitas cerita pendek jadi lebih baik? Maksud saya, lebih banyak majas maka akan jadi lebih baik?"
Deessshhh....!!!
Tubuh itu tiba-tiba membeku, seperti baru saja menatap mata Medusa dan kemudian berubah menjadi batu. Agga menelan ludahnya, dan tanpa aba-aba timbul perasaan menyesal kenapa sedari tadi ia tak mempelajari materi hari ini. Kini, riwayatnya akan usai. Apa yang harus ia jawab tidak ada pada kantung pikirannya. Kosong melompong.
"Ahh.. itu...." Kata-katanya keluar secara terbata. Menyendat seperti sebuah mobil mainan kehabisan baterai.
Seperti pertolongan dari Tuhan, ide itu muncul bagai rahmat yang tak terduga. Buru-buru ia mengambil ponsel dari mejanya. "Maaf, bentar, ya. Saya angkat telpon dulu." Agga segera meluncur ke luar kelas. Berjalan santai menjauh dan semakin menjauh, menuju toilet guru di lantai satu.
...Mengucilkan sisi akrab dirinya, kini yang menjadi pemenang adalah dirinya yang pengecut dan penakut. Di hadapan wastafel dirinya bertatap muka dengan tembok toilet ini. Agga berusaha mengerti tentang apa semua ini. Apa langkah yang tepat untuk dipilih olehnya. Jujur, ia tak dapat kembali menghadapi momen seperti barusan. menjadi dewasa begitu menakutkan untuknya.
Masih meratapi nasibnya dengan menopang tubuhnya di wastafel toilet, telponya bordering. Kali ini sungguhan. Dilihatnya nama Masdi yang trcantum di layar ponselnya, tak lama ia menekan tomboh hijau.
"Ya..."
"Lagi apa, Ga? Sehat, kan?" Suaranya lembut seperti permen kapas yang manis rasanya.
Jika ini adalah hubungan normal, jelas suara Masdi dengan mudah menenangkan siapapun lawan bicaranya. Namun, tidak dengan Agga. Ini terasa aneh dan canggung baginya. Percakapan singkat dan sejujurnya tidak berguna itu segera pupus dan terputus. Seperti biasa, Agga yang menyelesaikannya dengan singkat.
Dengan badan lemas dan jalan tertatih, ia keluar toilet. Menaiki tangga dan segera menuju kelas yang ia tinggalkan tadi. Kini tenaganya sudah terkuras dengan sangat sempurna, tak ada lagi energi untuk melanjutkan sandiwara ini, bahkan untuk panik.
Agga hanya menugaskan siswa-siswanya membaca buku dengan dalih sedang tidak enak badan. Menunggu bel istirahat akan menjadi satu-satunya kegiatan yang ia lakukan saat ini. Waktu yang memuai lambat hingga rasanya jalanan terasa sangat panjang.
...
Bel istirahat sudah berbunyi dan diikuti oleh gemuruh para siswa yang segera meningglkan kelas. Agga baru meletakkan langkah pertamnya di ruangan ini dan mendapati sebuah kondisi yang tidak biasa. Para guru sudah duduk di kursi masing-masing dengan kepala sekolah berada di posisi sebagai pembicara. Rapat?Agga menghela napasnya. Kali ini ia hampir menyerah.
Dilihatnya dari jarak ia berjalan bahwa seorang pria tadi duduk tepat di balik meja miliknya. Kenapa lagi-lagi harus dihadapkan dengan kondisi sempit ini. Dadanya sudah sesak akan kemalangan yang hadir bertubi-tubi hari ini. Untuk itu, Agga tak meladeni. Ia segera menuju ke kursinya.
"Ini kursiku." Ia berdiri tepat di hadapan pria ini.
Tanpa reaksi apapun, pria itu berdiri dan menggeser kursi tak jauh dari tempat ia duduk. Jarak mereka hanya satu meter jika benar-benar diukur, "Tadi cuma meja ini yang kosong, jadi aku duduk di sini."
Agga tak menjawab. Ia tak rela mengosongkan tangki energinya untuk bercakap dengan pria baru ini.
Rapat pun dimulai, dan kepala sekolah memberi arahan. Sejak kata pertama yang mencuat dari mulut kepala sekolah, Agga sudah menahan untuk menguap karena ini sangat membosankan baginya. Setelah rapat ini berjalan sekitar dua puluh menit, rasa ingin taunya seperti menyundul hingga ingin segera dikeluarkan. Agga mendekati pria itu.
"Kenapa di sini?"
Pria tadi heran, pertanyaan aneh pikirnya.
"Maksudnya, kenapa ada di sekolah ini?" Agga berusaha tampak ramah. Setidaknya agar rasa ingin taunya tercapai dan ada bahan untuk diceritakan ke Sukma malam nanti.
"Aku guru baru di sini. Minggu lalu masuknya. Ternyata kau guru di sini juga."
Pria ini tampak ingin memberi kesan bersahabat, walau tetap terasa hambar.
Agga tertegun, tebakannya benar. Derrel benar-benar seorang guru di sini. Ia tebak, cuti seminggu karena kecelakaan kemarin membuatnya tak berada di momen untuk saling bertemu.
Hari ini adalah hari yang tepat, dan untuk itu, ini semakin menakutkan baginya. Begitu pun, energinya habis jika harus dipakai lagi untuk terkejut.
.....

KAMU SEDANG MEMBACA
KOMA
FantasyReagga yang tiba-tiba kehilangan memori beberapa tahun hidupnya. Kenangannya terhenti di masa SMA dan kembali lagi saat usia 24.