Saat ini, rasanya tak berbeda dengan jumlah pasir di pinggir pantai yang jumlahnya tak terhitung. Aneka ukuran yang sama persis dengan perasaan Agga yang bercampur aduk beberapa hari ini. Dirinya sedang dirundung kemelut yang untuk saat ini belum menyentuh kata sudah, bahkan tidak terendus.
Di atas kasurnya, kembali ia menatap langit-langit kamarnya. Kipas kecil menggantung bak sinar lampu yang siap menyoroti bintang utama yang malang ini. Apa yang harus kulakukan? Tiba-tiba terlontar ke awal Februari bertahun-tahun kemudian, gila! Apa ini imajiku aja, ya... shitttt!
Renungannya terbangunkan oleh getar ponsel yang sedari tadi mematuk beberapa kali. Pesan dari Masdi yang sedari tadi tidak diacuhkan oleh Agga. Siapa pula pria ini yang seakan-akan jadi ayahnya sehingga harus mengabari tiap beberapa jam sekali, pikiranya.
Ponsel itu kembali bergetar, kali ini berdering.
"Halo... apa sih!"
Nada itu jelas tak bersahabat. Agga mengganggap dering ponsel barusan seperti benalu di kulit kepalanya, harus segera disingkirkan.
Lawan bicaranya jelas terkejut dengan respon yang tau-tau membelalak itu, "Kamu kok gitu, sih... ketus banget. Aku cuma mau nanya kabar, kok, pesanku gak dibalas-balas." Ada sedikit kesal yang ketara pada jawaban Masdi barusan. Diyakini alisnya agak menekuk saat ini.
"Iya. Kenapa. Aku baik, lah, ya kali nggak baik bisa ngangkat telponmu. Ada apa emang? Aku mau tidur." Semakin jelas. Jelas ketusnya.
Ada tarikan napas panjang dari sana, dari speaker ponsel Agga. "Yaudah, kamu tidur. Baguslah kalo kamu baik-baik aja, semoga makin baik, ya." Nadanya kini terdengar lebih membuat nyaman, ntah itu dimaksudkan untuk membuat nyaman Agga atau membuat nyaman dirinya sendiri karena dia tau apa yang akan terjadi jika mereka berdua bicara dengan perasaan kesal.
"Ya." Singkat.
Panggilan itu hendak diselesaikan hingga Masdi menyambar kembali percakapan, "Agga! Tunggu. Tahun ini spesial, kamu ulang tahun beneran, kan? kalo ada permintaan bilang aja, ya."
Mendengar perkataan Masdi barusan, Agga cukup terkejut. ia hanya mendeham dan kemudian menekan tombol merah di layar ponselnya. Kemudian, ia teringat akan hari ulang tahunnya yang seharusnya memang spesial.
"Andaikan.... Semuanya normal, aku bakal ngerayain..." Tiba-tiba tenggorokannya tercekat. Dijegat oleh pikiran yang baru terlintas.
Anjir... aku inget sekarang!!!
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Di detik ini, jika divisualkan maka gambaran otak Agga seperti sebuah proyeksi galaksi yang berwarna biru kemerahan. Merekahkan cahaya beribu bintang dan isinya, menyeruak bagai semburan makanan ringan yang di pukul perutnya, memuntahkan semua keripik kentang yang banyak bumbu.
Agga kini mengingat bahwa momen ia terlempar ke tahun ini adalah di hari ulang tahunnya pada tahun itu. Tanggal 29 Februari. Ya, ia ingat betul apa yang terjadi di hari itu. Tentang dirinya yang baru diberi kejutan oleh kedua temannya. Tentang dirinya yang sudah minta dibelikan Blackberry sebagai kado ulang tahunnya.
Tiba-tiba ia melompat dari kasurnya, menuju ruangan utama sembari berteriak memanggil Mamanya, "Ma...."
...
"Iya, Blackberry apa ya kemaren itu, yang keluaran terbaru pokoknya. Kenapa?" Silam akhirnya mengingat momen itu setelah beberapa puluh detik berusaha menggali.
Sumringah jelas terpampang pada wajah Agga saat ini, ia rasa ini sebuah petunjuk. Kepastian ingatannya jelas sudah dipastikan oleh cerita mamanya. Kejadian setelah hari ulang tahunnya berjalan dengan normal tanpa ada hal yang aneh. Hanya fenomena ini yang aneh, pikirnya.
Setelah memastikan hal itu, Agga kembali berlari. Mengambil catatan khusus kejadian yang menimpanya ini dan menambahkan petunjuk yang baru ia dapatkan. Sekarang ia tau bahwa hari itu adalah hari di mana ia terlempar ke waktu ini. Buru-buru ia mencorat-coret catatannya itu, membuat hipotesa baru yang mungkin terjadi.
"Kalo misalnya aku ke sini di tanggal 29, berarti ada beberapa kemungkinan."
Ia sibuk memainkan pulpen di tangannya, melanjutkan tulisannya, "Karena hari ultahku? Kenapa spesial? Atau mungkin ada temanku yang punya ilmu sihir dan nggak sengaja nyihir aku di hari itu?"
Ia meringis, memikirkan semua kemungkinan itu membuat kepalanya sakit.
Tiba-tiba ia teringat sesuatu, "Oh iya. Kabisat! Bisa jadi karena kabisat... tapi apa hubungannya kabisat doang sama aku bisa kecampak ke sini. Mustahil..."
"Aaaaa!!!" ia berteriak pelan menggaruk kepalanya. Ini terlalu sulit.
"Aku harus cari kawan..."
Akhirnya ia menemukan langkah terbaru yang akan dilakukannya. Agga yakin akan menemukan solusi jika ada seseorang yang dapat membantunya. Ia butuh partner karena sedari dulu, ia memang tidak ahli dalam memecahkan masalah. "Sahabatku, I'm coming..."