Museum Kenangan

10 3 4
                                        

"Bentar, ya, Pak. Saya angkat telpon dulu," pamitnya pada Josh, rekan studytournya hari ini. Agga segera melangkah menjauh dari kerumunan para siswanya, menerima panggilan dari sahabat lama yang sudah ketemu.

Suara itu menyalak, tawanya buyar bagai semburan air di keran mampet. "Serius? Haha... Ih gila banget si Juan. Eh, hari ini jadi ketemu, kan?"

"Jadi dong. Aku pengen tau kenapa kau tiba-tiba pengen ketemu. Gerot kah? Haha.." Gelak di sana pun tak kalah gelegar. Sukma akhirnya dapat dihubungi dan sejak dua hari lalu mereka kerap berkirim pesan seperti halnya masa SMA.

Seperti yang dikatakan Sukma tadi, seujurnya setelah lulus, mereka berdua menjadi tidak dekat karena masing-masing kuliah di kampus yang berbeda. Kenangan masa lalu menjadi sebuah karangan bunga yang diharapkan tetap segar tertata rapi di almari kaca. Namun, sebaik apapun dirawat, kelopak tetaplah layu dan akhirnya kering. Menyeringai sepi menunggu ajal.

Menurut Einsten, perbedaan antara masa lalu, masa sekarang dan masa depan hanyalah ilusi, namun terus menerus. Jadi, ilusi apa yang sedang terjadi saat ini? Tentang masa lalu Agga dengan masa sekarang yang menjadi gambar misteri. Bagaimana dengan masa depan? Ilusi apa yang menanti seorang Agga? Tidak tau. Tak ada yang tau.

...

Museum ini benar-benar menampakkan dirinya sebagai museum terlengkap sekota Medan. Sudah beratus koleksi yang berada di ruangan pertama mereka lewati, dan kini malah semakin banyak koleksinya. Koleksi hewan-hewan yang diawetkan dengan sangat baik.

Putri yang menggenggam buku catatan kecil itu mengangkat tangan, "Miss, pengawetan hewan gini memangnya legal, ya. Saya lihat tadi ada hewan besar yang mungkin dilindungi." Ia menaikkan tangkai kacamatanya yang sebenarnya tidak melorot, hanya kebiasaan.

Agga gugup seperti siswa yang tiba-tiba ditunjuk oleh guru untuk menjawab soal matematika. Bagaimana ia tau jawaban begitu sedangkan dulu pun ia tak pernah mendatangi museum ini. 

Karma kedua, anjir... ia memaki dalam hati.

"Ehmmm... gimana,ya..." Tenggorokannya tersendat, seperti ada gorengan yang nyangkut di lehernya, "gimana anak-anak? Ada yang tau jawaban dari pertanyaan temanmu ini?" Ia menunjuk siswa penanya menggunakan isyarat memonyongkan mulutnya "temanmu ini".

Beberapa siswa menyeletuk asal. Dan beberapa lainnya menatap kanan-kiri kebingungan. Agga yang melihat gerak-gerik mereka nyatanya tak merasa lega. Ini tak sesuai rencananya. Tadinya ia harap salah seorang di antara mereka akan menjawab secasra lugas pertanyaan barusan. ia celingukan, mencari petugas atau Josh yang mungkin dapat dilempar batu sehingga ia dapat menyembunyikan tangan.

Ada jeda hening setelah pertanyaan tadi dilontarkan. Jeda bagi Agga untuk berpikir langkah apa yang harus ia lakukan. Tubuhnya kikuk seperti bocah gerogi karena uangnya kurang saat membeli cabai yang disuruh ibunya.

"Naah... karena kalian nggak ada yang tau. Saya jadikan pertanyaan tadi sebagai tugas, ya. nanti waktu pelajaran Miss, kalian harus udah tau apa jawabannya." 

Hanya itu cara yang terpikirkan olehnya. Meski klasik, setidaknya hal itu dapat menyelesaikan ronde pertanyaan dadakan barusan.

Para siswa komapk mengaduh. Pertanyaan Putri barusan malah membuat tugas mereka bertambah. Lagi, sebuah ironi kala banyak yang sedang mengeluh susah namun terselip rasa lega. Dahaga yang terasa indah, hanya untuk Agga.

...

"Silakan, Kak." Seorang pramusaji meletakkan segelas es krim dua warna di atas meja bernomorkan 4 ini.

Ini adalah es krim kedua milik Sukma. Setelah bersenggama lebih dari sejam lamanya, ia yakin segelas eskrim akan menambah nikmat pertemuan keduanya setelah bertahun lamanya. Kini, ia mulai terbiasa dengan wujud Agga yang sekarang. Agga yang kini rambutnya sudah cukup panjang dan berwarna kecokelatan. Ia ingat betul dulu Agga tak nbegitu menyukai rambut panjang. Ia hanya mencepol atau menguncir kuda rambutnya yang hitam legam. Ya, sama seperti dirinya, Agga pun pasti menjadi dewasa.

"Ih serius, deh. Masih nggak percaya kita ngobrol akrab gini. Aku kira kau bakal kayak sombong, anjir, gimana gitu, haha..." Sukma menyendok eskrimnya.

"Haha.. nggak lah. Jadi, kau bilang aku dulu pernah nggak sekolah seminggu dan sampe sekrang kau nggak tau alesannya?"

Sukma mendeham, lalu mengibas rambutnya, "Iya, tau. Abis seminggu, kau masuk sekolah lagi tapi nggak ada bilang apa-apa. Aneh kali pokoknya. Emang kau kenapa, sih, waktu itu? Masa nggak inget beneran..."

Jangankan Sukma yang teman sebangkunya tak tau menau dan merasa keanehan masa lampau itu seakan menggantung bagai sarang tawon, dirinya sendiri pun tak tau apa yang terjadi. 

Seingatnya, ia tak pernah absen selama seminggu saat SMA dulu, berarti sangat mungkin hal itu terjadi tepat setelah hari ulang tahunnya (hari di mana ia terlempar ke masa ini). Untuk itu, buru-buru ia mencatat di buku kecil yang selalu dia bawa kemana pun.

Untuk sejenak, Agga melamunkan nasibnya. Putaran fenomena yang ia hadapi seakan membawanya pada sebuah permainan teka teki. Siapa yang sedang mempermainkannya? Tuhan, kah? Ia menggeleng keras, itu menakutkan.

Di catatan kecilnya, satu pertanyaan yang di lingakari dengan begitu tebal. Apa yang terjadi setelah hari di mana dia terlempar hingga pagi di 1 Februari sebelum ia terlibat kecelakaan mobil bersama Masdi?

Begitupun, jawaban pertanyaan barusan tidaklah menjadi jawaban atas kesukaran yang menimpanya kini. Seperti yang diketahui, ia sudah mendapat cerita dari ibunya tentang apa yang terjadi selama ini. Sejak usianya yang 16 tahun hingga sekarang menjelang 24, tak ada yang spesial, dan pastinya tak ada yang ia ingat.

Itulah alasan kenapa ia menggali kenangan lebih jauh. Iya yakin kuncinya tidak berada di 8 tahun yang kosong itu, melainkan masa sebelum dia terlempar. Lebih tepatnya masa SMA. Untuk alasan itu, ia mengubungi Sukma. Ia akan menggali sedalam mungkin tentang dirinya, tentang apa yang terlewat di masa itu. Apa yang dilewat dan siapa yang melewati. Agga meringis dalam hati.

"Hoyy... ngelamun pulak, kau." Sukma mengejutkan Agga yang kini membuang pandangannya. Menatap sekilas interior Mall yang kini luar biasa mewah jika dibandingkan masa SMA nya.

"Kira-kira temen-temen deket kita dulu pada di mana, ya? Pernah kontekan?" Agga kembali bertanya.

Dengan cepat Sukma menjawab sigap, "Ha... tau kau si Windi? Hamidun loh dia. Padahal kemaren masih kuliah waktu dia hamil itu. DO, cuy..."

Agga mengecap, bukan informasi itu yang ia ingin. Sahabatnya satu ini memang tidak berubah. Sukma si ekstrovert tingkat provinsi, pikirnya. "Ihh, yang lain dong. Siapa kek, ketua kelas atau siapa deh...."

Sukma terusmenyebutkan kondisi teman mereka satu persatu. Menyebutkan nama, kemudianmenceritakan apa yang terjadi setelahnya. Tentang kehidupan masing-masingmereka, ntah kenapa Sukma mengetahui semua itu. Hal ini jelas memberikeuntungan berlimpah pada Agga. Informasi yang didapat mengucur deras sepertimata air di Sibayak. Tangannya tak henti mencatat informasi dan kontak-kontakteman masa lalunya. 

Untuk itu, ia tau apa langkah selanjutnya. Agga mengepakkansayapnya, bersiap terbang dan kembali pulang. Aku kayak bisa mencium baru rumah, rumah betulan... benaknya memekar.

............

KOMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang