Penjual Jam

5 3 0
                                    

Puluhan jam dinding bertengger rapi di dua sisi dinding toko ini. Berbagai jenis jam terpajang rapi. Mulai dari bentuk yang bundar normal, hingga bentuk yang unik dan kekinian. Tiap detik jam-jam tadi menyala dan secara bersamaan berdetak bagai suara lama yang mengelabui hentak kaki manusia yang tak ada hentinya.

Detik waktu hadir menyeruput tiap masa orng-orang secara perlahan. Persis seperti seruputan teh di pagi hari. Santai namun pasti akan mengosongkan gelasnya. Ia tiba tanpa diminta dan terus menguras waktu yang dimiliki siapapun. Hingga akhirnya, yang diseruput akan menyesal dan berteriak panik ketika tau waktunya hampir habis. Masa hampir tiba.

Setelah jam dinding menunjukkan pukul tujuh pagi, pria ini pasti sudah membuka tokonya yang memang semudah membuka daun pintu toko yang tak begitu besar. Dari dalam, jalanan tampak ramai diguyur gerimis yang sejak tadi tak mengenal kata henti.

Di balik putaran roda tiap kendaraan yang lewat, pemilik toko ini memandang semuanya dari balik kaca transparan ruangannya. Menebak arah mana yang mereka tuju hari ini, waktu ini. Apakah tiap harinya mengarah ke kutub yang sama? Tujuan yang sama. Dan seperti hari-hari lainnya, ia akan menanyakan pertanyaan yang sama pada dirinya. Hari ini akan mengarah ke kutub mana? Tujuan apa yang ia miliki saat ini? Benaknya tak menjawab, karena bahkan hati kecilnya pun tak tau-menau atas jawaban dari pertanyaan itu.

Tepat saat jarum jam melekat pada pukul setengah sepuluh, langkah kaki itu masuk dengan membawa keraguan. "Pak, eh, Bang..."

Perempuan itu masuk dengan kikuk dan segera tertuju pada seorang pria yang segera berdiri setelah kedatangannya.

"Ya..." pria ini menjawab.

Semenjak dialog barusan mencuat, pandangan keduanya seperti menemukan sesuatu di balik masing-masing mata lawan bicaranya. Ada yang sedang mencari sesuatu, meyakin sesuatu. Tiba-tiba, perempuan tadi nyeletuk, "Derrel, kan?"

"Ya..." Wajahnya tersenyum pasi, walau terbesit lega karena jawaban tentang siapa perempuan ini sudah ia dapat. Ya, teman sekelasnya waktu SMA.

Agga segera mendekat. Ia tak menyangka akan bertemu dengan salah seaorang teman sekelasnya di sini, di waktu yang tak ia kehendaki sebelumnya. "Apa kabar, Derrel?"

"Baik, mau beli jam?" Secara tak langsung, ia langsung tancap gas. Menanyakan apa maksud perempuan masa lalu ini datang ke tokonya, yang pasti bukan karena dirinya.

Menyadari sikap dingin Derrel yang tidak berubah sejak SMA, mood Agga rontok seperti glitser di selatan. Pagi ini resmi jadi pagi yang tak mengenakkan karena bertemu dengan pria kuper ini. Sejak SMA, Derrel memang terkenal tidak begitu ramah. Ia penyendiri dan tak memiliki teman dekat. Tipe cowok pintar yang tak populer karena sikapnya yang menyebalkan.

"Ini, mau ganti baterai jam. Bisa, kan?" Agga pun membalas kecuekan yang ia terima sebagai sarapan kedua pagi ini.

Tangan itu segera menyerobot jam yang disodorkan, memastikan tipe jam dan segera mmebongkar bagian utama jam tangan merah itu. Tak butuh waktu lama, Derrel segera mengambil tiga jenis baterai seukuran biji jagung dan menjejrkannya di atas steling kacanya. "Mau yang mana? Ini paling murah, sedang, dan mahal." Tangannya menunjuk baterai sesuai dengan harga yang ia ucapkan dengan cekatan seoleh ingin transaksi ini cepat usai.

"Yang mahal. Pasti bagus, kan?"

Derrel hanya mendeham. Segera mengerjakan apa yang harus dilalukan pada jam mungil itu. Selama dua menit penuh, tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Seperti batu yang disiram ombak pantai, Derrel tetap membisu seperti tak mengenal perempuan di depannya ini.

Selama dua menit ini juga Agga mengomel dalam hati. Meski bibirnya ikut membisu seperti Derrel, namun di benaknya kini sudah penuh dengan omelan dan makian yang mengumpat pria di depannya. Liat aja ni orang, pantes dulu nggak punya kawan. Sekarang pun pasti masih nggak punya kawan!

KOMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang