2

1.4K 38 0
                                    

2

Suatu malam, 6 bulan sebelum pernikahan Cantra Bhuana dan Valeria del Faith, majikanku mengirim sebuah pesan singkat.

"Tolong monitor Ruang Bermain."

Dua kata itu tidak mewakili definisi teoritis seperti yang bisa kita bayangkan sama sekali. Yang dimaksud Ruang Bermain baginya adalah sebuah ruangan luas beraroma kayu pinus dan sereh yang segar namun menyengat. Dindingnya di cat kelabu dan nampak semakin muram dengan siraman bias lampu sorot berwarna merah dan biru. Di beberapa sisi, cahaya itu masih menonjolkan warna sama, namun di beberapa bagian yang disengaja, cahaya akan membaur dengan warna kuning lampu tidur dan menyajikan pemandangan keunguan yang dramatis namun dingin. Di dalamnya terdapat lemari kayu tempat menyimpan alat-alat yang tidak akan dimengerti orang biasa. Aku terlalu malu untuk menjelaskannya. Ya, aku tidak akan menjelaskannya dengan detail.

Oke. Di dalam cerita yang lain, aku memang dikisahkan sebagai mantan pelacur. Tapi, aku melakukannya karena tak punya kegiatan lain waktu itu. Ibuku mati, ayahku tidak punya nama apalagi bentuk. Aku punya rumah, tapi dinding dan atap yang mulai rusak tak bisa memberi makan. Aku butuh uang, untuk adikku. Lanang—Nemo, maksudku. Cantra mengadopsi dan sudah mengganti namanya secara hukum. Aku tidak terlalu suka nama itu, tapi posisiku sudah cukup untuk disebut beruntung. Aku tidak boleh mengeluhkannya. Tidak di sini, tidak sekarang.

Ruang Bermain luasnya sekitar 2 are lebih sedikit. Wilayah itu dibagi menjadi 3 bagian oleh beberapa sekat semi permanen. Satu untuk ruang bebas. Bebas artinya mereka bisa melakukan kegiatan apa saja di sana. Apa saja, tidak ada batasan, tidak ada pengecualian. Selama semuanya tercatat dan tidak menodai kontrak yang telah mereka tanda tangani. Ruang bebas memiliki 1 matras besar. Bukan berupa kasur empuk. Namun hanya lapisan yang lebih lembut dari kayu namun tidak empuk. Ada sofa besar, permukaannya dilapisi kulit.

Sekat kedua adalah kamar basah. Bentuknya menyerupai kamar mandi, namun fungsinya masih sama. Semuanya soal kepuasan. Lantainya didesain dengan material anti licin sehingga tidak membahayakan nyawa, di temboknya tergantung benda-benda yang menunjang fantasi seksual keduanya. Di ruangan ini air atau cairan lain boleh digunakan. Yang penting, lagi-lagi—tidak membahayakan nyawa.

Sekat ketiga, adalah sekat hukuman. Kupikir ini sudah jelas. Aku tidak perlu mendeskripsikannya dengan terlalu mengerucut. Sederhananya di sinilah sangsi berat dari tindakan perlawanan dan displin ditegakkan.

Setelah mengomel dalam hati karena tugas ini akan terhitung sebagai lembur, dan selesai mengeluhkan betapa menjijikkan tugasku sebagai asisten pribadi seorang Cantra Bhuana, aku berjalan menuju ruang monitor dengan segelas es latte. Di rumah ini hanya 3 orang yang tahu soal ruang monitor dan bisa mengakses kodenya. Pemiliknya, aku dan Banu Bhuana, saudara sepupu Cantra yang seorang pengacara itu. Dulu ia tinggal di sini. Sekarang tidak lagi. Karena, aku telah menggantikan posisinya.

Di dalam ruangan ini layar-layar tak pernah mati. Aku duduk di depan 6 monitor kecil yang menyorot dari berbagai sisi di Ruang Bermain. Aku memasang monitor pengeras suara di telingaku. Lalu membalas pesan Cantra.

"Aku siap."

Aku menatapi monitor. Pintu Ruang Bermain terbuka. Sosok wanita berambut merah yang kukenal sebagai Valerie memasuki ruangan. Dia temanku, mantan penyewaku (tapi itu masa lalu dan kami tak memiliki perasaan romatis satu sama lain), dan kini ia menjadi pasangan Cantra. Ceritanya cukup panjang. Sederhananya, mereka telah menolong hidupku. Itu saja.

Di belakangnya Cantra mengekor. Kepalanya tertunduk. Aku tidak bisa melihat ekspresi wajahnya dengan jelas, tapi aku tahu dia tidak memakai alas kaki. Ia mengenakan selembar kemeja putih kebesaran yang ujungnya menutupi area pinggul hingga paha.

10. The Queen of Imperfect GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang