8

360 18 0
                                    

8

Aku baru kembali ke kamar setelah jam 5 pagi. Ketika tak sengaja melihat cermin, aku menyadari penampilanku yang berantakan. Baju tidur yang lecek, rambut awut-awutan dan kantong mata yang menghitam karena kurang tidur.

Kekasihku, Diang baru keluar dari kamar mandi. Rambut pendeknya basah karena habis keramas dan belum dikeringkan. Ia agak kaget saat melihatku. Wajahnya menampakkan cemas dan ia menghampiriku.

"Arung? Dari mana saja kamu?"

"Aku—"

"Kenapa kakimu kotor sekali?"

"Aku ketiduran di taman." Aku berbohong. Aku menunduk untuk menatap kakiku, memastikan apakah kebohongan barusan dapat dipercaya.

"Oh! Apa kamu tidak masuk angin?" Diang memelukku. Tangannya menggosok punggungku dengan sikap mantap. Seolah dengan cara itu aku bisa bersendawa seperti bayi yang habis menyusu.

Aku menyingkir darinya. Aku menangkup tangan di pipinya yang dingin dan halus. "Aku mau mandi dulu. Setelah itu aku baru akan memelukmu sepuasnya. Mungkin tidur 1 atau 2 jam lagi."

"Ah... Soal itu. Ada pekerjaan yang harus aku lakukan." Diang berpikir sebentar. "Sebenarnya bukan pekerjaan. Tapi aku mau pergi ke asrama. Aku punya ide baru untuk mengajar. Aku merasa lebih bertenaga dan lebih bersemangat karena semalam kita..."

Aku mengangguk. "Kamu merasa jadi merasa sangat tangguh?" Aku menggoda. Diang membuang muka sambil tersipu.

"Ya sudah... Pergilah. Aku juga harus bekerja."

Diang mencium bibirku. Lekat dan penuh gairah. Sebelum aku membalasnya, ia sudah keburu lari ke lemari dan menyiapkan pakaiannya. Aku tersenyum melihat tingkah lakunya. Awalnya aku mengira berhubungan dengan manusia unik sepertinya akan sulit. Nyatanya, ia begitu mempercayakan perasaannya padaku. Ia tak ambil pusing dengan sikapku yang terkadang keras padanya. Kami tidak terlalu memeras perasaan untuk hal-hal kecil semacam ini. Tidak ada drama.

***

Setelah selesai bersiap dan akan minum kopi, Valerie telah duduk di meja dapur sendirian. Aku melewatinya, menuang kopi dan duduk di depannya.

"Pagi, Arung. Kamu kelihatan lelah."

Aku menguap sambil mengangguk. "Kamu kelihatan... Baik-baik saja."

"Kenapa memangnya? Kamu ingin aku terlihat bagaimana?" Valerie mengangkat alisnya.

"Mana Cantra?" Aku mengalihkan topik pembicaraan. Melihat ke sekeliling dapur untuk mencari sosoknya.

"Kami tidak sekamar. Dan aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu."

Aku melirik jam tanganku. Tak biasanya Cantra belum muncul jam segini. Ingatanku berputar kembali pada kejadian semalam. Ia tidak baik-baik saja.

Setelah membersihkan dirinya, Cantra duduk di pinggir tempat tidurnya selama hampir 1 jam. Ia tidak bergerak. Hanya sesekali menghela nafas panjang. Lalu, ia tiba-tiba berdiri dan membongkar lemarinya. Ia mengeluarkan segala hal dari laci seolah sedang mencari sesuatu. Namun setelah semua isi dalam lemarinya berhamburan, ia tidak menemukan 'entah apa yang ia cari' tersebut.

Cantra juga sempat berdiri di jendela. Lalu, tak berselang lama, ia cepat-cepat menutup tirai rapat-rapat. Ia memegang kepalanya. Ia mondar-mandir di atas timbunan benda yang hambur di lantai.

Kemudian setelah lelah (mungkin) ia rebah di atas tempat tidurnya.

Pada saat aku mengira ia sudah bisa tidur, tubuh wanita itu mulai bereaksi. Ia mimpi buruk. Paling tidak itu yang bisa kutebak ketika menonton monitor di depanku. Tapi aku tak bisa melihat yang ada dalam mimpinya. Tentu saja.

10. The Queen of Imperfect GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang