5

509 21 4
                                    

5

"Hai, Arung. Kamu sudah siap?"

Pertanyaan itu muncul bersamaan dengan pesan singkat Cantra.

"Ruang Bermain. Sepertinya calon istriku menyimpan banyak sekali kemarahan padaku. Aku belum sempat menulis surat wasiat. Tolong pastikan kalau agar aku tidak berwisata ke Unit Gawat Darurat malam ini."

Aku memasang antingku. Lalu kembali duduk di depan kaca rias. Apa yang harus aku lakukan sekarang?

"Apa harus hari ini?" balasku.

"Arung?" suara Diang mengapung di permukaan lewat pengeras suara ponsel. Kujawab dengan berdeham.

"Tak usah menjemput. Tunggu aku di restoran, Diang. Aku harus mengerjakan sesuatu dulu. Aku akan ada di sana sebelum kamu menyadarinya."

Diang diam sebentar sebelum berujar, "Oke. Aku akan menunggumu."

Aku hendak menelepon Cantra, namun namanya lebih dulu muncul di layar ponselku.

"Ya?"

"Tolong segera ke ruang monitor."

"Cantra... Aku..."

"Tunda. Apa pun itu, tolong ditunda. Ini perintah," desaknya.

Aku mengangguk seolah ia bisa melihatku. "Oke. Tapi aku hanya punya waktu setengah jam. Aku dan Diang ada janji."

"Ya... Aku akan minta maaf padanya nanti." Lalu ia tutup teleponnya.

Aku memang sudah menyangka kalau pekerjaanku ini akan menyita lebih banyak dari waktu yang bisa kuhabiskan untuk kehidupan pribadiku. Menjadi asisten pribadi seorang narsistik kaya seperti Cantra? Tentu saja. Apa lagi yang bisa aku harapkan? Tapi ia memberikan masa depan pada adikku, Nemo. Dia mengangkatku dari lumpur pelacuran ke lantai pualam rumah megahnya. Aku seharusnya bersyukur.

Di dalam ruang monitor, aku menyaksikan Cantra telah berlutut di posisinya. Tidak ada sehelai kain pun yang melindungi tubuhnya. Sementara Valerie sibuk dengan seutas tali. Ia menyimpul pergelangan tangan majikanku, mengikatnya di belakang punggung.

"Hari ini kita akan melihat sampai sebatas mana kamu bisa mengendalikan dirimu, Canski." Valerie berjalan memutari perempuan yang akan dinikahinya 3 bulan lagi. Ia masih memakai pakaian yang sama, seperti yang dipakainya saat menemui Tuan dan Nyonya Bhuana.

"Kamu bicara tanpa bertanya padaku dulu. Kamu membuat keputusan tanpa berdiskusi dulu denganku. Kamu pikir pernikahan membuatmu punya hak penuh atas diriku?"

Cantra menggeleng. Ia menatap Valerie meski tubuhnya diam. Ia tak terima pada tuduhan Valerie.

"Apa salahku, Val?"

"Val? Sekarang kamu berani memanggil namaku? Di ruangan ini?" Valerie menarik rambut Cantra sampai dahinya menyentak ke belakang.

Aku terkesiap ketika sadar bahwa tali itu tidak hanya mengikat pinggul dan tangannya. Namun lehernya. Apa yang akan terjadi di antara mereka berdua?

Cantra tidak menjawab lagi. Kulihat bibirnya terkunci rapat sampai membentuk garis lurus.

"Dengar, meski aku menikah denganmu, aku tak ingin tunduk padamu. Aku tak suka pada konsep kepala keluarga. Seolah aku akan jadi pesuruh dan tak berhak punya suara. Aku tidak suka kalau kamu mencitrakan bahwa dirimu yang akan membiayai hidupku. Karena aku tidak pernah minta satu sen pun darimu. Dan aku tidak butuh orang tuamu. Aku tidak lahir dari batu. Aku punya orang tua meski mereka sudah tidak ada di dunia. Orang tuamu tidak bisa menggantikan mereka. Mengerti?"

Cantra memandang pada calon istrinya. Alisnya berkerut. Tapi ia tidak terlihat marah. Ia bingung.

"Mengerti?!" bentak Valerie.

10. The Queen of Imperfect GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang