9

277 14 0
                                    

9

"Aku akan mencongkel pintu ini sebentar lagi, Cantra!" Aku mendengus, nyaris berteriak karena rasa cemas sudah mengekor padaku sejak semalam.

Dan, aku sudah berdiri 10 menit di depan kamarnya sekarang. Mengetuk pintu dan memanggili namanya. Cantra tidak juga menjawab. Aku menelepon ponselnya. Aku mendengar dering itu dari balik pintu. Namun tetap tak ada jawaban.

Aku mengamati seonggok pajangan dari batu yang diletakkan di sebelah kamarnya. Aku sempat menakar berapa harga benda itu sebelum memutuskan apa aku akan menggunakannya untuk mendobrak kamar itu.

Lalu aku membuat keputusan bulat. Aku menghampiri benda mahal itu. Mengerahkan segala kekuatan untuk menggendongnya dan memindahkannya ke lantai. Kemudian aku menarik nafas sekali lagi untuk mengangkat rangka kayu yang tadinya adalah penyangga batu pajangan tersebut. Aku berdiri di depan pintu lagi. Aku siap mendobrak.

"Apa yang kamu lakukan dengan itu?"

Kepala si pemilik rumah tiba-tiba mencuat dari ceruk pintu kamarnya. Ia memandangku, lalu melirik pada pajangan batu kesayangannya di lantai. Lalu padaku lagi. "Kamu tahu harga batu itu?"

"Sudah kubilang, aku akan mencongkel kamarmu." Aku menurunkan perabot di tanganku pelan, bercampur rasa malu.

"Kelihatannya yang kamu bawa terlalu besar untuk mencongkel. Masuklah." Ia tersenyum sinis lalu membuka celah yang lebih besar agar aku bisa masuk ke dalam kamarnya yang... Bersih dan rapi.

"Kamu membersihkan kamar ini sepagian?" Aku sedang menyambung kronologi yang terputus dalam jarak waktuku, sejak meninggalkan ruang monitor sampai detik ini.

"Kamar ini memang tak pernah berantakan," jawabnya ringan.

"Tapi..."

"Kamu mengawasiku semalaman?" Tiba-tiba nadanya menjadi tajam. Menuduh. Seolah aku sudah melakukan pelecehan padanya.

"Aku khawatir padamu."

"Ck!" Ia mendecakkan lidah. "Hari ini akan sangat melelahkan. Harusnya kamu bisa memanfaatkan waktu tidur dengan baik. Bukannya memata-mataiku," keluhnya sambil membuka yukatanya dan mengganti pakaian. Ia sudah memakai pakaian dalam. Tangannya menjangkau sehelai gaun tanpa lengan berbahan linen di atas lutut dari lemarinya yang luar biasa besar.

Setelah itu ia menambahkan blazer ungu tua yang cantik sebagai luaran. Aku berusaha mengalihkan perhatian. Tapi sayang untuk melewatkan adegan ini. Tubuh Cantra memang tak memiliki cacat. Kecuali...

Lebam bekas percintaannya dengan Valerie dan satu bekas luka di pinggannya. Tidak besar, tapi cukup terlihat. Apakah Valerie juga yang melakukannya?

"Aku minta maaf. Kadang aku terlalu kompulsif." Aku menunduk malu.

"Lain kali jangan melakukan hal-hal yang semacam itu tanpa kuminta. Kamu pasti memiliki kehidupan pribadi juga. Bagaimana kalau aku mengacak-acak hubunganmu dengan Diang? Apa kamu akan menyukai partisipasiku?" Cantra mengawasiku dari cermin seukuran badan manusia di depannya.

"Baik. Aku minta maaf."

"Lupakan saja. Sekarang, cari tukang kebun dan tunggu aku di taman."

Aku berdiri dari dudukku dan melakukan perintahnya. Aku memang sudah menginvasi privasinya sembarangan. Tapi, keadaannya kemarin membuatku was-was. Kalau dia bukan Cantra, aku tidak akan ambil pusing. Namun, aku belum pernah melihat orang yang katanya tak memiliki perasaan bersikap sepanik itu.

Mungkin apa yang kurasakan lebih mirip rasa penasaran. Dan, sepertinya aku akan terus melakukannya diam-diam. Dia kekasih teman baikku. Satu-satunya teman baikku di kota ini. Valerie mencintainya dan aku akan memastikan Cantra baik-baik saja. Aku akan tetap mengawasinya.

10. The Queen of Imperfect GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang