3
Cuaca gerah di penghujung bulan Juli tidak hanya menghantarkan angin dan debu yang melengket di tiap jendela rumah megah milik Cantra Bhuana. Namun juga, rasa bosan dan suasana hati yang tak menentu. Aku tidak terlalu menyukai pohon leci besar di depan balkoni kamarku. Daunnya terlalu lebat dan dia tidak menunjukkan tanda-tanda akan mulai berbunga apalagi berbuah. Burung-burung yang tinggal di rantingnya berisik setiap pagi. Belum lagi suara tonggeret yang membuat telinga penuh. Aku sudah mengusulkan pada si pemilik rumah untuk menebangnya saja dan menggantinya dengan pohon yang lebih berfaedah. Tapi ia bersikukuh mempertahankannya. Agar tak lupa pada mantan pacarnya—katanya.
Kupikir, kenapa memangnya? Kalau dia ingin mengingat-ingat masalalu, kenapa ia harus menempatkanku di kamar ini? Kenapa tak menjadikan kamar ini museum saja sekalian? Bukankah masih banyak kamar lain yang bisa aku tempati? Aku tidak habis pikir.
Saat aku selesai mandi dan memakai pakaian, kekasihku, perempuan bernama Diang sudah terduduk di tempat tidur. Rambutnya yang selalu di cukur sebahu nampak mengembang dan berantakan. Ia memandangku, tersenyum kecil. Ia melambaikan tangan.
"Tidurlah lebih banyak. Semalam kamu pulang larut," Aku mencium pipinya.
Ia mengusap tengkuknya sambil berkedip. "Saat aku datang kamu belum ada. Kamu pasti pulang lebih larut. Kamu tidak ingin kembali ke sini?" Ia menepuk kasur.
"Aku harus kerja—"
PRANG!
Aku dan Diang tersentak karena suara pecah belah. Kami saling pandang.
"Ya..." keluhku, "aku harus kerja."
Diang tersenyum. Ia membiarkanku beranjak. "Aku akan turun sebentar lagi. Menurutmu Cantra akan keberatan?" tanyanya.
"Dia tak akan perduli." Lalu aku menutup pintu kamar kami.
Setelah beberapa insiden yang melibatkan aku, Diang, Cantra dan Valerie beberapa bulan lalu, kekasihku dan aku memang berencana meninggalkan kota Purasabha. Namun, ada beberapa keputusan yang kami buat. Jadi, kami kembali ke sini. Kami berhutang banyak pada Cantra. Hutang budi. Lagi-lagi, aku tak bisa menjelaskan terlalu banyak. Aku minta maaf, karena sebenarnya aku ingin sekali melupakan bagian hidupku yang itu. Aku mohon, hormati keputusanku.
Sesampainya di dapur, Cantra dan Valerie sudah duduk di meja makan. Seorang pengurus rumah sedang membersihkan pecahan kaca yang berhamburan di lantai. Keadaan menjadi sangat sunyi. Aku berbelok ke konter dapur dan menuang kopi ke dalam cangkir.
"Kalau kamu membuat pesta resepsi, siapa yang akan kamu undang, Arung?"
Aku mendongakkan kepala untuk menatap lawan bicaraku. Pertanyaan itu milik Cantra. "Maaf?"
"Kalau kamu membuat pesta untuk pernikahanmu, siapa yang akan kamu undang?" Ia mengulang pertanyaannya. Oke. Aku tahu pertengkaran ini karena apa.
"Aku akan mengundang orang tuaku, orang tua pacarku. Tapi mereka sudah mati." Aku menjawab. "Sebaiknya aku tidak melakukan pesta."
"Itu yang ingin aku katakan padanya. Tapi dia tak mengerti!" Valerie menikam rotinya dengan garpu, lalu dengan tangan kanannya ia membelah dan memotong-motong roti itu dengan sadis.
"Kita bisa mengundang teman-teman lain. Keluarga Draw, Gourse, Dice—"
"Keluarga Nirmala dan Kana? Bilang padaku kalau kamu ingin mengundang mantan pacarmu yang lain!"
"Kamu cemburu?"
"Tidak sama sekali. Tapi menurutku ini berlebihan. Kamu tidak memikirkanku sama sekali, Canski!" Valerie terdengar frustasi. Seolah ia sudah mengulang kalimat yang sama berkali-kali dan Cantra tak juga mengerti.
![](https://img.wattpad.com/cover/356530258-288-k377289.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
10. The Queen of Imperfect GXG (END)
Romance18+ "Kadang... Menurutku, kita adalah tamu tak diundang dalam semesta ini." -Arung, seorang mantan pelacur-