4
"Arung..."
"Hm?" Aku membungkukkan badanku. Mataku masih asik memandang ke luar jendela Hail Hall. Daun kering merangkak perlahan karena embusan angin. Seekor kucing bersantai di pinggiran trotoar sambil menyandarkan diri di tiang lampu. Sibuk menjilati pangkal pahanya.
"Lihat aku!" Ia mendesak. Tangannya menarik ujung blazerku.
Aku menghirup nafas dalam dan menahannya. Kemudian aku mengikuti maunya.
"Lihat aku. Apa wajahku sudah kelihatan ceria?" Ketika dia menanyakan itu, Cantra sedang tersenyum lebar sampai seluruh permukaan bibirnya tertarik naik. Giginya yang bersih berbaris rapat dan nyaris mengkilat. Yang aneh adalah, meski ia sedang memaksakan diri, lesung pipinya masih diam di tempat biasanya dan tetap terlihat menawan.
Aku mendecakkan lidah.
"Kenapa? Kamu kelihatan takut." Cantra memijat pipinya dengan kedua telapak tangan. Namun seringainya belum berubah sama sekali.
"Coba ceritakan padaku. Kamu ini sedang apa?" Aku menilai. Cantra membayarku mahal untuk pekerjaan ini. Aku akan berusaha membantunya sebisaku.
"Aku sedang tersenyum bahagia."
Aku bergidik. "Cantra, kamu terlihat... Mengerikan. Itu bukan tersenyum. Coba lihat dirimu sendiri." Aku menawarkan ponsel padanya.
Cantra mengambil benda itu cepat-cepat karena ingin membuktikan kata-kataku. Dan, tubuhnya menyentak ke belakang.
"Ya Tuhan!"
"Sudah kubilang, kan."
"Pantas pipiku sakit sekali rasanya." Cantra menggeleng. Ia menyangga dagunya dengan dua tangan di atas meja dan berpikir keras. "Aku harus kelihatan senang. Karena aku akan mengabari orangtuaku tentang pernikahanku."
"Cobalah untuk tidak terlalu berusaha. Biasanya kamu bisa tersenyum dengan anggun."
"Tapi itu senyumku yang biasanya. Ini akan jadi berita yang gembira untuk orang tuaku. Seharusnya aku tidak seperti biasanya."
Aku menggigit bibir bawahku. "Kalau begitu cobalah untuk menangis terharu."
"Kamu bercanda?"
Aku menahan tawa. Tak pernah aku berpikir bagaimana rasanya tidak memiliki naluri alami untuk menunjukkan ekspresi. Barangkali menahannya adalah pekerjaan yang lebih mudah.
"Ayolah, Arung! Bantu aku."
"Tunjukkan padaku," ujarku dengan nada biasa, meski aku merasa iba.
"Papa, Mama... Aku dan Valerie akan menikah." Cantra mengatakannya susah payah, karena senyum membutuhkan tingkat pengendalian diri dan konsentrasi yang tinggi.
Aku mengerucutkan bibir. "Tidak buruk."
"Aku butuh yang sempurna, Arung. 'Tidak buruk' artinya tak cukup baik."
Aku ingin menjelaskan padanya kalau sebenarnya semua ini tak penting. Karena orang tua Cantra memang sudah paham akan keterbatasan anaknya. Namun, yang ditunggu keburu datang. Tuan Basudewa Bhuana dan istrinya.
"Pa, Ma... Apa kabar?" Cantra berdiri. Ia memeluk ayahnya dan mencium pipi ibunya. Wajahnya tenang, datar. Dia sudah lupa kalau baru saja ia ingin nampak bahagia.
"Kamu jarang menelepon kami, Cening. Apa kamu sedang dalam masalah?" Tuan Bhuana memincingkan matanya. Suaranya terdengar curiga. Apalagi setelah beliau melihatku.
"Pacar barumu?" tanya ibunya.
Aku menggeleng lalu mengulurkan tangan. "Saya Arung. Asisten Cantra."
"Akan jadi pacarnya Cening kami?" tanya ibunya lagi. Suaranya tebal, tegas dan memaksa. Aku meringis. Tidak akan terjadi. Maaf membuat anda kecewa. Aku tak bisa mengatakan itu, sayangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
10. The Queen of Imperfect GXG (END)
Romance18+ "Kadang... Menurutku, kita adalah tamu tak diundang dalam semesta ini." -Arung, seorang mantan pelacur-