7

413 16 0
                                    

7

Seperti yang sudah kuduga. Cantra Bhuana sedang duduk sendirian di kursi meja makan dengan sebuah cangkir teronggok di depannya. Aku berterimakasih pada semesta karena ia sudah menutup dirinya dengan sehelai yukata. Aku juga berterimakasih karena Valerie tidak ada di sini. Kalau tidak, suasananya akan jadi sangat canggung. Paling tidak buatku. Meski Valerie adalah teman baikku. Itu malah semakin aneh jika dipikirkan.

Ketika sampai aku tak langsung menyapanya. Aku memutar ke belakang. Membuka kulkas dan menuang air ke gelasku. Barulah setelah ia menoleh, aku menyampaikan senyum padanya.

"Malam yang panjang..." katanya. Suaranya pelan, serak dan terdengar lelah. Aku masih bertanya-tanya bagaimana ia bisa sampai ke sini. Setelah apa yang dilakukan Valerie padanya tadi, rasanya mustahil untuk Cantra bisa sampai dapur tanpa merangkak.

Cantra tidak menunggu jawabanku. Ia mendongakkan kepalanya, sebelum bicara lagi. "Kamu habis bercinta, ya? Apa perasaanmu tergugah karena melihatku dan Valerie?"

Aku menghela nafas tajam lalu duduk di seberang meja. Aku menaruh gelas yang isinya tinggal separuh dan kotak misterius itu di atas meja. Aku menghadapinya dengan senyum yang tersungging tipis di wajahku. "Dari mana kamu tahu?"

"Baunya. Aku bisa mencium baunya dari gelagatmu."

Aku menggeleng. "Tapi aku tidak melakukannya karena melihatmu. Kamu seharusnya merasa malu, bukan besar kepala seperti ini."

Cantra mendecakkan bahu. Ia menopang wajahnya dengan telapak tangan. Ketika lengan yukatanya tersibak, aku melihat lebam bekas tali melintang di pergelangan tangannya. Aku mau tak mau jadi merasa iba. Meski wajahku tak menunjukkannya.

"Sudah kamu obati lukamu?" tanyaku datar.

Cantra membelai lebamnya seolah itu adalah kenang-kenangan yang berharga. "Nanti aku akan melakukannya sebelum tidur."

"Bagaimana kamu akan menyembunyikan yang di lehermu?"

"Aku bisa pakai scarf. Jangan mengajariku. Ini bukan yang pertama." Bibirnya bersungut-sungut seolah dia tersinggung.

"Maaf... Aku seharusnya tahu kalau kamu tidak waras."

"Apa itu?" Cantra tidak memedulikan ejekanku. Ia memandang lurus pada kotak misterius yang ukurannya sebesar ponsel di depanku. Aku langsung mendorongnya ke hadapan majikanku.

"Tadi, seorang bocah mengantarnya. Katanya untuk Cantra Bhuana. Aku tanya dari mana asalnya. Dia tidak menjawab dan langsung pergi."

"Lain kali kamu harus menawarkan makanan padanya."

"Sudah. Tapi dia tak mau." Aku mengingat-ingat. "Oh, ya... Katanya seorang lelaki yang menyuruhnya."

Cantra yang tadinya hendak membuka kotak itu jadi mengurungkan niat. Ia mendorong kembali kotak itu padaku. "Kenapa kamu tidak membukanya? Kenapa kamu menunggu beberapa jam untuk memberikannya padaku?"

"Kamu memberiku banyak pekerjaan sampai aku melupakannya. Dan, kupikir membukanya duluan tidaklah sopan."

"Setelah semua yang kamu lihat di Ruang Bermain, kamu masih menganggap sopan santun adalah segalanya?"

"Ya sudah..." Aku memilih untuk tidak memperpanjang percakapan kami. Aku menarik kotak itu kembali ke depanku. Kemudian dengan mantap kedua tanganku membukanya.

Dan aku kecewa. Karena kukira isi dari kotak misterius itu adalah sesuatu yang mengerikan. Misalnya potongan telinga, ruas jari, gigi atau apa saja yang cocok dengan image Cantra Bhuana. Nampaknya, kekecewaanku tertangkap oleh mata tajam wanita di depanku. Ia penasaran dan merebut kotak itu dariku.

10. The Queen of Imperfect GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang