6
Mengitari rumah ini dengan berlari dan menggunakan sepatu berhak tinggi bukanlah ide bagus. Aku hampir terpeleset dan nyaris terjungkal di tangga. Namun, kendala itu tidak mengurai kegelisahanku sama sekali. Aku benar-benar tak ingin bertengkar dengan Diang.
Ia sedang duduk di belakang meja sambil menunduk. Tangannya sibuk memilah dan mencocokkan mainan puzzle di depannya. Wangi parfumnya menjadi unik karena sudah bercampur dengan keringat dan pengharum mobil. Wajahnya serius. Dahinya berkerut. Aku tahu Diang selalu butuh pengalihan. Dirinya dan spektrum ADHD bukan rahasia lagi di antara kami.
"Diang," panggilku. Nafasku belum teratur, tubuhku mulai terasa panas dan sebentar lagi keringat akan membuat gaunku lengket.
"Kamu terlambat. Mereka terus menanyakan pesananku dan aku terus menjawab kalau aku sedang menunggu. Lalu, aku bosan dan pulang." Ia mengeluh.
"Aku minta maaf." Aku mendekat padanya. Tapi menahan diri untuk tidak menyentuhnya.
"Aku menghitung bilah puzzle ini. Aku kehilangan 2. Di mana aku menaruhnya?" Ia tidak bermaksud mengalihkan pembicaraan. Dia memang begitu tabiatnya.
"Sudah kamu cari di laci?"
"Ah! Ketemu! Terimakasih, Arung." Ia benar-benar menemukannya di dalam laci.
"Dari mana?"
"Aku bekerja. Keasikan sampai melupakan janji." Aku jujur. Itu lebih baik dari pada membikin kebohongan.
"Oke." Ia memasang bilah puzzle-nya lalu menoleh padaku. "Bagaimana menurutmu?"
"Menurutku itu sangat membosankan. Kamu sudah memasangnya 6 kali. Sampai kamu terlalu hapal. Sebaiknya kita membeli yang lebih besar."
"Apa yang akan kita lakukan dengan yang lama?"
"Kita bisa memesan bingkai dan memajangnya, Diang. Boleh aku memelukmu?"
Diang akhirnya menoleh padaku. Ekspresinya berubah pelan. Dahinya mengendur. Cuping hidungnya bergerak-gerak dan tatapan matanya melembut. Sesungging senyum muncul di bibirnya dan menjalar naik ke matanya. Ia tak marah. Aku membalas senyumnya.
"Aku rindu padamu." Ia memundurkan kursi dan menghampiriku. Ia merentangkan tangan, pelukannya menelan tubuhku. Aku merasakan ototnya yang mengencang. Di lengan, perut dan punggungnya.
Diang melatih tubuhnya setiap hari. Ia mengajar bela diri di sebuah asrama perempuan kalau sedang senggang. Sebenarnya ia bekerja sebagai seorang investigator. Detektif swasta. Belakangan ini kasusnya hanya tentang perselingkuhan dan warisan.
"Aku juga rindu padamu." Aku merapatkan tubuhku padanya. Semakin rapat ketika ia membelai pinggulku.
"Kamu selalu cantik. Aku menghargai usahamu berdandan untukku. Aku bersyukur karena tak jadi bertemu denganmu di restoran."
Aku melepas pelukanku. "Kenapa?"
"Karena aku tak akan tahan. Semua orang akan melihatmu. Mereka akan memikirkanmu. Karena kamu cantik, tubuhmu indah. Aku tidak akan tahan. Aku akan memukul semua orang." Ia bergumam polos.
"Kamu akan menyembunyikanku di rumah dan tak membiarkan orang lain bertemu denganku?"
"Kadang memamerkanmu juga bukan ide buruk. Selama hanya aku yang bisa menikmatimu."
"Menikmati?"
Diang mengangguk. Matanya meredup. Kegelapan muncul di sana. Seketika aku merasakan awan tebal menyelimuti kami. Membawa hawa panas dan lengket, mendidihkan aliran darahku. Nafasnya meniupkan uap ke mataku. Aku berkedip. Dari sanalah timbul kesadaran kalau Diang menginginkanku. Sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
10. The Queen of Imperfect GXG (END)
Romance18+ "Kadang... Menurutku, kita adalah tamu tak diundang dalam semesta ini." -Arung, seorang mantan pelacur-