6. Kenapa?

118 5 0
                                    

"Dia mas Indra, kakakku."

Saka seketika terdiam, wajahnya kaget bukan main. Karena selama dia kenal dengan Ayu, dia hanya tau kalau Binar anaknya dan tidak punya keluarga lain.

"Kenapa? Kaget ya?" Ayu mendorong kembali Saka agar bisa bersandar pada sofa. Menggenggam tangan pria-nya.

"Jadi, selama ini kamu masih punya keluarga selain Binar? Kenapa ga cerita?" Saka menghela nafas berat, betapa malunya dia karena tadi sudah menatap tak enak pada calon kakak iparnya.

"Kan jadi gaenak tadi udah sinisin dia, Ayu." Saka menunduk malu, sedangkan Ayu hanya terkikik geli melihat prianya yang sangat cemburuan itu.

Ayu memukul pelan lengan Saka yang masih setia dia genggam hangat. "Makanya jangan gegabah, cemburu buta lagi. Rasain!"

"Mungkin setelah ini mas Indra ga kasih restu si kalau kamu mau nikahin aku."

Saka langsung menegang, "ngomongnya jangan gitu dong! Kamu mah, bukannya bantuin malah nakut-nakutin."

Ayu benar-benar tertawa ngakak, melihat wajah Saka yang seperti jemuran kusut. Gemas.

"Nanti aku bantu jelasin ke mas Indra. Udah, dong jangan kusut gitu mukanya." Ayu mengelus pelan pipi kanan Saka yang mulai ditumbuhi jambang tipis itu. Membuat sang empu tersenyum konyol dan berakhir mencuri ciuman sekilas dibibir Ayu, hanya menempel.

*****

"Muka kamu kenapa? Habis berantem ya?"

Sebuah intrupsi menghentikan langkah Bumi yang akan menaiki tangga menuju kamarnya. Memilih untuk berbalik dan menghampiri sang Mama yang sepertinya baru selesai memasak.

Bumi mengecup pipi mamanya, "Ga kok Ma, tadi ada salah paham dikit makanya jadi gini."

Nia segera berjalan cepat menuju dapur untuk mengambil air es serta sebuah handuk kecil, kemudian kembali menghampiri anak laki-lakinya yang terlihat lesu itu. "Kok bisa gitu sih? Sini, mama kompres dulu biar ga bengkak."

Nia menggiring Bumi menuju ruang tengah yang tak jauh dari dapur, mendudukkannya pelan, dan secara cekatan melepas tas, jaket, dan sepatu putranya itu. Baru kemudian mengompres pelipis dan sudut bibir Bumi yang sudah tampak membiru. "Ceritain ke Mama apa yang udah terjadi. Berani-beraninya anak mama dipukulin gini, aduh, ntar gantengnya ilang kan bahaya. Mama jadi gabisa punya mantu cakep."

Nia terus saja menyerocos, sedangkan Bumi hanya mendengarkan sambil sesekali meringis. Mamanya ini kelewat cerewet, selalu melebih-lebihkan hal kecil. "Gapapa Ma, berantem biasa anak cowo, aduh-"

Nia sedikit menekan pelipis anaknya yang ngeyel itu. "Emang gabisa diselesaikan baik-baik? Kenapa harus berantem sih, lagian ga ada gunanya berantem-berantem gini adek. Menang jadi arang, kalah jadi abu. Ga ada yang diuntungin! Paham?!"

"Iya-iya, lain kali ga berantem. Udah belum sih, Ma? Aku mau mandi, gerah banget ini."

"Yaudah, mandi dulu gih! Abis mandi dikompres lagi sama es batu biar ga terlalu bengkak. Jangan lupa! Kalo sampe lupa ntar kamu Mama rendem sekalian sama es! Udah sana, kamu bau!"

Nia beranjak membawa kompresan tadi ke dapur, sedangkan Bumi juga sudah ngacir pergi kekamarnya.

Dipikir-pikir belakangan ini Mamanya lebih posesif dari biasanya, sering ngambek, dan makin baperan. Mirip sekali dengan anak kecil umur 3 tahun yang sedang tantrum-tantrumnya.

Setelah membersihkan diri, Bumi pun menuruti apa kata mamanya untuk mengompres lukanya, walaupun sebenarnya malas, tapi daripada direndam dalam es? Mendingan mengompres saja, lagian tidak sampai 10 menit juga sudah selesai.

MENARI •||• ON GOING (Delshel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang