Bukan Kisah Rama dan Shita

3.9K 395 12
                                    

"BAGAIMANA BISA KAMU BERHARAP JIKA AKU AKAN BAIK-BAIK SAJA SETELAH KAMU SENDIRI YANG SUDAH MENGHANCURKANKU, HAH!"

"...................."

"DEMI TUHAN, AKU MEMBENCIMU. SEMOGA PERNIKAHAN KALIAN YANG DIBANGUN DIATAS KECEWAKU TIDAK AKAN PERNAH BAHAGIA!"

Untuk terakhir kalinya aku menatap benci pada sosok yang biasanya tampil gagah dalam seragam kebanggaannya tersebut, aku bahkan sama sekali tidak peduli kotak jam tangan yang aku lemparkan kini membuat dahinya berdarah karena apa yang dirasakan luka di hatiku jauh lebih menganga dibandingkan luka gores tersebut.

Kuraih dengan kasar tas tanganku, dan pergi begitu saja meninggalkannya yang masih termangu ditempat duduknya. Diantara kisah paling tragis dalam berakhirnya hubungan, akhir kisahku ini mungkin adalah salah satunya, tidak ada angin, tidak ada hujan, ditinggal menikah begitu saja tanpa ada penjelasan dan alasan selain pesan agar aku datang supaya dia lega. Dia ingin memastikan jika aku baik-baik saja lepas darinya sementara dia sendirilah yang menancapkan sembilu di dalam hatiku.

Dokter, pantas saja Mas Rama meninggalkanku tanpa berpikir panjang, ternyata laki-laki sama saja, omong kosong tentang wanita matre, pria pun sama tidak jauh berbeda. Dengan dada yang penuh rasa amarah, aku berjalan secepat yang kakiku bisa meninggalkannya, ingin rasanya aku terbang sekalian menuju tempat dimana motorku terparkir, namun seolah kesialan belum usai, wanita yang menjadi alasan hancurnya dunia dan mimpi indah yang aku bangun megah di dalam hatiku justru menghadangku.

Sosok yang begitu sempurna, tampak mahal, dengan wangi yang seketika membuatku merasa begitu kerdil dan meruntuhkan kepercayaan diriku dalam sekejap. Demi Tuhan, inikah rasanya ditampar oleh kenyataan? Setidak adil itukah dunia dalam bekerja? Ya, pantas saja Mas Rama lebih memilih wanita yang ada di depanku ini, sosok Utari Kusumaningrum ini benar-benar jelmaan seornag Tuan putri, berbeda denganku yang seperti upik abu.

"Mbak......" panggilan pelan yang ditujukan kepadaku itu membuatku mendongak dengan pandangan terbengis yang pernah aku miliki. Aku tidak pernah berbicara dengannya namun dia adalah perempuan yang paling aku benci di dunia ini. "Saya harap Mbak tidak jadi perusak di dalam pernikahan saya dan Bang Rama nantinya. Kisah kalian bukan kisah Rama dan Shita jadi harap Mbak bisa berbesar hati menerima kenyataan ini."

Heh, dia tidak salah berbicara seperti ini kepadaku? Sepertinya kalimat yang baru saja dia ucapkan tentang seornag perusak itu lebih cocok untuk dirinya. Dia lebih segalanya dariku, bahkan dia sukses membuatku dicampakkan seperti sampah namun ujung-ujungnya wanita bernama Utari justr menganggapku seperti pengganggu dalam hidupnya.

Jika sebelumnya aku mengamuk pada mantan pacar brengsekku, maka kali ini berhadapan dengan perempuan yang sebentar lagi akan menyandang gelar Nyonya Rama Farid ini aku justru menampilkan senyum terbaikku.

"Iya, selamat deh yang akhirnya mau dinikahin, tapi sedikit saran saja! Jaga baik-baik tuh lakinya, iket yang bener lehernya jangan sampai meleng balik badan ke aku lagi, karena sampai di titik akhir kalian mau nikah saja dia baru bisa lepasin hubungan kami, bisa-bisa begitu kawin yang ada di kepalanya cuma aku lagi! Kasihan bener kalau sampai kejadian kayak gitu! Ciiihhhhh, nikah dapat raganya tapi nggak sama hatinya, nangis nggak tuh!"

Usai mencebik mengejek wanita yang lebih segalanya dariku itu aku berlalu begitu saja, bisa aku lihat kedua tangan wanita langsing nan tinggi itu mengepalkan tangannya merasa terhina. Suruh siapa dia mengusikku dengan kata-kata yang nyelekit? Dibalas marah? Dia kira aku akan menangis meratap karena kalah dan tersingkir karenanya? Ooohh tidak. Aku akan menangis, tapi tidak di hadapan mereka.

Tanpa menoleh ke belakang lagi kutarik handle gas motorku kuat-kuat menembus jalanan yang ramai dengan mwreka yang pulang kerja, dan seolah semesta tahu jika aku butuh alasan untuk bisa menangis dengan bebas, hujan turun dengan derasnya menyarukan air mata yang mengalir tanpa bisa aku cegah. Ditengah jalanan ramai yang dihiasi hujan yang begitu deras aku menangis tersedu-sedu, segala rasa yang sebelumnya aku tahan banjir bak air bah. Tidak ada yang tahu sehancur apa aku kecuali Tuhan dan semesta. Sampai di titik ini aku berharap jika ini semua hanyalah mimpi buruk yang akan menghilang saat nanti aku membuka mata.

"TUHAN, JIKA DARI AWAL DIA BUKAN JODOHKU KENAPA RASA CINTA INI ENGKAU BANGUN MEGAHNYA DI HATIKU?"

Kisah Yang Belum UsaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang