Bab 12. Aku hanya membalasmu

3.6K 375 14
                                    

"Silahkan kalau kamu ingin membenciku, tapi tolong jangan libatkan Bunga. Sikapmu barusan menyakitinya. Anakku, dia tidak bertanggungjawab atas kesalahan yang sudah aku perbuat kepadamu."

Mendapati kata-kata dari Rama aku hanya terkekeh geli, rupanya dia pun menyadari jika dia bersalah kepadaku, sayangnya kata maaf tidak pernah terucap darinya atas apa yang sudah dia perbuat dan itu terlalu keji. Menyakiti tanpa merasa bersalah adalah hal yang sangat buruk. Dan kini, dia menegurku karena sikap burukku ini? Haruskah dia bersuara semerana ini saat anaknya tersakiti? Pernahkah dia terpikirkan saat dia tengah mengucap ijab qabul atas nama wanita lain, dia sudah membunuh hatiku?

"Lantas apa maumu?" Kini aku sepenuhnya berhadapan dengan pria brengsek ini, memiliki satu anak berusia 6 tahun nyatanya tidak membuat Rama menua sama sekali. Kedua tanganku bersedekap membalas tatapannya dengan bengis, aku ingin Rama melihat betapa marah dan bencinya aku kepadanya, "kamu mau aku bagaimana hah terhadap anak dari seorang yang sudah mempermainkanku? Aku akan mengajarnya dengan baik karena itu memang tugasku sebagai seornag guru, tapi maaf, jangan paksa aku untuk bersikap semanis sebelumnya kepada anakmu karena aku membencimu." Kudorong dadanya kuat-kuat dengan telunjukku, bukan sekali, tapi berulangkali dengan penuh penekanan agar dia paham betapa aku sangat membenci dirinya dan mengutuk takdir buruk yang membuat kami kembali bertemu dengan segala kebetulannya yang tidak aku sukai. "Aku membencimu, sangat-sangat membencimu yang sudah menghancurkan harapanku, kepercayaan diriku, dan kebahagiaanku. Aku bukan manusia berhati malaikat yang bisa menerima sikapmu dahulu, kamu bisa saja datang di hadapanku sekarang ini dan bersikap biasa-biasa saja, tapi maaf aku bukan seornag yang mudah melupakan apalagi memaafkan. Permisi, jika tidak suka dengan sikapku, silahkan sekolahkan anakmu ke sekolah yang lain. Kali ini kamu tidak bisa mengusirku pergi."

Entahlah bagaimana reaksi Rama mendengar setiap kalimatku yang berujung dengan pengusiran karena usai berbicara aku segera berbalik pergi menuju tempat motorku terparkir, tanpa segan dan ragu aku menarik handle gas sekuat mungkin melewatinya yang mematung ditempatnya. Aku bahkan tidak peduli jika kalimatku tadi terlalu keterlaluan atau kekanakan, segala kemarahan yang terpendam selama 7 tahun nyatanya meluap begitu saja tanpa bisa aku kendalikan.

Sepanjang perjalanan aku tidak hentinya merutuk kepada pertemuan kami kembali dan sempitnya dunia yang tidak lebih lebar dari daun kelor, susah payah aku melarikan diri ke Surabaya, menjauh dari kota Solo karena setiap sudut kotanya penuh dengan kenanganku dan Rama, tapi ujung-ujungnya dia datang tepat ke depan hidungku bahkan aku mengajar anaknya.

"Banting aja terus itu helm, biar beli baru lagi, makin kaya dah itu bakul helm. Itu helm kalo punya muncung udah pasti ngeluh kamu banting-banting kek gitu, kamu kira kamu ini atlet smackdown!" Aku sempat mengira jika kekesalanku sudah cukup tersalurkan sepanjang jalan tadi, nyatanya setelah sampai rumah, tanpa aku sadari helm yang aku pakai aku banting terlalu kuat hingga Nyonya rumah yang tidak lain adalah Kakakku yang cantik jelita ini langsung keluar mode singanya. Memang ya perempuan kalau udah jadi mamak-mamak, mode senggol bacok, nggak boleh gitu ada barang-barang rumah yang teraniaya. Jika sudah ketahuan seperti ini, sudah pasti lah Mbak Risa akan menginterogasiku sedetail mungkin, "kenapa wajahmu butek banget, Ta! Kalau kayak gini temennya Papanya Aira bakal ilfeel sama kamu! Ya Tuhan, punya adik sebiji udahlah nggak begitu cantik, urakan pula, kapan kamu dapat jodohnya, Ta! Waras dikit napa!"

Ya Tuhan, harus banget apa Mbak Risa ini menghinaku disaat suasana hatiku sedang buruk? Apa tidak cukup hariku rusak karena harus menerima kenyataan kalau aku harus mengajar anak dari Rama sampai-sampai dia harus menyinggung fisikku yang memang tidak baik?

"Iya Mbak, aku sendiri juga tahu diri kalau aku jelek! Nggak usah Mbak perjelas setiap saat kalau adikmu ini memang jelek, udahlah jelek, ngelamar jadi guru PNS nggak lolos, nggak ada yang bisa aku andelin biar jadi nilai plus. Kalau aku cantik dan pendidikanku baik, nggak mungkin aku ditinggal nikah pacarku, dan bikin Mbak susah-susah nyariin aku jodoh! Aku sadar, Mbak!"

Biasanya aku akan menganggap setiap sikap Mbak Risa dengan celotehan konyol, bukan sekali dua kali Mbak Risa berusaha menjadi Mak comblang antara aku dan teman-teman Mas Aska, satu hal yang sia-sia karena ujung-ujungnya gagal dengan berbagai keluhan yang mulai masuk akal dalam pikiranku hingga yang terkesan mengada-ada, memang ada yang baik, tapi tak jarang teman-teman Mas Aska melecehkanku secara verbal karena mereka berpikir di usiaku yang sudah masuk perawan tua, aku mau melakukan apapun karena kejar target usia agar cepat menikah, dan saat aku menolak ajakan mereka yang sudah masuk taraf cabul, mereka akan men-capku sok jual mahal, dan ujung-ujungnya mereka akan mengumpatku agar menjadi perawan tua.

Bukan cuma Mbak Risa yang lelah mengatur kencan buta untukku, aku pun capek harus berkenalan dengan orang baru yang sama sekali tidak aku inginkan, mengingat semua hal yang sudah terjadi seharian ini mendadak saja air mataku mengalir begitu saja. Sumpah, aku tuh capek dengan apa yang terjadi, susah-susah aku berlari agar sembuh, sumber kesakitan itu justru kembali hadir di dalam kisah yang sudah aku anggap selesai meskipun sad Ending.

"Kamu ini kenapa, Ta? Ya ampun, kenapa nangis sih? Mbak nggak serius tahu!"

Panik karena melihatku menangis, Mbak Risa sontak melemparkan sapu yang dipegangnya dan menghampiriku, dan selayaknya manusia bodoh pada umumnya, di awal aku bertekad untuk tidak menangis tapi saat kedua tangan Mbak Risa menangkup wajahku dan bertanya kenapa, air mata itu justru banjir semakin deras. Usiaku sudah hampir 29 tahun tapi sekarnag aku menangis tersedu-sedu seperti anak kecil yang tengah mengadu.

"Mbak, aku ketemu Rama lagi! Dan Mbak tahu, aku ngajar anaknya, Huhuhu, aku nggak mau, Mbak!"

"Heh yang bener kamu, nggak mungkin Rama ada di Surabaya! Ngapain dia disini?!" Mbak Risa yang menangkup wajahku sontak mendongakkan wajahku di tengah pertanyaannya yang menurutku sangat tidak penting.

"Ya mana aku tahu dia di Surabaya ngapain, Mbak! Yang jelas aku nggak mau ketemu dia, aku juga nggak mau ngajar anaknya......."

"Ceritain pelan-pelan, Ta. Jangan nangis heboh kayak gini, Gusti, tetangga kalau denger ngiranya kamu jadi korban rampok."

Dengan sesenggukan aku memulai ceritaku, semuanya dimulai dari awal aku mengira berhalusinasi gegara gagal moveon, sampai tadi dimana aku melemparkan kalimat sengit saat akhirnya bertemu tatap dengan Rama kembali, mungkin kalian akan mengatakan jika sikapku ini terlalu kekanakan, tapi cobalah kalian kenakan sepatu yang aku gunakan untuk berdiri sekarang, saat kalian menaruh kepercayaan namun dipatahkan tanpa alasan dan permintaan maaf, rasa sakitnya sama seperti kalian di khianati.

"Mbak, sikapku ini jahat nggak sih? Aku sadar nggak seharusnya aku melibatkan Bunga di dalam kebencianku ke Rama, tapi aku juga cuma manusia biasa, Mbak. Aku cuma manusia yang pengen Rama ngerasain sakitnya apa yang aku rasa karena ulahnya!"

"...........,,"

"Aku cuma ngembaliin apa yang dia berikan kepadaku."

Kisah Yang Belum UsaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang