Miss Shita & Kehidupannya

3.8K 396 33
                                    

"Nanti sore jangan kelayapan, buruan pulang. Kamu ingat kan pesan Papanya Aira kalau dia mau kenalin kamu ke salah satu temannya."

Aku sudah bersiap hendak menarik handle gas motor matic yang sudah menjadi sahabat akrabku selama dua tahun ini di Kota Surabaya namun sayangnya pesan dari kakakku satu-satunya ini membuatku seketika merengut, usia 29 tahun sepertinya menjadi momok menakutkan untuknya dan Ibu hingga sibuk mencarikanku jodoh kesana kemari, padahal mah akunya santai-santai saja. Soal jodoh, entahlah, aku sama sekali tidak berminat, banyak pria mendekat namun ujung-ujungnya yang aku cari-cari justru kekurangan dan kesalahan mereka.

Kalau kata Mbak Risa sih, aku ini manusia paling tidak tahu diri di dunia ini, udahlah muka pas-pasan, jual mahal, pilih-pilih lagi. Ya, meskipun aku sangat paham jika apa yang dikatakan Mbak Risa tidak benar-benar dari hati dan hanya wujud kesalnya saja, tapi tetap saja kupingku pengang.

Dengan wajah penuh permusuhan aku berbalik ke arah Kakakku satu-satunya yang sudah menampungku selama bertahun-tahun di rumahnya ini sembari mengacungkan jari tengahku, kurang ajar memang sayangnya aku sudah kepalang kesal dengan sikap Kakakku.

"Berhenti jodoh-jodohin aku Mbak, udah Shita bilang, Mas Agus pacar Shita masih Wamil di Korea sana, tunggu 2025 nanti dia ke Indo, Shita ajakin ketemu Ibu sama Mbak! Jadi Mbak nggak perlu repot-repot ngurusin jodoh Shita."

"DASAR BOCAH GEMBLUNG! MOVEON TA, MOVEON! ANAK MANTANMU SAJA SUDAH GEDE, LAH KAMU SAJA PACAR NGGAK PUNYA!"

Mulai deh Mbak Risa, bukan aku yang gagal moveon, tapi sepertinya dia sendiri yang gagal moveon, masih menikmati kesendirian bukan berarti aku belum beranjak dari masalalu. Ciiiihhg, kalau udah masalah kayak gini, jurus terbaik adalah segera ngacir pergi sejauh mungkin secepatnya menuju sekolah.

"Miss Shita....."

"Miss, Mira duluan Miss!"

"Miss Shita, dadah Miss, ketemu di sekolah."

Beberapa murid TK-ku yang berpapasan di jalan menyapa dengan akrabnya, beberapa diantarkan dengan motor, beberapa yang lainnya, yang menggunakan mobil bahkan membuka jendela mobil mereka untuk melongok dan melambaikan tangannya kepadaku.

Melihat bagaimana murid-muridku menyapaku dengan sangat akrabnya, membuat kekesalan yang aku rasakan kepada Mbak Risa sedikit menguap, nggak perlu punya anak sendiri buat bisa bahagia main sama anak kecil, dan bahagia seseorang itu tidak melulu soal pasangan. Aku sangat menikmati hidupku sekarang lengkap dengan kesendiriannya, bukan karena aku belum merelakan kisah cintaku yang telah usai namun karena aku belum menemukan sosok yang pas untuk membuatku beranjak.

"Miss Shita....." kembali panggilan kesekian kalinya aku dapatkan, kali ini tepat sebelum aku berbalik ke lingkungan sekolah tempatku mengajar, sapaan itu bukan dilakukan oleh anak-anak yang aku ajar melainkan seornag dalam seragam tentaranya yang wajahnya sudah pucat, kesal, sekaligus putus asa.

Hadeeeh, meski pemandangan rutin ini selalu aku dapatkan nyaris setiap harinya, tetap saja aku geli melihat sosok Om dan keponakan ini. "Tolongin saya Miss, ini anak bener-bener dah. Kon iku ngopo sih koyok wedus ae, sekolah angele eram nganggo seragam."

Campur-campur antara bahasa Indonesia dan Jawa, Pak Tentara ini berbicara dan saat aku melongok ke dalam, sosok kecil Dylan Mahesa, keponakan dari Pak Fadlan yang sudah mode berkacak pinggang tersebut meringis menatapku, sepertinya anak kecil itu sudah sangat hafal dengan omelan Om-nya ini hingga tidak takut sedikitpun. Salah satu hal yang membuatku senang menjadi guru TK adalah menemukan tingkah lucu seperti yang Dylan ini lakukan, anak ini tidak mau pakai seragam ke sekolah, biasanya dia hanya akan memakai celana pendek sembari bertelanjang dada, dan saat tiba di gerbang sekolah, akulah yang seringkali di todong oleh Om atau Ibunya untuk memakaikan.

"Sini Om, Miss pakein." Kuraih seragam yang diulurkan oleh Sosok Fadlan yang masih setia dengan cemberutnya, dan aku pakaikan kepada Dylan yang menurut-menurut saja, tangan kecil itu masuk satu persatu ke lubang lengan dan dengan mudahnya aku memakaikannya, sontak saja perbedaan sikap ini membuat Fadlan semakin masam. "Dylan, Sayang, besok-besok seragamnya dipakai di rumah ya, kan Miss sudah bilang, kalau nggak mau pakai seragam kayak apa?"

"Kayak kambing!"

"Kayak kambing!"

Bersamaan dua orang laki-laki berbeda generasi tersebut menjawab dengan kompak, lucu sekali mereka, sulit untukku tidak tertawa jika sudah seperti ini.

"Nah itu tahu kalau kayak kambing, kenapa masih di lakuin, Sayang?" Dengan gemas aku menjawil ujung dagu bocah menggemaskan tersebut yang membuat Dylan terkekeh kegelian.

"Dylan mah sukanya caper ke Miss Shita." Sambung Pak Fadlan lagi sambil mencibir kelakuan keponakannya yang kini menggelendot dalam gendonganku, "kalau kayak gini, mending terima tawaran saya buat jadi Tantenya Dylan saja Miss, biar Miss nggak usah susah-susah benerin seragam ini bocah tiap pagi, benerinnya di rumah kita saja, gimana?"

Heleeeeeeh, bisa-bisanya ini Playboy cap kepala botol, nggak bisa lihat ada kesempatan sedikit saja, aku hampir saja membalas candaan tersebut namun kalimat yang sudah sampai di ujung bibirku tersebut mendadak tertahan saat sebuah mobil yang baru saja keluar dari gedung sekolah menyita perhatianku, bukan mobilnya namun sosok pengemudi dengan seragam yang sama seperti yang dikenakan oleh Pak Fadlan di hadapanku.

Tidak, mataku barusan salah lihat, kan? Tidak mungkin dunia sesempit ini hingga membuatku bertemu kembali dengan pria yang mencampakkanku 7 tahun yang lalu, dan tidak mungkin pula aku harus mengajar anak dari mantan pacarku.

Dia, bukan sosok Rama Farid, kan? Demi Tuhan, tolong jangan pertemukan lagi aku dengannya.

Kisah Yang Belum UsaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang