Part 24: Masih 7 Tahun Yang Lalu

2.5K 302 23
                                    

Masih di seputar hidupnya Rama, nggak boleh skip biar kalian nggak salah paham dan nganggap Rama jahat.
Rama tuh cowok ijo neon tahu, bukan tipe redflag yang jahat. Rama cowok baik yang ditempatkan di situasi jahat.

"Aku mau punya anak."

Permintaan yang diminta oleh Utari kepada Rama tepat disaat selesai resepsi mereka tersebut membuat Rama membuka mata. Dalam pandangannya, sosok Utari yang sudah menanggalkan seluruh pakaian kebaya yang dirancang mewah tersebut dan berganti dengan lingerie seksi lengkap dengan kimononya, rupanya tidak bisa membangkitkan hasrat laki-laki Rama.

Kata siapa seorang pria bisa having sex tanpa ada cinta? Kalimat itu sama sekali tidak berlaku untuk Rama karena jangankan untuk menyentuh Utari, hasrat dan nafsu saja tidak ada sama sekali, cinta, nafsu dan segala hal yang menjadi paket komplit dalam sebuah pernikahan tersebut nyatanya sudah mati di hati Rama, tertinggal pada sosok Shita yang tempo hari melemparkan sebuah kotak jam ke arah dirinya.

Alih-alih menanggapi permintaan Utari, Rama justru bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kopernya berada, kotak hitam berbalut pita pink lembut warna kesukaan Shita tersebut di sentuhnya Rama dengan penuh rindu, sampai akhirnya saat Rama membuka kotak berisikan jam tangan sport tersebut, ada rindu dan gelenyar asing yang membuat dada Rama terasa sesak.

Seumur hidupnya, ini adalah hal paling menyakitkan di hati Rama, benar Ibunya yang sakit dan kini duduk di atas kursi roda dapat tersenyum bahagia melihat Rama menggandeng sosok Utari di pelaminan, tapi mewujudkan baktinya, Rama membunuh hatinya sendiri. Pernikahan indah itu dihiasi senyuman lebar Rama, tapi percayalah, senyuman itu adalah topeng yang Rama pergunakan dengan sangat baik. Selain terampil membidik dengan senjatanya, Rama rupanya seorang yang pintar dalam bersandiwara.
Tidak ada yang menyangka jika semua yang ditampilkan Rama hanyalah kepura-puraan semata.

Mengacuhkan Utari yang berada di belakangnya, Rama mengusap penuh sayang kepada hadiah terakhir yang diberikan Shita, sikap Rama yang seperti inilah yang akhirnya memancing kemarahan Utari. Utari yang merasa luar biasa bahagia saat Rama menggandengnya penuh dengan senyuman kini merasa kekecewaan yang mendera penuh penipuan. Utari yang sebelumnya berbangga diri memamerkan kepada setiap wanita yang melihatnya penuh rasa iri karena berhasil menaklukan Rama hingga ke pelaminan sekarang kehilangan kendali.

"Kamu anggap aku apa sebenarnya, Bang!"

Utari meraih jam tangan yang dipegang oleh Rama dan langsung melemparkannya sekuat tenaga keluar jendela yang terbuka, dari ketinggian hampir 80 meter, jam tangan itu melayang keluar lenyap dari pandangan mereka berdua.

"Kamu acuhin aku demi jam tangan sialan itu! Jangan bilang itu dari pacarmu yang jelek itu sampai-sampai kamu acuhin aku yang merupakan istri sahmu! Demi Tuhan, aku nggak rela kamu abaikan hanya demi barang rongsokan macam itu!"

Terengah Utari mengeluarkan segala kekesalannya, dan saat akhirnya Utari selesai berbicara, Rama yang sebelumnya menunduk menatap pada kotak kosong jam tangan yang entah bagaimana nasibnya tersebut langsung mendongak, kedua mata tajam dengan alis tebal yang membingkainya dengan indah tersebut menatap Utari penuh peringatan, benar Rama tidak berteriak membentak sikap Utari, tapi sorot mata Rama menjelaskan begitu banyak hal yang membuat hati Utari terhenyak dan tersadar jika dirinya kali ini kembali melewati batas.

Mendapati diamnya Rama membuat Utari menelan ludah dengan perasaan kelu, merutuk dirinya sendiri yang terlalu temperamen dan tidak sabaran dalam menaklukan Rama. Kini karena emosinya yang meluap-luap membuat Rama justru semakin menjauh darinya. Sosok yang ada di hadapannya begitu dekat namun begitu jauh untuk bisa dijangkau Utari.

Mungkin malam pertama yang dialami Utari sekarang adalah malam pertama paling buruk yang pernah ada. Tidak ada kemesraan sama sekali, yang ada hanyalah perasaan canggung dan marah di dalam hati satu sama lain.

"Kamu menginginkan anak dariku?"

Pertanyaan yang terlontar dari Rama terucap dengan nada yang begitu tenang, tapi ditelinga Utari pertanyaan itu lebih seperti ejekan yang melukai sudut hatinya. Utari menahan nafas, mempersiapkan diri untuk mendapatkan penolakan dari Rama namun ternyata tanggapan Rama diluar dugaannya.

"Baiklah jika itu maumu."

Mendengar Rama mengiyakan permintaannya membuat Utari mengerjap tidak percaya, jantungnya yang sebelumnya berhenti berdetak takut karena penolakan yang akan diberikan oleh Rama seketika mengembang dengan perasaan bahagia. "Laki-laki mah dimana saja sama rupanya, kalau sudah dikamar dan diatas ranjang mana mungkin menolak, sok-sokan bilang cinta ke pacarnya, ujung-ujungnya diajakin bikin anak mau juga, kan? Lagipula mana mungkin Rama menolakku yang lebih segalanya dibandingkan pacarnya yang bahkan cuma guru TK itu." Memikirkan hal tersebut di dalam hati membuat Utari senyum-senyum sendiri, apalagi saat Rama menjauh darinya sembari membuka kemeja PDU1 yang masih dikenakannya, Utari tidak bisa menahan rasa gembira atas kemenangannya.

Tubuh sempurna Rama terbayang di benak Utari, kedua lengannya yang liat nampak begitu kharismatik di matanya, hingga gelenyar gairah Utari muncul bahkan sebelum Rama menyentuhnya, namun sayang, disaat Utari sudah diterbangkan oleh ekspetasi, sesuatu yang diambil Rama dari saku jas-nya membuat senyum penuh kemenangan itu menghilang untuk kesekian kalinya.

Terlebih saat Rama menunjukkan obat tersebut tepat ke hadapan Utari, rasa marah yang sempat mereda tersebut kembali bergejolak, meluap lebih besar dari sebelumnya, sama seperti jam tangan hadiah dari Shita yang melayang, obat yang ada di tangan Rama pun menyebar keseluruh ruang kamar pengantin yang semerbak dengan aroma mawar.

"Apa maksudmu, Bang! Apa aku begitu menjijikkan dimatamu sampai kamu harus menggunakan obat itu untuk menyentuh istrimu sendiri, hah? Lihat, lihat aku baik-baik."
Sama seperti sebelumnya, mendapati emosi Utari yang meledak, Rama hanya diam saja, kedua tangannya terlipat di depan dada tanpa ekspresi sama sekali melihat Utari yang mulai membuka satu persatu pakaian yang melekat di tubuhnya memperlihatkan tubuh molek yang sempurna tanpa ada cacat seinchi pun di kulit mulusnya. "Mustahil kamu tidak tergoda dengan tubuh indahku ini, Bang. Sentuh ini, ini semua milikmu dan kamu tidak perlu obat-obatan sialan itu."

Katakan Utari sudah gila, tanpa malu sama sekali Utari merangsek mendekati Rama dan meraih tangan Rama agar menyentuh dadanya, namun seolah Rama adalah patung tanpa perasaan, Rama bahkan tidak bereaksi sama sekali, pria itu masih memandang Utari dengan datar dan tatapan itu benar-benar seperti sebilah pisau yang mengiris hati dan harga diri Utari. Cinta Rama benar-benar sudah habis di Shita, bahkan nafsu pun sudah tidak dimiliki Rama untuk wanita lainnya.

"Ri, apa kamu tidak malu mempermalukan dirimu sendiri seperti ini?"

Rama menarik tangannya dari tubuh molek tersebut dan memungut salah satu obat yang berserak di lantai tanpa minuman sedikit pun. Pepatah tentang kucing yang tidak akan menolak ikan asin tidak berlaku sama sekali untuk Rama. Dipaksa bagaimana pun Rama tidak bisa melakukannya, omong kosong tentang pria yang bisa having sex tanpa cinta, nyatanya hal itu tidak bisa Rama lakukan. Melihat tubuh indah Utari tanpa sehelai benang pun nyatanya tidak bisa membangkitkan gairah Rama sekali.
Itu sebabnya Rama butuh obat yang baru saja ditenggaknya. Rama pria normal, tapi gairah itu tidak bisa dipaksakan seperti pernikahan ini.

"Jangan paksa aku melebihi apa yang aku bisa, Utari. Sudah cukup kamu membeli hidup dan harga diriku, kamu menginginkan anak, mari kita lakukan, akan aku penuhi apa yang kamu minta, dan inilah cara yang aku lakukan untuk bisa memenuhi permintaanmu."

Kisah Yang Belum UsaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang