"Abang!"
Bian dan Delta yang tengah bermain di luar kompak berlari menyambut kedatangan Bayu. Pemuda itu berjongkok, kemudian memeluk kedua adiknya.
"Kangen Abang."
"Abang juga kangen. Ibu sama ayah mana?"
Si kecil Delta menunjuk ke dalam rumah, kemudian menggandeng sang kakak masuk.
Bayu mengucap salam, kemudian menyapa ayah juga ibu tirinya yang tengah mengobrol di ruang tamu. "Ayah, Ibu."
Fahmi dan Viona kompak menoleh.
"Eh, Abang. Tumben ke sini enggak telepon dulu," tanya Viona.
Bayu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Bungung harus menjawab apa. Keinginan untuk ke sini muncul begitu saja setelah bel pulang sekolah terdengar. Bayu berniat ‘numpang’ istirahat karena sudah memasuki hari ketiga kondisi lambungnya tak juga membaik, ditambah keisengan-keisengan Wil di rumah membuatnya tak bisa beristirahat dengan tenang. Mungkin bukan hanya dari pola makan, tapi stres juga.
"Emh ... kangen Ayah, Bu. Jadi, langsung ke sini. Ayah enggak narik?"
"Dari kemarin ayahmu enggak narik, Bang. Sepi penumpang katanya, malah tekor sama bensin." Bukan Fahmi yang menjawab, masih Viona yang mendominasi obrolan.
"Sini duduk." Akhirnya Fahmi bersuara.
Sebetulnya, sebelum Bayu masuk ia sedang berdebat kecil dengan sang istri, masalah ekonomi tentu saja. Selama ini Viona tidak pernah mengeluh, tetapi mengingat persediaan beras dan susu anaknya nyaris habis bersamaan membuatnya uring-uringan.
Bayu melepas ranselnya, lantas mengambil posisi duduk di samping sang ayah. Melihat raut tidak enak sang ibu dan letih yang kentara di wajah sang ayah, Bayu jadi tidak enak hati. Sepertinya ia datang di saat yang tidak tepat. Tampak jelas kedua orang tuanya itu habis bertengkar. Namun, Bayu benar-benat tidak ingin pulang ke rumah bundanya sekarang.
"Kenapa, Nak? Kok murung gitu? Ada masalah sama bunda?"
Pemuda itu menggeleng, sejurus kemudian berbalik menatap sang ibu. "Bu, boleh enggak hari ini aku nginep di sini?"
"Boleh, Bang," sahut Viona.
"Makasih, ya, Bu."
"Iya. Abang mandi aja, terus istirahat. Ibu masak dulu."
Tanpa menunggu jawaban, Viona berjalan ke dapur. Satu-satunya yang membuatnya bingung adalah stok beras yang menipis. Tabungannya habis karena seminggu yang lalu Delta tiba-tiba sakit hingga dirawat sedangkan ia tidak bisa menggunakan kartu jaminan kesehatan karena sudah lama menunggak. Suaminya juga sedang tidak bekerja, jadi tidak ada pemasukan sama sekali. Ada uang sedikit sisa hari Sabtu kemarin dipakai untuk membayar tunggakan uang kontrakan. Hari ini, di saat sisa beras hanya cukup untuk mereka berempat—setidaknya sampai besok—tiba-tiba Bayu datang. Viona sama sekali tidak merasa terganggu dengan kehadiran Bayu. Ia hanya bingung.
Cukup lama ia berdiri di dapur memandangi tempat penyimpanan beras yang sudah nyaris kosong. Berpikir keras, harus diberi makan apa anak-anaknya hari ini? Karena tak ada lauk, Viona memutuskan untuk membuat bubur dan menggunakan kerupuk juga bawang goreng untuk pelengkap.
Selesai memasak, Viona memanggil anak-anak juga suaminya. Makanan disajikan di ruang tengah agar mereka bisa makan bersama karena kontrakannya memang hanya memiliki dapur mini, kamar mandi, dua kamar, dan ruang tengah.
"Dimakan, ya, Bang. Maaf ibu cuma masak bubur."
Bayu tahu alasannya. Dulu, saat ayah dan bundanya masih bersama pun sang bunda sering membuatkannya bubur. Alasannya sederhana, beras sedikit pun bisa cukup untuk makan tiga orang, dan yang terpenting tidak harus ada lauk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Untuk Bayu | JJK
Teen FictionDaun tidak dihadirkan untuk membenci angin yang menjatuhkannya. Tak pula menaruh dendam pada alam yang membuatnya mengering dan terinjak. Bersedia mengampuni kendati dicederai berulang. Begitupun Bayu. Bukan tak pernah patah setelah dilukai berkali...