CHAPTER 32 : Berpikir

1.2K 107 5
                                    

"Dari tadi tidur terus, Nin. Mungkin ngantuk karena semalam begadang."

Hanin mengernyit. "Perutnya sakit lagi, Tante? Kok begadang?"

Viona menggeleng sembari membetulkan letak selimut Bayu. "Tante enggak tahu. Semalam sempat minta dibawain alat tulis gitu sama papanya Aries. Tante ngintip dia lagi ngapain juga enggak boleh. Terus tante ketiduran. Eh, waktu bangun, Bayu masih belum tidur."

"Tapi, Bayu baik-baik aja, kan, Tante? Enggak kedengaran kesakitan apa gimana?" tanya Hanin takut-takut.

Perempuan itu menggeleng, kemudian menggiring Hanin duduk di sofa. "Enggak, Nin. Entah emang enggak sakit atau karena ditahan. Bayu semangat banget nyiapin semua buat acara ulang tahun bundanya. Dia pilih sendiri tas yang diincar bundanya. Sepatu, baju, tempat makan, bahkan rencana jalan-jalan. Dia ... sesemangat itu."

Dengan cepat Hanin menangkap kepedihan dalam sorot perempuan di hadapannya. Hanin tahu, bukan rasa iri yang membuat Viona berwajah muram, tetapi sedih karena semua yang Bayu lakukan tidak pernah ada harganya di mata sang bunda. "Semoga kali ini hati Tante Anggia luluh, ya, Tan. Sebenarnya Bayu enggak pernah minta apa-apa. Dia cuma mau disayang."

"Bun ...."

Mendengar suara itu, keduanya kompak bangkit, kemudian mendekat pada sisi ranjang Bayu.

"Nak," panggil Viona.

"Sakit ...." Dengan mata yang masih terpejam sempurna, Bayu merintih menyuarakan kesakitannya.

Dengan sigap, Viona menyentuh perut Bayu, mengusapnya perlahan, berharap anak itu bisa merasa lebih baik.

"Sakit ... Bun."

Gerakan Viona terhenti, membuat kedua netra Bayu yang semula terpejam, perlahan terbuka. Ia terkejut mendapati sang ibu juga sahabatnya berdiri di sisi ranjang. "Ibu." Anak itu memanggil dengan suara serak. "Maaf, ya, Bu."

"Abang kangen sama bunda?"

Kepala putranya memang menggeleng, tetapi Viona bisa langsung menerjemahkan kerinduan yang dalam dari sorot pemuda di hadapannya. Tanpa banyak bicara, Viona membungkuk, lalu memeluk tubuh kurus Bayu. "Ini mungkin bukan pelukan yang Abang mau, ibu juga bukan orang yang Bayu tunggu, tapi ... ibu harap ini bisa sedikit mengobati. Hangatnya tetap sama, 'kan?" ujar Viona sembari terkekeh, meskipun di saat bersamaan air matanya malah menetes.

"Ibu."

"Hm?"

"Bu, hilang adalah kado terbaik yang bunda mau dari aku. Jadi, setelah ulang tahun bunda nanti, aku benar-benar enggak bakal nemuin bunda. Aku juga pasti berusaha buat enggak kangen bunda lagi. Aku bisa fokus sayang sama Ibu setelah itu. Cuma sama Ibu. Maaf udah bikin Ibu nangis, ya."

Viona menegakkan tubuh, lantas menatap putranya lamat-lamat. "Nak, kenapa kamu sebegitunya sama bunda kamu? Padahal, dia sering bikin kamu sakit."

Hanin juga ingin mempertanyakan hal yang sama, tetapi itu lebih dulu disuarakan oleh perempuan yang berdiri berseberangan dengannya.

"Karena sebelum bunda bikin aku sakit, ada masa di mana bunda bikin aku bahagia, Bu. Bunda mempertahankan aku, bertaruh nyawa membawa aku lahir ke dunia, membesarkan aku biarpun sebentar. Rasanya enggak tahu diri kalau aku benci bunda cuma karena apa yang bunda lakukan saat ini. Bunda cuma takut kesepian lagi, Bu. Makanya dia berusaha keras mempertahankan apa yang dia punya."

"Tapi, dia enggak harus bikin kamu sesakit ini."

"Bunda memaklumi kenakalanku di masa kecil. Masa aku enggak bisa memaklumi usaha bunda untuk bahagia? Makanya, aku mau bantu bunda bahagia. Caranya dengan hilang seperti yang bunda mau. Aku mungkin kehilangan bunda. Tapi, aku punya Ibu. Ibu enggak keberatan, kan, sayang sama aku juga?"

Rumah Untuk Bayu | JJKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang