"Kalau Bayu enggak mau bunda tahu, papa enggak akan bilang dulu. Yang penting pulang sekolah nanti ikut papa ke rumah sakit, oke?"
Bayu tampak menimbang. Sebenarnya ia juga penasaran dengan apa yang terjadi pada tubuhnya akhir-akhir ini. Namun, jika mengikuti apa yang dikatakan papa tirinya, bukankah sama seperti membohongi sang bunda? Tegas anak itu menggeleng. "Kalau gitu aku bohongin bunda, Pa."
Mario menghela napas. Entah bagaimana lagi ia meyakinkan Bayu agar mau melakukan pemeriksaan. "Nak, dengar papa. Bayu enggak bohongin bunda. Kalau bunda tanya, Bayu jawab. Kalau Bunda enggak tanya, Bayu diam. Jadi, enggak bohong, 'kan?"
"Tapi, Pa ...."
"Sekali ini aja, please Bayu nurut apa kata papa. Kalau Bayu enggak nurut, hari ini jangan masuk sekolah."
Meskipun ragu, akhirnya Bayu mengangguk. Ia tidak punya pilihan lain selain menuruti ucapan papanya. Apalagi, diancam tidak diperbolehkan sekolah. Kalau terlalu sering bolos, kapan Bayu bisa pintar seperti Wil dan membuat bundanya bangga?
"Good boy. Ayo turun, kita sarapan dulu," ujar Mario lagi sembari menggiring putranya keluar dari kamar.
"Kakak enggak usah sekolah dulu, ya. Badannya hangat. Nanti kalau ada apa-apa di sekolah gimana? Mama sedih lho. Lagian, bolos sehari aja enggak akan bikin Kakak bodoh. Kakak udah pintar dari lahir kok."
Suara sang bunda langsung menyambut begitu kedua kaki Bayu memijak lantai bawah. Pemuda itu menggigit bibir bawahnya. Melihat bundanya mengkhawatirkan orang lain yang bukan darah dagingnya, tentu saja membuat Bayu iri. Namun, melihat Wil sudah mulai banyak berubah, Bayu jadi merasa tidak berhak untuk sekadar merasa cemburu pada saudaranya itu.
"Pa, Kakak demam nih. Harusnya jangan sekolah dulu. Coba Papa bujuk." Melihat sang suami turun, Anggia langsung mengadu dengan manja. Perempuan seolah lupa jika kemarin mereka sempat bertengkar.
Pria berkemeja kuning gading itu mendekati putranya, meraba area dahi Wil, lalu berkata, "Enggak apa-apa. Masih kuat kok ini. Iya, kan, Kak?"
Mario tahu kondisi Wil sudah jauh lebih baik dibanding semalam.
Wil mengangguk mantap. "Iya, Ma. Aku enggak apa-apa. Setelah minum obat juga nanti langsung baikan." Anak itu menjawab, sebelum melanjutkan sarapannya. Jujur saja ada perasaan tidak enak, apalagi saat Wil tanpa sengaja melihat Bayu yang tengah menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Bukan marah, cenderung sedih.
"Tapi, mama takut ada apa-apa."
"Ma, kalau Kakak bilang kuat berarti kuat. Percaya dong."
Bayu merasa terasing. Canggung sekali berada di sini, sementara mereka hanya sibuk memperhatikan Wil. "Pa, Bunda, aku berangkat duluan."
"Sarapan dulu, Bayu. Kalau ada apa-apa lagi sama kamu, bukan kamu yang dimarahi. Bunda pasti jadi sasaran kemarahan semua orang. Disangkanya enggak becus ngurus anak. Padahal, anaknya aja yang bandel."
"Ma," tegur Mario. Ia tidak mengerti mengapa Anggia harus mengungkit masalah itu. Padahal, meminta Bayu sarapan saja cukup. Tidak perlu ditambah embel-embel apa pun yang justru membuat Bayu merasa semakin sakit.
Anggia berlagak tak peduli. Meladeni ucapan suaminya sekarang hanya akan berbuntut pada keributan, dan ia tidak ingin Wil sampai merasa tidak nyaman karena itu.
Karena Bayu masih belum juga bergerak, Mario kembali bangkit dari duduknya, kemudian merangkul tubuh kurus Bayu, menggiringnya duduk, lantas meminta anak itu makan. "Sarapan dulu biarpun sedikit. Papa enggak mau nanti di sekolah perut kamu sakit lagi."
Wil merasa aneh. Biasanya, setiap melihat sang ayah memperhatikan Bayu, ada perasaan marah dalam dirinya. Namun, kali ini justru berbeda. Seperti ada perasaan lega. Apa mungkin ini karena Wil sudah mulai bisa membaca kesakitan anak Bayu? Jadi, tidak ada lagi rasa iri. Yang dominan hanya perasaan kasihan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Untuk Bayu | JJK
Teen FictionDaun tidak dihadirkan untuk membenci angin yang menjatuhkannya. Tak pula menaruh dendam pada alam yang membuatnya mengering dan terinjak. Bersedia mengampuni kendati dicederai berulang. Begitupun Bayu. Bukan tak pernah patah setelah dilukai berkali...