"Mulai hari ini, Bayu tiga hari sama bunda dan sisanya di rumah ayah. Tapi, Bayu harus janji satu hal."
Bocah kecil dengan ransel di punggungnya mendongak, kemudian menatap sang bunda dengan tatapan lugu dan sarat akan rasa ingin tahu. "Apa, Bun?"
Perempuan itu menunduk menyamakan posisinya dengan anak laki-laki yang dipanggil Bayu. "Di rumah bunda nanti Bayu enggak sendiri. Ada kakak. Sejak berumur tiga tahun, kakak udah enggak punya ibu. Jadi, Bayu harus selalu ngalah dan menuruti apa pun yang kakak mau. Janji?" ujarnya kemudian seraya mengacungkan kelingkingnya.
Bayu tampak berpikir. Bundanya selalu mengatakan bahwa janji kelingking itu tanda jika yang terikat di dalamnya tidak boleh mengingkari. Seserius itu. "Bunda sayang kakak?" Bukannya menyambut seperti biasa, Bayu justru lebih dulu melempar tanya.
"Sayang."
"Kalau aku nakal sama kakak, Bunda sedih?"
"Sedih. Jadi, Bayu jangan nakal, ya?"
Akhirnya anak laki-laki itu mengaitkan kelingking mungilnya pada kelingking sang bunda. "Oke, aku enggak nakal. Nanti kalau nakal Bunda sedih."
Sebuah senyum tersungging dari bibir perempuan itu. Tangan mulusnya terulur mengusak puncak kepala putranya. "Good boy. Ini baru anak bunda."
"Tapi, Bunda sayang aku juga, 'kan?"
"Sayang dong."
"Sayang aja?"
"Sayang banget. Bayu sayang bunda?"
"Sayang banget ... banget ... banget!" teriak anak itu sembari melompat semangat, sementara tangannya bergerak seolah tengah berusaha menggambarkan bahwa rasa sayangnya begitu besar.
Hari itu, Bayu tidak benar-benar tahu jika janjinya pada sang bunda justru menjadi sumber rasa sakitnya.
|Bersambung|
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Untuk Bayu | JJK
Teen FictionDaun tidak dihadirkan untuk membenci angin yang menjatuhkannya. Tak pula menaruh dendam pada alam yang membuatnya mengering dan terinjak. Bersedia mengampuni kendati dicederai berulang. Begitupun Bayu. Bukan tak pernah patah setelah dilukai berkali...