"Bangun, yuk, Nak. Jangan rebahan terus biar penyakitnya enggak betah lama-lama. Ikut bunda ke taman. Di sana kamu bisa sedikit bergerak biar badannya enggak kaku."
Jika dalam keadaan normal, Bayu pasti langsung setuju. Namun, kondisinya saat ini tidak memungkinkan. Jangankan berjalan jauh, bergerak sedikit saja seperti ada ribuan jarum menusuk-nusuk perutnya. "Bunda, jangan sekarang, ya? Perutku sakit."
Anggia tersenyum, kemudian mendekati ranjang putranya. "Itu karena Bayu tiduran terus. Ayo sini bunda bantu," katanya lagi sembari membantu menegakkan tubuh remaja di hadapannya. "Kurang gerak otot-otot jadi kaku. Bayu jangan malas."
Bayu berusaha keras menegakkan posisi tubuhnya, tetapi tidak bisa. Rasanya sakit sekali. "Enggak kuat, Bun. Sakit ...," sahutnya begitu lirih.
"Padahal ini demi kebaikan Bayu. Biar Bayu cepat sehat, cepat keluar dari rumah sakit. Kakak badannya agak hangat karena semalam jagain Bayu di sini. Papa juga kelihatan capek banget harus bolak-balik kantor, rumah, rumah sakit. Sedangkan bunda? Bayu tahu banget, kan, kalau bunda enggak suka tinggal lama-lama di rumah sakit? Itu ngingetin bunda sama almarhum adik Bayu."
Bayu bukan sengaja melupakan hal itu. Ia ingat betul betapa sedih sang bunda saat harus kehilangan calon bayinya di usia kandungan yang baru menginjak delapan minggu. Itu pula alasan kenapa Wil dan papanya bersedia menemani Bayu di sini, sementara perempuan itu beristirahat di rumah.
"Aku minta maaf, Bunda. Kalau gitu Bunda minta izin aja sama dokternya supaya ngebolehin aku pulang. Aku udah sehat kok."
"Serius?" Kedua netranya tampak berbinar begitu mendengar ucapan putranya.
"Iya, Bunda."
"Kalau gitu, Bayu enggak boleh kelihatan lemah. Mau bunda dandanin enggak biar kelihatan lebih segar? Dokter enggak akan percaya Bayu udah sehat kalau mukanya masih kelihatan kuyu gitu."
"Boleh, Bunda. Apa pun yang bikin Bunda bahagia aku mau."
Anggia mendaratkan sebuah ciuman di dahi putranya. "Bunda sayang sama Bayu," ujarnya. Perempuan itu mengambil tas, kemudian mengambil alat-alat kecantikan yang ada di dalamnya. Anggia ini mahir dalam urusan dandan, apalagi natural. Siapa pun pasti percaya Bayu benar-benar sehat. Lagi pula, tidak baik terlalu lama di rumah sakit. Bukannya sembuh, yang sehat malah bisa tertular. Kalau suamimya atau Wil sakit juga, pasti Anggia juga yang kerepotan.
Tak butuh waktu lama untuk mendandani Bayu. Hanya dalam hitungan menit wajah pemuda itu sudah tampak lebih segar. "Ya Allah, anak bunda ganteng banget. Percaya sama bunda, setelah ini Bayu pasti langsung sembuh. Senyaman-nyamannya rumah sakit, masih lebih nyaman di rumah, 'kan?"
"Iya, Bunda."
"Bunda ketemu dokter dulu, ya. Ingat apa kata bunda. Bayu enggak boleh kelihatan lemah. Mana ada anak laki-laki lemah? Bayu pasti bisa."
Pemuda itu tak menanggapi. Bukan karena marah atau apa, Bayu hanya sedang menyiapkan diri untuk bertemu dokter nanti. Bayu harus terlihat meyakinkan sekalipun tubuhnya mengatakan hal yang berkebalikan. Lagi pula, tidak ada ruginya pulang lebih cepat. Toh di rumah nanti, Bayu bisa lebih leluasa beristirahat.
***
"Lho? Bayunya di mana, Sen?"
Arsen tak kalah terkejut karena ternyata kamar rawat sahabatnya sudah kosong. "Harusnya ada, Pa. Om Mario bilang Bayu masih dirawat. Aku bahkan ngabarin Om Fahmi juga biar bisa jenguk sama-sama. Kok malah enggak ada?"
Rasya mengangkat bahu. "Tadi kamu dapat kabar jam berapa?"
Pemuda itu tampak berpikir sejenak mendengar pertanyaan sang papa. "Siang, pas masih di sekolah. Wil juga bilang Bayu masih dirawat kok, Pa. Kondisinya sama sekali enggak bagus buat pulang. Tengah malam aja dia bangun, muntah-muntah, ngeluh perutnya sakit, dan enggak tidur lagi sampai pagi."
Menangkap ada yang tidak beres, Rasya berjalan ke sisi ranjang tempat Bayu berbaring sebelumnya. Ia berusaha mencari petunjuk sekecil apa pun, takut kalau ternyata Bayu diculik. Namun, pria itu malah menemukan sesuatu yang mengejutkan.
"Arsen," panggilnya.
Sontak Arsen mendekat. "Kenapa, Pa?"
"Ini darah siapa?"
Kelopak mata Arsen melebar melihat noda darah pada selimut. Tidak terlalu banyak memang, tetapi cukup membuat jantungnya memompa lebih keras, menghadirkan debaran ketakutan.
"Pa, jangan-jangan Bayu diculik?"
"Kita izin lihat Cctv sekarang. Darahnya juga belum lama kering, pasti mereka belum jauh," terang Rasya.
Masuk akal, bukan? Jika ruangan ini sudah cukup lama ditinggalkan, tidak akan ada jejak apa pun. Petugas pasti membersihkan ruangan untuk ditempati pasien lain.
Begitu keluar, keduanya berpapasan dengan Fahmi dan Mario. Entah bagaimana, tetapi mereka benar-benar datang bersamaan.
"Kalian mau ke mana? Katanya mau jenguk Bayu. Perasaan baru tadi Arsen bilang mau ke sini, kok udah pulang lagi?"
"Bayu enggak ada, Om!"
"Enggak mungkin. Kondisi dia belum baik. Pergi ke mana coba?" kata Mario tak terima. Pria itu langsung berlari menuju ruangan dokter yang menangani putranya, dan ia terkejut saat menerima selembar kertas berisi perjanjian, yang intinya pihak rumah sakit tidak bertanggung jawab jika terjadi sesuatu pada pasien karena pasien sendiri yang memaksa untuk pulang.
"Kenapa dibiarkan, Dok? Saya tahu kondisi Bayu itu buruk! Kenapa dia malah dibiarkan pulang dalam kondisi seperti itu?"
"Ibunya bilang Bayu sudah merasa sehat. Dia ingin pulang karena Bapak sudah keluar uang banyak untuk membiayai perawatannya. Saya merasa bersalah, mungkin karena tadi saya menyinggung ihwal CT-scan abdomen dengan kontras yang biayanya lumayan. Tapi, itu karena Bu Anggia bertanya.""Ya Tuhan." Mario mendesah frustrasi. "Tunggu, pemeriksaan lagi? Kenapa dokter enggak bilang sama saya?"
"Istri Bapak bilang kalian mau diskusi dulu sebelum memutuskan."
Lelaki itu mengambil ponsel, kemudian berusaha menghubungi sang istri. Namun, tak kunjung ada jawaban. Entah sengaja menghindar atau ponselnya memang dalam mode silent. Setelah berpamitan pada sang dokter, Mario memutuskan untuk mencari putranya.
"Enggak ada tanda-tanda diculik. Bayu kelihatan pulang dengan sadar sama ibunya," ujar Rasya saat melihat Mario kembali ke kamar rawat Bayu. Ia sudah melihat rekaman kamera pengawas. Karena kejadiannya belum lama, jadi bagian itu dengan mudah ditemukan.
"Emang istri saya yang bawa Bayu pulang."
"Om? Ini darah lho. Om yakin Bayu baik-baik aja?"
Mario meraih selimut rumah sakit itu, kemudian memindai bercak darah di sana. Bukan bercak, jelas noda yang sedikit meluas tanda darah itu didapat bukan karena terciprat, tetapi seperti bekas menyeka sesuatu.
"Anggia benar-benar mulai enggak waras!" keluh Fahmi.
"Jaga mulut Anda. Dia istri saya."
"Sebelum itu, dia istri saya. Saya lebih tahu bagaimana dia sebenarnya."
Arsen menghela napas. "Om Fahmi sama Om Mario mau ribut aja? Ya udah, lanjut. Ayo, Pa, kita cari Bayu aja."
Rasya mengikuti putranya. Ia benar-benar cemas sekarang. Bagaimana mungkin Bayu pulang dalam kondisi seperti itu. Dari cara berjalannya saja tampak jelas anak itu tengah menahan sakit. Tak habis pikir ada ibu yang tega memaksa putranya pulang di saat kondisinya belum pulih benar. Apakah Rasya harus membawa Bayu pergi? Toh ia seorang dokter, Bayu aman bila bersamanya.
|Bersambung|
Teman-teman, maaf aku belum sempat baca komentar kalian. Aku balas nanti malam yaaa selesai kerjaanku. Makasihhh banyak buat kalian yang selalu nyemangatin aku buat lanjut nulis.
![](https://img.wattpad.com/cover/356591439-288-k671427.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Untuk Bayu | JJK
Novela JuvenilDaun tidak dihadirkan untuk membenci angin yang menjatuhkannya. Tak pula menaruh dendam pada alam yang membuatnya mengering dan terinjak. Bersedia mengampuni kendati dicederai berulang. Begitupun Bayu. Bukan tak pernah patah setelah dilukai berkali...