23 - Yang Tak Pernah Usai (2)

17 1 0
                                    

Bandung, tahun 2016, di sepenggal malam menjelang kisah ini berakhir.

Sesuatu dalam diri Ustaz Ansara mendadak melemah, merapuh, membuat tatapannya luruh. Di balik tundukan ia tersenyum hambar, pasrah pada takdir yang sungguh tak pernah salah.

"Jadi, itu alasannya sehingga kamu tidak pernah berusaha menemui saya selama ini?"

Mia hanya mengangguk.

Ustaz Ansara memejam sejenak, merasakan sesuatu yang perih, entah di bagian mana. "Setidaknya Tuhan lekas mempertemukanmu dengan orang yang tepat. Meskipun kamu tidak pernah tahu betapa berat hari-hari yang saya lalui kemudian. Sore hari di TPU tak sama lagi, alunan biola saya seperti pecahan-pecahan gelisah yang berjuang menemukan rumah. Kamu pun tak pernah tahu, berapa lama waktu yang saya habiskan di Telaga Teratai. Berdiam diri di sana, berharap kamu akan hadir menyaksikan kuncup-kuncup teratai bermekaran. Tapi, ternyata alurnya sudah beda."

Mia terenyuh. Perkataan Ustaz Ansara semakin memperbesar rasa bersalah dalam dirinya. Ia benci isyarat ini, semacam masih ada cinta untuknya di hati lelaki itu.

"Meskipun sudah sangat jauh terlambat, saya ucapkan selamat karena kamu telah menemukan kebahagiaanmu." Ustaz Ansara memaksakan untuk tersenyum, walau hanya berupa garis tipis yang patah.

"Ya, meski tidak seutuhnya," lirih Mia.

Hal ini memaksa Ustaz Ansara untuk menatap kedua mata Mia. Sesuatu yang sama dengan dua puluh tahun silam masih Ustaz Ansara temukan di dalam sana. Namun, keduanya buru-buru meleraikan pandangan. Ini tidak pantas lagi!

Hening mengambil alih sejenak.

"Lalu, kenapa kamu tidak mengatakan apa-apa di malam terakhir kita, bahkan setelah saya terang-terangan memintanya?" Mia benci mengulik masa lalu sejauh ini, tapi ia juga tidak bisa menahan diri untuk tidak melontarkan pertanyaan itu. Suaranya bergetar.

"Maka dari itu, saya iri sama putramu." Ustaz Ansara tak ingin menyesali apa-apa, tapi juga tak menampik kebodohannya malam itu.

Detik selanjutnya keduanya seolah sibuk dengan angan masing-masing. Air telaga terbaring tenang mendengarkan keluh kesah mereka. Bintang-bintang pun setia memayungi jembatan-jembatan tak kasat mata menuju masa lalu. Namun, sejatinya alam tak bisa menerka jenis gejolak di hati kedua insan yang tak lagi muda itu.

"Oh ya, bagaimana dengan ibumu?" Kali ini Mia memulai obrolan dengan nada yang lebih ceria, meski sangat kentara dipaksakan. Ia ingin berbagi cerita panjang lebar, tetapi tidak dengan terus-terusan melibatkan perasaan yang tak wajar lagi.

Sebentuk senyum tak bermakna tergambar di wajah Ustaz Ansara.

Mia sangat merindukan senyum itu. Meski hadirnya kini dalam keremangan cahaya bulan dan tak seindah dulu lagi, tetap saja mampu menyejukkan hati.

"Tuhan memang Maha Adil. Setelah saya kehilangan jejakmu, Tuhan menggantikannya dengan kesembuhan Ibu."

"Benarkah?" Kelegaan membuncah di wajah Mia, menyamarkan rasa-rasa aneh yang menyeruak sejak awal obrolan tadi.

"Iya. Ini sungguh keajaiban. Hingga hari ini saya masih bisa merasakan betapa bahagianya ketika beliau kembali memanggil saya anak, bukan malaikat. Hal inilah yang kemudian memberi saya semangat lebih untuk menjalani hari-hari selanjutnya hingga berhasil menyelesaikan kuliah tepat waktu." Meskipun masih agak sendu, tetapi kali ini kalimat-kalimat Ustaz Ansara lebih cair.

"Lalu, di mana beliau sekarang? Bagaimana kabarnya?"

🍁🍁🍁

Assalamualaikum.

Mohon maaf sebelumnya, bab ini hanya berupa cuplikan. Kalau kamu penasaran dengan kelanjutan kisah Dirga dan Mia, silakan baca di:

* KBM App
* KaryaKarsa

Di semua platform nama akunku sama (Ansar Siri). Ketik aja di kolom pencarian. Kalau akunku udah ketemu, silakan pilih cerita yang ingin kamu baca.

Cara gampangnya, langsung aja klik link yang aku sematkan di halaman depan Wattpad-ku ini.

Aku tunggu di sana, ya.

Makasih.

Salam santun 😊🙏

Calon Besanku Cinta Pertamaku [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang